Pengamat: Ekonomi dan Kurangnya Edukasi Jadi Faktor Maraknya Pernikahan Dini
Pengamat Sosial Universitas Lampung, Dewi Ayu. Foto: Ist
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Angka pernikahan dini atau perkawinan di
bawah umur di Provinsi Lampung masih cukup tinggi. Sepanjang tahun 2024,
tercatat sebanyak 538 kasus.
Pengamat Sosial Universitas Lampung, Dewi Ayu, menilai faktor ekonomi
menjadi salah satu pemicu utama maraknya pernikahan dini di pedesaan. Ia
menyebut, banyak keluarga menikahkan anak mereka dengan alasan untuk
meringankan beban hidup.
“Orang tua menganggap dengan menikahkan anak, pengeluaran rumah tangga
berkurang. Anak yang sudah menikah dianggap tidak lagi menjadi tanggung jawab
penuh keluarga,” ujar Dewi Ayu saat dimintai tanggapan Senin (25/8/2025).
Ia menambahkan, minimnya pemahaman masyarakat pedesaan mengenai dampak
pernikahan dini juga menjadi penyebab lain.
Menurutnya, sebagian besar orang tua belum memahami konsekuensi kesehatan,
mental, dan psikologis yang akan dialami anak jika menikah di usia muda.
“Banyak keluarga tidak sadar bahwa menikahkan anak di usia dini justru
membuka masalah baru. Mereka belum siap secara mental, sehingga rawan mengalami
tekanan dalam rumah tangga,” jelasnya.
Selain itu, Dewi Ayu menyoroti lemahnya kontrol orang tua terhadap anak di
pedesaan. Kesibukan mencari nafkah, seperti bekerja di ladang dan sawah,
membuat orang tua tidak maksimal mengawasi pergaulan anak.
Padahal, menurutnya, pengawasan orang tua sangat penting untuk mencegah
anak terjerumus pada hal-hal negatif yang dapat berujung pada pernikahan dini.
“Peran orang tua tidak bisa digantikan siapa pun. Orang tua harus hadir
memberi pemahaman, nasihat, serta menjadi tempat anak bertanya sebelum mereka
mengambil keputusan penting dalam hidupnya,” katanya.
Ia juga mengungkapkan, sebagian masyarakat di desa masih memegang kuat
anggapan lama bahwa anak yang sudah remaja sebaiknya segera dinikahkan. Pola
pikir semacam ini, menurutnya, turut memperkuat praktik pernikahan dini.
Dalam pandangan Dewi Ayu, peran pemerintah menjadi sangat penting juga
untuk memutus mata rantai persoalan tersebut. Ia menegaskan bahwa pamong dan
kepala desa tidak boleh hanya fokus pada urusan pendapatan desa, tetapi juga
harus peduli terhadap masalah sosial.
“Pemerintah desa harus aktif melakukan sosialisasi. Melibatkan tenaga kesehatan
untuk menjelaskan dampak kesehatan, dan juga menghadirkan pihak berkompeten
lain yang bisa memberi pemahaman soal aturan hukum. Termasuk tentang batas
minimal usia perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang,” papar Dewi.
Lebih jauh, ia menilai pernikahan dini turut menyumbang tingginya angka
perceraian di Lampung. Banyak pasangan muda yang tidak siap secara mental
maupun ekonomi untuk berumah tangga, sehingga rumah tangga mereka tidak
bertahan lama.
“Data menunjukkan, perceraian kerap dipicu oleh ketidaksiapan pasangan
muda. Mereka belum matang secara psikologis maupun finansial, akhirnya konflik
rumah tangga tidak bisa dihindari,” tutupnya. (*)
Berita Lainnya
-
722 KPM PKH di Lampung Lulus Mandiri, Pengamat: Validasi Data Harus Ketat dan Transparan
Senin, 17 November 2025 -
Lampung - Malaysia Sepakati Akselerasi Penempatan 200 Pekerja Migran ke Sektor Perkebunan
Senin, 17 November 2025 -
BNNP Lampung Tingkatkan Pengamanan Jalur Sumatera, Peredaran Narkoba Semakin Terbatas
Senin, 17 November 2025 -
4.302 KPM di Lampung Diusulkan Lulus PKH dan Terima Bantuan Pemberdayaan Usaha
Senin, 17 November 2025









