Ketika Konflik Manusia–Satwa Tak Lagi Dianggap Darurat, Oleh : Echa Wahyudi

Echa Wahyudi Wartawan Kupas Tuntas di Lampung Barat. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Lampung Barat - Lagi-lagi, warga Lampung Barat harus kehilangan nyawa akibat konflik dengan satwa liar, yakni Harimau Sumatera.
Kali ini, Ujang Samsudin (37), warga Pekon Suoh, ditemukan tewas mengenaskan di semak belukar kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Ini bukan peristiwa pertama, dan tragisnya, kemungkinan besar bukan yang terakhir.
Dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir, sudah 10 warga menjadi korban konflik manusia dan harimau di wilayah ini. Tujuh di antaranya meninggal dunia. Sisanya mengalami luka atau nyaris kehilangan nyawa.
Semua terjadi di wilayah yang sama, dengan pola yang nyaris serupa. Namun hingga kini, tidak ada tanda-tanda hadirnya solusi jangka panjang yang menyeluruh dari pemerintah maupun pihak terkait.
Tiap kali ada korban, reaksi yang muncul pun hampir selalu sama: pernyataan duka, pembentukan tim investigasi, janji mitigasi, lalu hilang ditelan waktu.
Sementara warga tetap bertaruh nyawa setiap kali memasuki kebun mereka sendiri, sebuah ironi yang tak seharusnya terjadi di negeri yang katanya menjunjung tinggi keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Dalam benak, berbisik: apakah kita harus menunggu korban berikutnya, atau yang kesekian kali, baru kemudian sadar bahwa ada yang salah secara sistemik? Kita bicara soal nyawa manusia, bukan sekadar statistik dalam laporan tahunan. Mengapa tragedi yang sama terus terjadi tanpa ada perubahan nyata?
Ledakan amarah keluarga korban dan masyarakat sekitar hanya mampu tersimpan dalam diam, karena nyawa manusia seakan-akan ditakar lebih murah dari nyawa satwa. Tapi apa daya, karena harus taat dan patuh terhadap hukum, amarah yang ada terbendung sebatas semu!
Masih ada dalam ingatan, saat kemarahan penduduk pernah bergejolak, menampakkan rasa kecewa dengan merusak dan membakar aset pemerintah, yakni Kantor TNBBS Resort Suoh. Karena disulut amarah, sanksi hukum pun diterapkan kepada lima warga yang ditetapkan sebagai tersangka.
Kawasan TNBBS memang merupakan kawasan konservasi penting, rumah bagi Harimau Sumatera yang terancam punah. Namun, perlu diingat: konservasi tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan keselamatan manusia.
Dimana letak keadilan ekologis jika warga yang menggantungkan hidupnya dari alam justru menjadi korban dari sistem yang tidak mampu melindungi mereka?
Kemunculan harimau di kebun-kebun kopi, ladang warga, bahkan sekitar pondok di dalam hutan, semakin sering terjadi. Bagi sebagian orang, harimau menjadi momok menakutkan. Namun, pertanyaannya: siapa sesungguhnya yang patut ditakuti?
Ketika wilayah jelajah Harimau Sumatera semakin menyempit karena deforestasi, pembukaan lahan ilegal, serta perambahan kawasan konservasi, maka konflik adalah konsekuensi yang tidak bisa dihindari antara manusia dan penghuni hutan.
Kawasan TNBBS adalah rumah bagi berbagai spesies endemik, termasuk Harimau Sumatera. Namun, tekanan terhadap kawasan ini luar biasa besar. Perambahan hutan untuk perkebunan kopi menjadi salah satu penyebab utama.
Banyak warga dari luar daerah, termasuk dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, datang membuka lahan secara ilegal, mendirikan pondok, bahkan menetap di dalam kawasan hutan.
Ironisnya, beberapa waktu lalu terungkap adanya upaya oknum melegalkan yang tidak legal, dengan menerbitkan sertifikat kepemilikan di dalam lahan TNBBS.
Tercatat sebanyak 121 sertifikat hak milik ditemukan berada di kawasan hutan lindung yang seharusnya steril dari aktivitas kepemilikan pribadi.
Padahal, kawasan taman nasional secara hukum bukan termasuk wilayah yang dapat dimiliki atau diklaim oleh individu. Penerbitan sertifikat ini tidak hanya merupakan bentuk pelanggaran administratif, tetapi juga simbol kegagalan pengawasan negara atas kawasan konservasi.
Yang lebih memprihatinkan, proses penerbitan ini diduga kuat melibatkan oknum aparat atau birokrat di lapangan. Tanpa keterlibatan pihak berwenang, tidak mungkin sertifikat resmi bisa terbit untuk lahan yang secara legal berada dalam zona perlindungan ekosistem.
Ini menjadi catatan serius bahwa kerusakan yang terjadi dalam kawasan hutan lindung sudah berlangsung sejak lama, bahkan didukung oleh oknum pemegang kewenangan.
