• Kamis, 28 Agustus 2025

Dramatis, Cerita Warga Tanggamus Terombang-ambing di Laut Saat Tengah Mencari Pengobatan

Kamis, 28 Agustus 2025 - 10.10 WIB
30

Penampakan perahu yang membawa Lankari saat terombang-ambing di tengah laut karena mesin rusak. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Tanggamus - Laut sering kali jadi ruang tunggu yang misterius: antara hidup dan mati, antara harapan dan keputusasaan. Begitu pula sore itu di perairan Waynipah, Pematangsawa, Kabupaten Tanggamus, Lampung, Rabu (27/8/2025). Angin menebar dingin, ombak berkejaran, dan langit menggelap pelan. Di tengah hamparan air asin itu, sebuah perahu kayu kecil jenis ketinting kehilangan dayanya, mesin macet, kipas patah.

Perahu itu berangkat dari Pekon Karang Brak, sebuah desa dari 8 desa di ujung selatan Kecamatan Pematangsawa. Dari sana menuju daratan hanya bisa ditempuh lewat laut, dengan waktu perjalanan sekitar dua jam. Bagi warga, laut bukan pilihan, melainkan satu-satunya jalan. Dan di atas perahu malang itu, tujuh penumpang menggantung nasib.

Salah satunya, Lankari (68), terengah-engah melawan sesak napas. Wajahnya pucat, napasnya tersengal. Ia sedang dirujuk ke RS Panti Secanti Gisting. Di sisinya, tenaga medis muda Mila Fatmasari, berusaha menenangkan sambil menggenggam tangannya. Namun tatapannya tak bisa menyembunyikan cemas.

“Perahu tiba-tiba macet, kami terombang-ambing hampir satu jam di atas laut dengan ombak yang cukup besar,” kenang Mila.

Mesin ketinting yang biasanya meraung kini hanya sunyi, meninggalkan rombongan pasrah pada amarah ombak. Satu jam lebih perahu itu Terombang-ambing dipermainkan ombak, dengan langit di atas yang gelap siap menurunkan air hujan.

Di saat genting, takdir mempertemukan mereka dengan sebuah perahu viber milik Polsek Pematangsawa. Dari kejauhan, raungan mesinnya terdengar, membelah ombak sore.

Kapolsek Ipda Ahmad Rais, yang berada di atas perahu bersama Kanit Intelkam dan Kanit Bimas, baru saja kembali dari kegiatan di Pekon Tampang Muda. Pandangannya menangkap perahu kayu yang oleng tanpa arah. Ia segera paham, ada nyawa yang terancam.

“Melihat kondisi darurat tersebut, kami langsung mengambil tindakan cepat,” ujar Rais.

Dengan sigap, ia bersama anggotanya mengikatkan tali tambang pada haluan perahu kayu. Mesin viber meraung, menarik perahu yang nyaris hanyut itu menuju pantai Waynipah. Ombak masih menghantam, tapi kali ini ada tujuan, ada arah, ada harapan.

Begitu menjejak darat, tanah basah terasa bagai anugerah. Lankari segera diangkat ke mobil yang menunggu untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit di Kecamatan Gisting.

Bidan Mila mengaku jantungnya berdegup kencang sepanjang waktu. Laut yang biasanya ia pandang indah, sore itu seolah berubah jadi jurang maut. “Alhamdulillah akhirnya kami ditolong dan perahu bisa ditarik hingga selamat sampai tujuan,” katanya, matanya berkaca mengenang detik penuh ketakutan itu.

Kapolsek Rais kemudian memberi pesan sederhana tapi mendalam: “Kami imbau pemilik perahu agar selalu memeriksa mesin dan kelayakan perahu sebelum berlayar. Jangan sampai ada nyawa kembali terancam karena kelalaian," tegasnya.

Di daratan, kabar penyelamatan itu sampai ke telinga Ailawati, Kepala UPT Puskesmas Martanda. Dengan suara tulus ia menyampaikan terima kasih.

“Kami keluarga besar Puskesmas Martanda menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Kapolsek Pematangsawa dan tim yang sudah berjuang hingga pasien selamat sampai tujuan,” ujarnya.

Laut bagi warga Pematangsawa terutama Pekon Teluk Brak, Karang Brak, Kaurgading, Tirom, Way Asahan Martanda, Tampang Tua, dan Tampang Muda, bukan sekadar bentangan air asin. Ia adalah jalan raya air,  tempat nelayan mencari nafkah, jalur penghubung antarpekon, jalur perekonomian, sekaligus rute darurat menuju rumah sakit di daratan. Namun laut juga bisa berubah wajah, dari sahabat jadi ancaman.

Sore itu, laut Pematangsawa  memperlihatkan kerasnya tabiat laut. Mesin macet, ombak menampar perahu, dan nyawa manusia nyaris direnggut. Tapi hadir pula tangan-tangan penolong, memastikan tragedi itu berubah jadi kisah penyelamatan.

Namun dari balik kisah heroik ini, muncul satu pertanyaan yang menggantung: bukankah wilayah 3T di Kabupaten Tanggamus sudah memiliki kapal ambulans laut? Jika ya, di manakah kapal itu saat paling dibutuhkan?

Pertanyaan ini bukan sekadar gugatan, tapi panggilan bagi pemerintah daerah untuk menepati janjinya. Bagi warga pesisir yang hidup di tepian peta, fasilitas dasar seperti ambulans laut bukan kemewahan, melainkan kebutuhan.

Nyawa yang sempat digantung ombak sore itu adalah pengingat bahwa kebijakan tidak boleh berhenti pada seremoni peresmian, tapi harus hadir nyata di lapangan.

Di tengah ombak Pematangsawa, solidaritas aparat memang menjadi jangkar keselamatan. Tapi tugas negara adalah memastikan setiap warga, bahkan di ujung selatan Tanggamus, tak lagi merasa hidupnya sekadar pasrah pada arus laut. (*)