Dramatis, Cerita Warga Tanggamus Terombang-ambing di Laut Saat Tengah Mencari Pengobatan

Penampakan perahu yang membawa Lankari saat terombang-ambing di tengah laut karena mesin rusak. Foto: Ist
Kupastuntas.co, Tanggamus - Laut sering kali jadi ruang tunggu yang
misterius: antara hidup dan mati, antara harapan dan keputusasaan. Begitu pula
sore itu di perairan Waynipah, Pematangsawa, Kabupaten Tanggamus, Lampung, Rabu
(27/8/2025). Angin menebar dingin, ombak berkejaran, dan langit menggelap
pelan. Di tengah hamparan air asin itu, sebuah perahu kayu kecil jenis
ketinting kehilangan dayanya, mesin macet, kipas patah.
Perahu itu berangkat dari Pekon Karang Brak, sebuah desa dari 8 desa di
ujung selatan Kecamatan Pematangsawa. Dari sana menuju daratan hanya bisa
ditempuh lewat laut, dengan waktu perjalanan sekitar dua jam. Bagi warga, laut
bukan pilihan, melainkan satu-satunya jalan. Dan di atas perahu malang itu,
tujuh penumpang menggantung nasib.
Salah satunya, Lankari (68), terengah-engah melawan sesak napas. Wajahnya
pucat, napasnya tersengal. Ia sedang dirujuk ke RS Panti Secanti Gisting. Di
sisinya, tenaga medis muda Mila Fatmasari, berusaha menenangkan sambil
menggenggam tangannya. Namun tatapannya tak bisa menyembunyikan cemas.
“Perahu tiba-tiba macet, kami terombang-ambing hampir satu jam di atas laut
dengan ombak yang cukup besar,” kenang Mila.
Mesin ketinting yang biasanya meraung kini hanya sunyi, meninggalkan
rombongan pasrah pada amarah ombak. Satu jam lebih perahu itu Terombang-ambing
dipermainkan ombak, dengan langit di atas yang gelap siap menurunkan air hujan.
Di saat genting, takdir mempertemukan mereka dengan sebuah perahu viber
milik Polsek Pematangsawa. Dari kejauhan, raungan mesinnya terdengar, membelah
ombak sore.
Kapolsek Ipda Ahmad Rais, yang berada di atas perahu bersama Kanit Intelkam
dan Kanit Bimas, baru saja kembali dari kegiatan di Pekon Tampang Muda.
Pandangannya menangkap perahu kayu yang oleng tanpa arah. Ia segera paham, ada
nyawa yang terancam.
“Melihat kondisi darurat tersebut, kami langsung mengambil tindakan cepat,”
ujar Rais.
Dengan sigap, ia bersama anggotanya mengikatkan tali tambang pada haluan
perahu kayu. Mesin viber meraung, menarik perahu yang nyaris hanyut itu menuju
pantai Waynipah. Ombak masih menghantam, tapi kali ini ada tujuan, ada arah,
ada harapan.
Begitu menjejak darat, tanah basah terasa bagai anugerah. Lankari segera
diangkat ke mobil yang menunggu untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit
di Kecamatan Gisting.
Bidan Mila mengaku jantungnya berdegup kencang sepanjang waktu. Laut yang
biasanya ia pandang indah, sore itu seolah berubah jadi jurang maut.
“Alhamdulillah akhirnya kami ditolong dan perahu bisa ditarik hingga selamat
sampai tujuan,” katanya, matanya berkaca mengenang detik penuh ketakutan itu.
Kapolsek Rais kemudian memberi pesan sederhana tapi mendalam: “Kami imbau
pemilik perahu agar selalu memeriksa mesin dan kelayakan perahu sebelum
berlayar. Jangan sampai ada nyawa kembali terancam karena kelalaian,"
tegasnya.
Di daratan, kabar penyelamatan itu sampai ke telinga Ailawati, Kepala UPT
Puskesmas Martanda. Dengan suara tulus ia menyampaikan terima kasih.
“Kami keluarga besar Puskesmas Martanda menyampaikan apresiasi
setinggi-tingginya kepada Kapolsek Pematangsawa dan tim yang sudah berjuang
hingga pasien selamat sampai tujuan,” ujarnya.
Laut bagi warga Pematangsawa terutama Pekon Teluk Brak, Karang Brak,
Kaurgading, Tirom, Way Asahan Martanda, Tampang Tua, dan Tampang Muda, bukan
sekadar bentangan air asin. Ia adalah jalan raya air, tempat nelayan mencari nafkah, jalur
penghubung antarpekon, jalur perekonomian, sekaligus rute darurat menuju rumah
sakit di daratan. Namun laut juga bisa berubah wajah, dari sahabat jadi
ancaman.
Sore itu, laut Pematangsawa
memperlihatkan kerasnya tabiat laut. Mesin macet, ombak menampar perahu,
dan nyawa manusia nyaris direnggut. Tapi hadir pula tangan-tangan penolong,
memastikan tragedi itu berubah jadi kisah penyelamatan.
Namun dari balik kisah heroik ini, muncul satu pertanyaan yang menggantung:
bukankah wilayah 3T di Kabupaten Tanggamus sudah memiliki kapal ambulans laut?
Jika ya, di manakah kapal itu saat paling dibutuhkan?
Pertanyaan ini bukan sekadar gugatan, tapi panggilan bagi pemerintah daerah
untuk menepati janjinya. Bagi warga pesisir yang hidup di tepian peta,
fasilitas dasar seperti ambulans laut bukan kemewahan, melainkan kebutuhan.
Nyawa yang sempat digantung ombak sore itu adalah pengingat bahwa kebijakan
tidak boleh berhenti pada seremoni peresmian, tapi harus hadir nyata di
lapangan.
Di tengah ombak Pematangsawa, solidaritas aparat memang menjadi jangkar
keselamatan. Tapi tugas negara adalah memastikan setiap warga, bahkan di ujung
selatan Tanggamus, tak lagi merasa hidupnya sekadar pasrah pada arus laut. (*)
Berita Lainnya
-
Terhempas Cuaca Buruk, Kapal Tongkang Terdampar di Pantai Harapan Tanggamus
Kamis, 28 Agustus 2025 -
Datar Lebuay, Surga Tersembunyi di Bumi Begawi Jejama Tanggamus
Kamis, 28 Agustus 2025 -
Banjir Rendam Kampung Sukajadi, SD Negeri Belu, dan Jalan Lintas Barat Kota Agung
Kamis, 28 Agustus 2025 -
Datar Lebuay Desa Penghasil Kopi di Tanggamus Mimpikan Jalan Beraspal
Rabu, 27 Agustus 2025