• Minggu, 31 Agustus 2025

Korban KDRT di Lampura Dilaporkan Balik, Kuasa Hukum Tuding Ada Upaya Balikkan Fakta

Sabtu, 30 Agustus 2025 - 10.51 WIB
50

Amelia (baju biru) bersama kuasa hukumnya Yuli Setyowati (baju hitam) di Polres Lampung Utara. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Lampung Utara – Kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa Amelia Apriani terus bergulir. Persoalan memasuki babak baru setelah sang suami, Subli alias Alek, melaporkan balik Amelia ke polisi dengan tuduhan penganiayaan. Namun, kuasa hukum Amelia menyebut laporan tersebut sebagai upaya kriminalisasi terhadap korban.

“Proses hukum yang berjalan saat ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap korban KDRT. Klien kami, Amelia, jelas-jelas adalah korban dari penganiayaan suaminya, Subli, dan perkara tersebut sudah masuk tahap penyidikan,” tegas Yuli Setyowati, kuasa hukum Amelia dari Kantor Hukum Ridho Juansyah & Rekan, Jumat (29/8/2025).

Yuli menilai laporan balik yang dilakukan oleh pihak suami hanyalah cara untuk menyamakan posisi hukum antara pelaku dan korban.

“Amelia tidak pernah melakukan perlawanan saat kejadian. Tuduhan bahwa klien kami melakukan penganiayaan tidak berdasar dan bersifat mengada-ada,” ujarnya.

Ia juga membantah tuduhan bahwa Amelia menyebabkan luka pada Alek. Menurutnya, tidak ada bukti luka baru pada tubuh Alek usai kejadian.

“Dua hari setelah kejadian, mereka sempat bertemu dan tidak terlihat luka kecuali jari kelingking yang sudah terluka sebelumnya karena terkena cangkul. Jadi klaim itu tidak berdasar,” jelas Yuli.

Terkait perkembangan ini, Kantor Hukum Ridho Juansyah & Rekan menyatakan akan mengajukan permohonan perlindungan hukum bagi Amelia ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas Perempuan, serta Kompolnas.

Kuasa hukum juga mengkritisi permintaan penyidik untuk menyita handphone milik Amelia maupun kuasa hukum, yang menurut mereka dapat mengganggu kerahasiaan komunikasi profesional advokat.

“Kami mempertanyakan dasar hukum penyitaan tersebut, apalagi berkaitan dengan privasi dan kode etik profesi kami,” tegas Yuli.

Selain itu, pihaknya juga menilai permintaan agar Amelia bersumpah di bawah Al-Qur’an dalam proses penyelidikan sebagai bentuk ketidaktepatan prosedur hukum.

“Sumpah itu berlaku dalam tahap persidangan bagi saksi, bukan untuk terlapor. Bahkan terdakwa pun tidak disumpah dalam pengadilan. Jadi permintaan tersebut tidak relevan secara hukum,” ujarnya.

Menanggapi hal ini, Kasat Reskrim Polres Lampung Utara AKP Apryyadi Pratama menegaskan bahwa pihaknya akan tetap bekerja secara profesional dan mengikuti prosedur hukum.

“Setiap laporan masyarakat akan kami tindak lanjuti sesuai ketentuan, termasuk pengumpulan alat bukti,” ujar Apryyadi saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Sabtu (30/8/2025).

Terkait larangan perekaman di ruang penyidikan, ia membenarkan bahwa rekaman video oleh penasihat hukum terlapor tidak dibenarkan selama proses pemeriksaan.

“Di ruang penyidikan memang tidak diperkenankan ada perekaman. Itu demi menjaga integritas proses pemeriksaan,” tambahnya.

Soal sumpah, Apryyadi menyatakan bahwa itu sudah diatur dalam KUHAP. “Setiap saksi yang diperiksa, penyidik berwenang membuat berita acara sumpah,” tandasnya.

Kasus ini bermula dari laporan Amelia yang melaporkan suaminya, Subli, ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Lampung Utara atas dugaan KDRT. Peristiwa itu terjadi di Jalan Dwikora, Desa Talang Inim, Kecamatan Bukit Kemuning, dan diduga dipicu oleh cekcok mengenai penjemuran kopi.

Dalam laporannya, Amelia menyertakan hasil visum yang menunjukkan luka lebam pada wajah, hidung, mulut, dan kepala, serta luka cakaran dan gigitan di kedua tangan. Akibat insiden itu, Amelia mengalami trauma berkepanjangan dan kini tinggal bersama orang tuanya untuk menjalani pemulihan.

Yuli Setyowati menyatakan bahwa pihaknya juga sedang mengkaji kemungkinan adanya keterangan palsu dari pihak Alek, dan membuka opsi untuk mengambil langkah hukum lanjutan.

“Kami berharap aparat penegak hukum, khususnya Kapolres Lampung Utara, menghentikan upaya kriminalisasi terhadap korban. Korban kekerasan seharusnya dilindungi, bukan malah dikriminalisasi,” pungkas Yuli. (*)