• Rabu, 27 Agustus 2025

Ironi Kota Cerdas, Bansos Menumpuk di Pusat Pemerintahan Metro, Oleh: Arby Pratama

Rabu, 27 Agustus 2025 - 09.24 WIB
103

Arby Pratama, Wartawan Kupas Tuntas di Kota Metro. Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Data terbaru Dinas Sosial Kota Metro mengungkap sebuah fakta yang seharusnya membuat kita semua terhenyak. Metro Pusat, kawasan yang menjadi etalase pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan, ternyata menyimpan paradoks sosial yang mencolok, justru di sinilah jumlah keluarga pra sejahtera penerima bantuan sosial (bansos) terbanyak berada.

Sebanyak 281 keluarga di Metro Pusat tercatat menerima bansos, baik melalui Program Keluarga Harapan (PKH) maupun bantuan sembako. Jumlah ini jauh melampaui kecamatan lain seperti Metro Timur dengan 144 keluarga, Metro Barat 94 keluarga, Metro Utara 93 keluarga, dan Metro Selatan hanya 56 keluarga. Dari total 668 keluarga penerima di seluruh Kota Metro, hampir separuhnya terkonsentrasi di jantung kota.

Kepala Dinsos Kota Metro, AC Yuliati, memastikan data yang digunakan adalah hasil integrasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek). Ia menjamin bansos disalurkan tepat sasaran, dengan nominal Rp200 ribu per bulan yang ditransfer langsung ke rekening penerima.

Namun, sebersih apapun klaim teknokratis soal data dan distribusi, angka tersebut tetap menyimpan ironi yang tak bisa ditutup-tutupi, kenapa pusat pemerintahan dan perekonomian justru menjadi episentrum kemiskinan?

Toma Alfa Edison, pengamat kebijakan publik, menyebut kondisi ini sebagai “tamparan politik” bagi Pemerintah Kota Metro. Metro Pusat mestinya menjadi wilayah paling cepat merasakan dampak pembangunan. Infrastruktur memadai, akses birokrasi dekat, hingga geliat perdagangan yang relatif lebih dinamis ketimbang kecamatan pinggiran. Tetapi, realitas menunjukkan ratusan keluarga masih hidup dalam kekurangan.

“Bansos memang meringankan, tapi itu hanya tambalan sementara. Bansos tidak memutus rantai kemiskinan. Pemerintah seharusnya lebih berani, dengan menciptakan lapangan kerja, pelatihan keterampilan, dan penguatan UMKM lokal,” tegas Toma.

Pernyataan ini menohok jantung permasalahan, Kota Metro masih terjebak dalam pola pembangunan yang lebih menekankan pada simbol-simbol kota cerdas seperti agenda seremoni, branding kota namun abai pada pemberdayaan masyarakat miskin di pusat kotanya sendiri.

Metro Pusat menyimpan potret kemiskinan yang berbeda. Tidak selalu terlihat dari rumah reyot di pinggiran, melainkan sering tersembunyi di gang-gang sempit, kos-kosan buruh harian, hingga pedagang kecil yang bertahan hidup dengan penghasilan tak menentu.

Kemiskinan di pusat kota bersifat terselubung, mereka tinggal di dekat pusat perdagangan, tetapi tidak menjadi bagian dari roda ekonomi yang menguntungkan.

Pemerintah Kota Metro seolah gagal menjawab pertanyaan mendasar, mengapa akses yang dekat tidak otomatis menciptakan kesejahteraan. Apakah ada ketimpangan dalam distribusi peluang kerja? Apakah kualitas pendidikan dan keterampilan warga masih rendah? Atau justru ada monopoli ekonomi oleh kelompok tertentu yang membuat kelas bawah tersisih?

Bansos jelas penting, tetapi harus diakui hanya bersifat darurat. Tanpa strategi jangka panjang, Metro Pusat akan terus tercatat sebagai kantong kemiskinan terbesar, sementara wajah luarnya tetap dijual sebagai Kota Cerdas berbasis jasa dan budaya yang religius. Label bagus, tapi tidak berbanding lurus dengan realitas sosial di lapangan.

Langkah konkret yang mendesak dilakukan Pemerintah Kota Metro setidaknya mencakup tiga hal yaitu pemetaan ulang akar masalah. Harus jelas, apakah faktor utama kemiskinan di Metro Pusat berasal dari pengangguran, rendahnya keterampilan, atau mahalnya biaya hidup di tengah kota Tanpa diagnosis yang tepat, kebijakan akan terus salah arah.

Lalu, program pemberdayaan nyata. Tidak cukup hanya pelatihan formalitas. Pemerintah harus menggandeng sektor swasta, koperasi, hingga perguruan tinggi untuk membuka akses modal, teknologi, dan jaringan pasar bagi warga miskin.

Terakhir, penciptaan lapangan kerja lokal. Metro harus keluar dari jebakan kota jasa yang hanya bergantung pada perdagangan dan birokrasi. Industri kreatif, digital, hingga pengembangan UMKM harus menjadi tulang punggung baru yang mampu menyerap tenaga kerja lokal.

Kota Metro pernah menjanjikan diri sebagai kota yang cerdas, berbasis jasa, budaya, dan religius. Namun data terbaru tentang konsentrasi kemiskinan di Metro Pusat membuktikan bahwa janji itu masih jauh dari kenyataan. Apa artinya kota cerdas jika warganya masih sibuk bertahan hidup dengan bansos Rp200 ribu per bulan.

Ironi Metro Pusat harus dibaca bukan sekadar angka statistik, melainkan peringatan keras bahwa pembangunan tidak boleh hanya berhenti pada klaim prestasi. Jika pemerintah kota gagal menjawab paradoks ini, maka Metro Pusat akan selamanya dikenal bukan sebagai pusat kemajuan, tetapi sebagai episentrum kemiskinan yang membongkar topeng retorika pembangunan. (*)