Sertifikat ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk membuka lahan, membangun pondok, bahkan mendirikan kebun kopi yang akhirnya memperluas konflik antara manusia dan satwa liar, termasuk Harimau Sumatera.
Kebun-kebun kopi yang semula berada di zona penyangga kini mulai masuk ke zona inti taman nasional. Akibatnya, jalur pergerakan satwa terganggu.
Lebih parah lagi, populasi mangsa alami harimau seperti babi hutan dan beberapa spesies satwa lain menurun drastis akibat perburuan.
Harimau yang kelaparan pun tak punya pilihan selain memangsa hewan ternak, atau bahkan mendekati manusia.
Dalam perspektif ini, konflik manusia dan harimau bukanlah konflik dua makhluk hidup, tetapi konflik antara kepentingan jangka pendek manusia dengan kelestarian jangka panjang alam.
Kita tidak sedang menyalahkan harimau. Kita menyalahkan sistem yang gagal mengantisipasi konflik yang seharusnya bisa dicegah. Dimana langkah konkret mitigasi? Di mana pemetaan zona merah? Di mana program relokasi kebun yang dijanjikan bertahun-tahun lalu? Dan yang paling penting, di mana negara saat warganya diburu oleh predator di tanahnya sendiri?
Pihak TNBBS memang menyatakan akan membentuk tim gabungan investigasi. Tapi sudah berapa banyak tim investigasi dibentuk, dan mana hasil nyatanya? Investigasi bukanlah solusi.
Ia hanya respons. Sementara warga membutuhkan perlindungan jangka panjang, bukan sekadar narasi empati setelah tragedi terjadi.
Penting untuk disadari bahwa warga tidak masuk ke hutan konservasi karena ingin. Mereka ke sana karena tidak ada pilihan lain.
Ketika lapangan kerja terbatas dan lahan makin sempit, berkebun adalah satu-satunya cara bertahan hidup. Dan tragisnya, bertahan hidup hari ini bisa berarti kehilangan hidup esok hari.
Jika negara benar-benar hadir, seharusnya ada program padat karya, pemberdayaan ekonomi alternatif, dan akses terhadap lahan produktif yang aman.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Warga dibiarkan berhadapan sendiri dengan risiko paling mematikan tanpa pelindung, tanpa kehadiran nyata pemerintah.
Harimau memang perlu dilindungi. Tapi manusia juga punya hak untuk hidup aman. Konflik ini tidak boleh terus didiamkan. Harus ada keberanian dari para pemangku kepentingan untuk duduk bersama, tidak hanya membahas konservasi, tapi juga keadilan sosial bagi warga desa penyangga kawasan hutan.
Jika selama ini pendekatan konservasi hanya fokus pada pelestarian satwa tanpa melibatkan masyarakat secara aktif, maka sudah waktunya paradigma itu diubah.
Tanpa dukungan masyarakat, tidak akan pernah ada konservasi yang berhasil. Dan tanpa rasa aman, masyarakat tak akan pernah mendukung upaya pelestarian.
Kita juga harus menuntut transparansi. Berapa anggaran mitigasi konflik satwa–manusia yang sudah dikucurkan? Ke mana saja dana konservasi selama ini mengalir? Jangan-jangan, dana habis untuk rapat-rapat dan laporan, sementara warga tetap menjadi sasaran taring dan cakar.
Pemerintah daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga pemerintah pusat harus turun langsung, bukan sekadar kirim tim dan kirim belasungkawa. Saat warga meninggal, itu bukan tragedi lokal. Itu kegagalan nasional dalam melindungi rakyatnya.
Kematian Ujang Samsudin bukan sekadar kehilangan satu nyawa. Itu adalah simbol dari sistem yang mati rasa. Sistem yang membiarkan konflik berulang tanpa penyelesaian. Sistem yang memilih diam ketika yang dibutuhkan adalah aksi.
Sudah waktunya berhenti bersikap reaktif dan mulai berpikir strategis. Jika konflik ini terus dibiarkan, maka kita sedang menunggu tragedi berikutnya. Dan ketika itu terjadi, jangan salahkan harimaunya. Salahkan sistemnya.
Lampung Barat darurat. Tapi darurat yang terus diabaikan bukan lagi darurat. Ia adalah pengabaian terencana. Dan dalam pengabaian itulah, nyawa-nyawa tak berdosa terus melayang—tanpa perlindungan, tanpa keadilan. (*)
Berita Lainnya
-
Masa Jabatan 60 Peratin di Lampung Barat Diperpanjang Dua Tahun, Berikut Daftarnya
Minggu, 10 Agustus 2025 -
ASN Bappeda Lampung Barat yang Hilang Ditemukan Selamat, Kini dalam Perjalanan Pulang
Sabtu, 09 Agustus 2025 -
ASN Bappeda Lampung Barat Dilaporkan Hilang, Terakhir Pamit ke OKU Selatan
Jumat, 08 Agustus 2025 -
Jabatan Kabid Salah Tempat, BKPSDM Lambar Klaim Hanya Kesalahan Penulisan
Jumat, 08 Agustus 2025