• Jumat, 15 Agustus 2025

Perang Layangan Iringmulyo: Tradisi Rakyat Jelang 17 Agustus

Jumat, 15 Agustus 2025 - 18.09 WIB
58

Puluhan warga dari berbagai usia sedang asyik berperang layangan. Foto: Arby/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, langit Iringmulyo di Kecamatan Metro Timur, Kota Metro punya cara tersendiri untuk ikut merayakan.

Bukan dengan kembang api, bukan pula dengan parade bendera, melainkan lewat ratusan layangan yang bertarung bebas di udara.

Setiap sore, tepatnya selepas Ashar hingga menjelang Magrib, Jalan Pala 6, RT 13 RW 06, berubah menjadi arena yang semarak.

Di sana, benang gelasan berseliweran, saling menghunus lawan di angkasa. Fenomena ini oleh warga setempat disebut 'perang layangan', sebuah tradisi musiman yang kini menjelma menjadi hiburan rakyat, ajang silaturahmi, dan simbol kegembiraan menyambut kemerdekaan.

“Sudah hampir sebulan ini ramai sekali. Cuacanya mendukung, angin sore cukup kencang. Jadi setiap habis Ashar, orang-orang sudah siap di sini, main sampai menjelang Magrib,” kata Ilham Prameswara (40), warga setempat yang nyaris tak pernah absen dalam setiap pertempuran.

Bagi Ilham, perang layangan lebih dari sekadar hobi. Ia menyebutnya sebagai ritual sore yang merekatkan banyak hal, dari pertemanan, nostalgia, hingga peluang ekonomi.

Dari ujung jalan hingga ke persimpangan, tak hanya para pemain yang berkumpul. Warga dari Margorejo, Ganjar Agung, Metro Selatan, hingga luar kota, datang membawa semangat yang sama: bermain dan bersenang-senang.

"Bukan cuma soal menang-kalah, tapi ini momen kumpul sama teman-teman,” ujar Ilham sembari menarik tali layangannya yang mulai terbang rendah.

Di tengah keramaian, para penjual layangan dadakan dan pedagang jajanan memanfaatkan momen ini untuk menjajakan dagangan. Sebungkus cilok hangat atau es mambo menjadi teman menonton duel-duel di langit.

Lebih dari Sekadar Permainan

Hendro (42), warga Margorejo, rela menempuh perjalanan 15 menit dengan motor hanya untuk terlibat dalam keseruan sore itu. Baginya, mengendalikan layangan adalah perjalanan pulang ke masa kecil.

"Dulu cuma buat hobi, sekarang jadi semacam nostalgia. Ada sensasi sendiri kalau layangan kita bisa motong punya lawan. Apalagi menjelang 17 Agustus, rasanya seperti pesta rakyat,” ucapnya sambil tersenyum lebar.

Sementara A’an, warga Ganjar Agung, membawa perspektif yang lebih dalam. Ia melihat perang layangan sebagai simulasi kecil kehidupan.

"Di sini saya belajar strategi, kesabaran, dan kerja sama. Kadang kita harus mengalah dulu untuk bisa menang di saat tepat. Seru, tapi juga ada filosofinya,” tuturnya, sambil menatap langit yang kini dihiasi puluhan layangan aneka rupa.

Langit yang Menyatukan

Meski disebut 'perang', tak ada dendam yang tersisa di darat. Justru tawa, sorak-sorai, dan canda menjadi bumbu utama setiap sore.

Anak-anak berlarian mengejar layangan putus, para remaja asyik merekam momen untuk media sosial, dan orang tua duduk di kursi plastik, menikmati angin dan warna-warni langit.

Perang layangan ini telah menjadi ruang sosial yang baru, tempat di mana batas antar-kampung dan usia mengabur, digantikan oleh rasa senang yang sederhana namun tulus.

"Kami berharap ini bisa terus ada setiap tahun menjelang Agustusan. Ini hiburan murah meriah, tapi mampu menyatukan banyak orang,” ujar A’an.

Ketika matahari perlahan tenggelam, siluet layangan yang masih bertahan di udara tampak seperti bendera-bendera kecil yang berkibar, seolah mengibarkan semangat kemerdekaan dari langit.

Di Iringmulyo, jelang HUT RI ke-80, langit sore bukan sekadar tempat bermain. Ia menjadi kanvas kebersamaan, tempat di mana setiap tarikan benang adalah ungkapan kegembiraan atas kemerdekaan dan atas hidup itu sendiri. (*)