• Senin, 11 Agustus 2025

PHRI Lampung Protes Kebijakan Royalti Lagu untuk TV di Kamar Hotel

Senin, 11 Agustus 2025 - 13.35 WIB
22

Sekretaris PHRI Lampung, Friandi Indrawan. Foto: Ist

Sri

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Lampung memprotes kebijakan Lembaga Manajemen Kolektif Hak Musik (LMKHM) yang menerapkan tarif royalti terhadap televisi di dalam kamar hotel.

Sekretaris PHRI Lampung, Friandi Indrawan, menegaskan kebijakan ini tidak sesuai dengan perjanjian yang sebelumnya telah disepakati antara DPP PHRI dan LMKHM pusat.

Dalam kesepakatan tersebut, televisi yang berada di kamar hotel tidak dikategorikan sebagai alat pemutar ulang atau rebroadcast, sehingga tidak diwajibkan membayar royalti.

“Kami paham dan menghargai Undang-Undang Hak Cipta, tapi aturan ini harus jelas dan sesuai perjanjian. Kalau TV di kamar hotel dianggap sebagai alat rebroadcast lalu dihitung royalti per kamar, ini memberatkan pelaku usaha. Seharusnya kewajiban hanya untuk perangkat di ruang publik, seperti restoran, kafe, atau ruang fitnes,” kata Friandi, Senin (11/8/2025).

Ia mengungkapkan, LMKHM di daerah justru menerapkan tarif berdasarkan jumlah kamar hotel. Semakin banyak kamar, semakin besar pula nilai royalti yang harus dibayar. Menurutnya, kebijakan di tingkat pusat dan daerah tidak sinkron, sehingga menimbulkan kebingungan di lapangan.

“Kami bukan menolak membayar royalti. Yang kami protes adalah perhitungan yang tidak sesuai kesepakatan. Kalau TV di ruang publik mungkin wajar, tapi untuk TV di dalam kamar, itu kan digunakan oleh tamu secara pribadi sebagai fasilitas hotel,” ujarnya.

Selain masalah TV, Friandi juga menyoroti aturan royalti untuk restoran yang dihitung berdasarkan jumlah kursi.

“Perhitungan seperti ini tidak masuk akal. Kalau terus dipaksakan, pelaku usaha sangat terbebani,” jelasnya.

Penerapan pembayaran royalti lagu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, serta Undang-Undang Hak Cipta. Aturan ini mewajibkan pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik untuk membayar royalti melalui LMK.

Namun, di Lampung, kebijakan ini membuat sebagian pemilik hotel, restoran, dan kafe mengurangi bahkan menghentikan penggunaan musik.

“Ada yang memilih tidak memutar musik sama sekali, karena beban biaya terlalu tinggi,” kata Friandi.

Ia juga mengingatkan agar aturan tidak diberlakukan secara kaku tanpa mempertimbangkan kondisi di lapangan.

“Kalau suara burung di alam dianggap sebagai musik, lalu siapa yang menerima royaltinya? Aturan ini perlu dirembuk ulang di tingkat pusat agar adil bagi semua pihak,” pungkasnya. (*)