Ironi Kota Cerdas, Bansos Menumpuk di Pusat Pemerintahan Metro, Oleh: Arby Pratama

Arby Pratama, Wartawan Kupas Tuntas di Kota Metro. Foto: Arby/Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Metro - Data terbaru Dinas Sosial
Kota Metro mengungkap sebuah fakta yang seharusnya membuat kita semua
terhenyak. Metro Pusat, kawasan yang menjadi etalase pemerintahan, perdagangan,
dan pendidikan, ternyata menyimpan paradoks sosial yang mencolok, justru di
sinilah jumlah keluarga pra sejahtera penerima bantuan sosial (bansos)
terbanyak berada.
Sebanyak 281 keluarga di Metro Pusat tercatat
menerima bansos, baik melalui Program Keluarga Harapan (PKH) maupun bantuan
sembako. Jumlah ini jauh melampaui kecamatan lain seperti Metro Timur dengan
144 keluarga, Metro Barat 94 keluarga, Metro Utara 93 keluarga, dan Metro
Selatan hanya 56 keluarga. Dari total 668 keluarga penerima di seluruh Kota
Metro, hampir separuhnya terkonsentrasi di jantung kota.
Kepala Dinsos Kota Metro, AC Yuliati, memastikan
data yang digunakan adalah hasil integrasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial
(DTKS) dan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek). Ia menjamin bansos disalurkan
tepat sasaran, dengan nominal Rp200 ribu per bulan yang ditransfer langsung ke
rekening penerima.
Namun, sebersih apapun klaim teknokratis soal
data dan distribusi, angka tersebut tetap menyimpan ironi yang tak bisa
ditutup-tutupi, kenapa pusat pemerintahan dan perekonomian justru menjadi
episentrum kemiskinan?
Toma Alfa Edison, pengamat kebijakan publik,
menyebut kondisi ini sebagai “tamparan politik” bagi Pemerintah Kota Metro.
Metro Pusat mestinya menjadi wilayah paling cepat merasakan dampak pembangunan.
Infrastruktur memadai, akses birokrasi dekat, hingga geliat perdagangan yang
relatif lebih dinamis ketimbang kecamatan pinggiran. Tetapi, realitas
menunjukkan ratusan keluarga masih hidup dalam kekurangan.
“Bansos memang meringankan, tapi itu hanya
tambalan sementara. Bansos tidak memutus rantai kemiskinan. Pemerintah
seharusnya lebih berani, dengan menciptakan lapangan kerja, pelatihan
keterampilan, dan penguatan UMKM lokal,” tegas Toma.
Pernyataan ini menohok jantung permasalahan, Kota
Metro masih terjebak dalam pola pembangunan yang lebih menekankan pada
simbol-simbol kota cerdas seperti agenda seremoni, branding kota namun abai
pada pemberdayaan masyarakat miskin di pusat kotanya sendiri.
Metro Pusat menyimpan potret kemiskinan yang
berbeda. Tidak selalu terlihat dari rumah reyot di pinggiran, melainkan sering
tersembunyi di gang-gang sempit, kos-kosan buruh harian, hingga pedagang kecil
yang bertahan hidup dengan penghasilan tak menentu.
Kemiskinan di pusat kota bersifat terselubung,
mereka tinggal di dekat pusat perdagangan, tetapi tidak menjadi bagian dari
roda ekonomi yang menguntungkan.
Pemerintah Kota Metro seolah gagal menjawab
pertanyaan mendasar, mengapa akses yang dekat tidak otomatis menciptakan
kesejahteraan. Apakah ada ketimpangan dalam distribusi peluang kerja? Apakah
kualitas pendidikan dan keterampilan warga masih rendah? Atau justru ada
monopoli ekonomi oleh kelompok tertentu yang membuat kelas bawah tersisih?
Bansos jelas penting, tetapi harus diakui hanya
bersifat darurat. Tanpa strategi jangka panjang, Metro Pusat akan terus
tercatat sebagai kantong kemiskinan terbesar, sementara wajah luarnya tetap
dijual sebagai Kota Cerdas berbasis jasa dan budaya yang religius. Label bagus,
tapi tidak berbanding lurus dengan realitas sosial di lapangan.
Langkah konkret yang mendesak dilakukan
Pemerintah Kota Metro setidaknya mencakup tiga hal yaitu pemetaan ulang akar
masalah. Harus jelas, apakah faktor utama kemiskinan di Metro Pusat berasal
dari pengangguran, rendahnya keterampilan, atau mahalnya biaya hidup di tengah
kota Tanpa diagnosis yang tepat, kebijakan akan terus salah arah.
Lalu, program pemberdayaan nyata. Tidak cukup
hanya pelatihan formalitas. Pemerintah harus menggandeng sektor swasta,
koperasi, hingga perguruan tinggi untuk membuka akses modal, teknologi, dan
jaringan pasar bagi warga miskin.
Terakhir, penciptaan lapangan kerja lokal. Metro
harus keluar dari jebakan kota jasa yang hanya bergantung pada perdagangan dan
birokrasi. Industri kreatif, digital, hingga pengembangan UMKM harus menjadi
tulang punggung baru yang mampu menyerap tenaga kerja lokal.
Kota Metro pernah menjanjikan diri sebagai kota
yang cerdas, berbasis jasa, budaya, dan religius. Namun data terbaru tentang
konsentrasi kemiskinan di Metro Pusat membuktikan bahwa janji itu masih jauh
dari kenyataan. Apa artinya kota cerdas jika warganya masih sibuk bertahan
hidup dengan bansos Rp200 ribu per bulan.
Ironi Metro Pusat harus dibaca bukan sekadar angka
statistik, melainkan peringatan keras bahwa pembangunan tidak boleh hanya
berhenti pada klaim prestasi. Jika pemerintah kota gagal menjawab paradoks ini,
maka Metro Pusat akan selamanya dikenal bukan sebagai pusat kemajuan, tetapi
sebagai episentrum kemiskinan yang membongkar topeng retorika pembangunan. (*)
Berita Lainnya
-
Angka Putus Sekolah Tinggi, Disdikbud Metro Janji Validasi Ulang Data Pendidikan
Selasa, 26 Agustus 2025 -
Sandang Predikat Kota Pendidikan, Seperempat Penduduk Metro Tak Sekolah
Selasa, 26 Agustus 2025 -
Metro Pusat Jadi Episentrum Kemiskinan, Aktivis Soroti Kebijakan Pemkot
Selasa, 26 Agustus 2025 -
Diduga Gegara Bakar Sampah, Lahan Pemakaman Tionghoa di Metro Terbakar
Senin, 25 Agustus 2025