PHRI Lampung Protes Kebijakan Royalti Lagu untuk TV di Kamar Hotel

Sekretaris PHRI Lampung, Friandi Indrawan. Foto: Ist
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Perhimpunan
Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Lampung memprotes kebijakan Lembaga
Manajemen Kolektif Hak Musik (LMKHM) yang menerapkan tarif royalti terhadap
televisi di dalam kamar hotel.
Sekretaris PHRI Lampung, Friandi Indrawan,
menegaskan kebijakan ini tidak sesuai dengan perjanjian yang sebelumnya telah
disepakati antara DPP PHRI dan LMKHM pusat.
Dalam kesepakatan tersebut, televisi yang
berada di kamar hotel tidak dikategorikan sebagai alat pemutar ulang atau
rebroadcast, sehingga tidak diwajibkan membayar royalti.
“Kami paham dan menghargai Undang-Undang Hak
Cipta, tapi aturan ini harus jelas dan sesuai perjanjian. Kalau TV di kamar
hotel dianggap sebagai alat rebroadcast lalu dihitung royalti per kamar, ini
memberatkan pelaku usaha. Seharusnya kewajiban hanya untuk perangkat di ruang
publik, seperti restoran, kafe, atau ruang fitnes,” kata Friandi, Senin
(11/8/2025).
Ia mengungkapkan, LMKHM di daerah justru
menerapkan tarif berdasarkan jumlah kamar hotel. Semakin banyak kamar, semakin
besar pula nilai royalti yang harus dibayar. Menurutnya, kebijakan di tingkat
pusat dan daerah tidak sinkron, sehingga menimbulkan kebingungan di lapangan.
“Kami bukan menolak membayar royalti. Yang
kami protes adalah perhitungan yang tidak sesuai kesepakatan. Kalau TV di ruang
publik mungkin wajar, tapi untuk TV di dalam kamar, itu kan digunakan oleh tamu
secara pribadi sebagai fasilitas hotel,” ujarnya.
Selain masalah TV, Friandi juga menyoroti
aturan royalti untuk restoran yang dihitung berdasarkan jumlah kursi.
“Perhitungan seperti ini tidak masuk akal.
Kalau terus dipaksakan, pelaku usaha sangat terbebani,” jelasnya.
Penerapan pembayaran royalti lagu diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak
Cipta Lagu dan/atau Musik, serta Undang-Undang Hak Cipta. Aturan ini mewajibkan
pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik untuk membayar royalti melalui
LMK.
Namun, di Lampung, kebijakan ini membuat
sebagian pemilik hotel, restoran, dan kafe mengurangi bahkan menghentikan
penggunaan musik.
“Ada yang memilih tidak memutar musik sama
sekali, karena beban biaya terlalu tinggi,” kata Friandi.
Ia juga mengingatkan agar aturan tidak
diberlakukan secara kaku tanpa mempertimbangkan kondisi di lapangan.
“Kalau suara burung di alam dianggap sebagai
musik, lalu siapa yang menerima royaltinya? Aturan ini perlu dirembuk ulang di
tingkat pusat agar adil bagi semua pihak,” pungkasnya. (*)
Berita Lainnya
-
Angka Partisipasi Perguruan Tinggi Rendah, Lampung Targetkan 50 Persen Lulusan Masuk PTN
Senin, 11 Agustus 2025 -
Itera Sambut 4.929 Mahasiswa Baru, Rektor Tekankan Bangun Karakter dan Kolaborasi
Senin, 11 Agustus 2025 -
Dukung Pembayaran Royalti Musik, Munir Usul Kolaborasi dengan Musisi Lokal
Senin, 11 Agustus 2025 -
Cafe di Bandar Lampung Kurangi Pemutaran Lagu Usai Ada Kewajiban Bayar Royalti
Senin, 11 Agustus 2025