Tekan Angka Perceraian di Lampung, Sosiolog Unila Usul Sekolah Keluarga Bahagia

Sosiolog Universitas Lampung (Unila), Erna Rochana. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Provinsi Lampung mencatat 14.471 kasus perceraian sepanjang tahun 2024. Jumlah tersebut menempatkan Lampung sebagai provinsi dengan angka perceraian tertinggi kelima secara nasional, setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
Data ini dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung, berdasarkan informasi yang dikutip dari situs resminya pada Kamis (7/8/2025). Rinciannya, cerai gugat sebanyak 11.896 kasus dan cerai talak sebanyak 2.575 kasus.
Kabupaten Lampung Tengah menjadi wilayah dengan angka perceraian terbanyak, yakni 2.452 kasus. Sementara itu, Kabupaten Pesisir Barat tercatat sebagai satu-satunya daerah yang nihil perceraian pada 2024.
Kepala BPS Lampung, Ahmadriswan Nasution, menyebut bahwa data tersebut bersumber dari Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI dan Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung.
Jika dibandingkan dengan tahun 2023, angka perceraian di Lampung mengalami penurunan sebanyak 1.313 kasus. