• Selasa, 26 Agustus 2025

‎Indonesia Miskin Bukan Karena Kekurangan Sumber Daya, Tetapi Karena Ketamakan Pejabatnya, Oleh: Donald Harris Sihotang

Selasa, 26 Agustus 2025 - 12.43 WIB
30

‎Dr. Donald Harris Sihotang, S.E., M.M, CEO Kupas Tuntas Grup, yang juga Dosen Magister Manajemen Pasca Sarjana Universitas Saburai Bandar Lampung. Foto: Dok.

‎Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Setelah 80 tahun merdeka, negeri ini masih tertatih karena korupsi merajalela, dari desa hingga Senayan. Infrastruktur moral hancur, solusinya : reformasi total, transparansi, dan penegakan hukum tegas.

‎Indonesia Agustus tahun 2025 baru saja merayakan 80 tahun kemerdekaannya.

Sebuah rentang waktu panjang yang seharusnya menjadi batu loncatan menuju kemajuan dan kemakmuran. Namun, di balik euforia perayaan, ada kenyataan pahit yang tidak dapat dipungkiri, rakyat masih banyak hidup dalam kemiskinan.

‎Bukan karena sumber daya kita kurang. Bukan pula karena rakyat tidak bekerja keras.

Penyebab utama adalah korupsi yang sudah membudaya, merusak setiap sendi kehidupan, dan menghancurkan harapan bangsa.

‎Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 mencatat bahwa 8,47% populasi atau sekitar 23,85 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih ironis lagi, 0,85% atau 2,38 juta jiwa berada dalam kondisi kemiskinan ekstrem.

Angka ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang kerap digembar-gemborkan baik, belum menyentuh sila ke lima Pancasila, keadilan sosial yang merata.

‎Kekayaan alam Indonesia seharusnya menjadi anugerah. Namun kasus-kasus besar justru membuktikan sebaliknya.

Kasus tambang timah PT Timah Tbk menyebabkan kerugian negara dan kerusakan lingkungan yang luar biasa, mencapai Rp271 triliun, dengan Rp223 triliun di antaranya harus dialokasikan untuk rehabilitasi.

‎Di sektor tambang lain, kasus tambang batu bara merugikan negara ratusan  miliar, akibat reklamasi yang diabaikan dan praktik suap yang melibatkan berbagai pihak.

Padahal, dana tersebut bisa digunakan untuk memperbaiki jalan desa, menyediakan air bersih, atau meningkatkan layanan kesehatan masyarakat.

‎Tak hanya di sektor energi dan sumber daya, BUMN pun sama busuknya. Skandal Pertamina 2025 menjadi salah satu contoh nyata.

Manipulasi subsidi minyak dan penjualan ilegal menimbulkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun. Padahal kalau dikelola dengan baik,  angka tersebut cukup untuk membiayai berbagai program pendidikan dan kesehatan secara masif.

‎Korupsi tidak berhenti di eksekutif. Sistem peradilan yang seharusnya menjadi benteng keadilan pun sama saja. Nama Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung, tercatat menyimpan harta gratifikasi senilai Rp915 miliar tunai dan 51 kilogram emas. Ia divonis 16 tahun penjara.

‎Kasus Zarof bukan yang pertama. Dalam kurun waktu 2011 hingga 2024, 29 hakim terjerat kasus korupsi.

Ada pula hakim yang menerima suap untuk membebaskan perusahaan sawit besar dari tuntutan hukum, dengan nilai suap mencapai Rp60 miliar.

Korporasi terlibat yakni Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group, tiga industri sawit atas pelanggaran izin ekspor CPO tahun 2022.

‎Bayangkan, lembaga peradilan, tempat masyarakat mencari keadilan justru ikut bermain kotor.

‎Korupsi juga merajalela di kementerian. Wakil Menteri Immanuel Ebenezer ditangkap KPK karena dugaan pemerasan sertifikasi K3.

Tarif resmi Rp275 ribu dipelintir menjadi Rp6 juta per sertifikat, merugikan buruh yang justru dilindungi negara. Total keuntungan haramnya diperkirakan mencapai Rp81 miliar.

Di dunia pendidikan pun begitu. Dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook senilai Rp9,9 triliun di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) antara 2019–2022 tengah diselidiki Kejaksaan Agung.

Empat pejabat dan staf telah ditetapkan tersangka, termasuk direktur teknis dan staf khusus menteri. Kerugian negara diperkirakan sekitar Rp1,98 triliun.

‎Politik apalagi. Dalam rentang waktu 2004 hingga Mei 2025, KPK mencatat 201 kepala daerah menjadi tersangka.

Dari jumlah itu, 171 bupati/wali kota dan 30 gubernur. Tak berhenti di situ, 363 legislator juga ikut tersandung kasus korupsi, memperlihatkan bagaimana penyakit ini menggerogoti sistem demokrasi kita.

‎Secara historis, sejak 2004 hingga 2024, 167 kepala daerah telah diproses hukum karena korupsi. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa dalam periode 2021–2023 saja, sedikitnya 61 kepala daerah menjadi tersangka.

Ini adalah angka yang mengerikan dan menunjukkan lemahnya pengawasan serta integritas di pemerintahan lokal.

‎Korupsi juga merambah sektor pendidikan di level lain. Pada tahun 2023, terdapat 57 kasus korupsi di sektor pendidikan yang melibatkan 128 tersangka. Padahal, sektor ini seharusnya menjadi investasi masa depan bangsa.

‎Di tingkat desa, situasinya tak kalah parah. Dari 2015 hingga 2024, teridentifikasi 851 kasus korupsi dana desa yang melibatkan 973 kepala desa.

Program yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan rakyat pedesaan malah dijadikan lahan memperkaya diri.

‎Rangkaian kasus ini memunculkan pertanyaan besar: siapa yang bisa dipercaya? Ketika desa, sekolah, kementerian, partai, hingga peradilan dipenuhi praktik kotor, harapan rakyat terasa semakin jauh.

‎Kepercayaan publik terhadap lembaga negara pun merosot tajam. Survei IPO Mei 2025 menunjukkan Lembaga DPR hanya dipercaya 45,8%, KPU 43,5%, dan partai politik 43%.

‎Di ranah hukum, Kejaksaan Agung memperoleh kepercayaan tertinggi (76%), tetapi Polri hanya 46,6%. Bahkan KPK, lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi, hanya dipercaya 55,9%, lebih rendah dibanding Mahkamah Konstitusi (74,3%) dan Mahkamah Agung (59,5%).

‎Apa yang membuat publik apatis? Karena setiap kali mereka melihat janji penegakan hukum, yang muncul justru kompromi politik. Hukuman dipangkas, grasi diberikan, dan kasus-kasus besar sering berhenti di tengah jalan.

‎Padahal, modal sosial terbesar sebuah bangsa adalah kepercayaan. Tanpa itu, program pembangunan sebesar apapun akan runtuh. Apalagi jika sistem politiknya diwarnai kompromi, dan hukum diperjualbelikan.

‎Lalu, apa yang harus dilakukan?

‎Pertama, reformasi kelembagaan penegak hukum harus dilakukan tanpa kompromi. KPK harus dikembalikan menjadi lembaga independen, tanpa intervensi politik.

Polri, Kejaksaan, dan lembaga peradilan harus dibenahi dengan transparansi dan pengawasan ketat.

‎Kedua, transparansi anggaran publik real-time. Penggunaan live dashboard untuk memantau APBN/APBD harus segera diterapkan. Publik berhak tahu ke mana uang mereka dibelanjakan.

‎Ketiga, teknologi anti-korupsi harus diterapkan. Blockchain untuk sistem tender dan kanal pelaporan whistleblower yang aman dan terlindungi dapat meminimalisir celah kecurangan.

‎Keempat, pendidikan integritas sejak dini. Pendidikan antikorupsi wajib dimasukkan dalam kurikulum dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Budaya integritas harus dibentuk sejak awal.

‎Kelima, gerakan kabupaten/kota anti-korupsi harus diperluas secara nasional. Daerah yang berhasil menerapkan tata kelola bersih harus diberi insentif, bukan hanya dipuji.

‎Keenam, efek jera harus nyata. Hukuman berat tanpa kompromi politik harus ditegakkan. Tidak boleh ada grasi yang melemahkan rasa keadilan masyarakat.

‎Ketujuh, peran masyarakat sipil harus diperkuat. Citizen journalism, dan kanal pengawasan publik harus menjadi bagian dari sistem pemberantasan korupsi.

‎Kedelapan, pendidikan moral dan literasi digital harus dipadukan. Di era media sosial, keterbukaan informasi dapat dimanfaatkan untuk mengawasi pejabat dan lembaga publik.

‎Kesembilan, partisipasi aktif publik harus didorong. Masyarakat harus diberi ruang melapor, memantau, dan mengawasi tanpa takut intimidasi.

‎Akhirnya, kita harus sadar, kemiskinan bukan sekadar soal angka, tetapi soal moralitas. Bangsa yang dibiarkan dipimpin oleh orang-orang tamak akan terus mewariskan penderitaan.

‎Jika kita ingin keluar dari lingkaran setan ini, maka keberanian politik dan kesadaran moral adalah kuncinya. Kita tidak boleh lelah bersuara, tidak boleh berhenti menuntut keadilan.

‎Setelah 80 tahun merdeka, sudah waktunya Indonesia berhenti memuja symbol, yang sifatnya hanya seremonial, mulailah bekerja pada substansi.

Korupsi harus dihancurkan dari akarnya, basmi tikus-tikus yang menggerogoti bangsa. Hanya dengan itu, kemiskinan bisa dilawan dan masa depan bangsa dapat direbut kembali. (*)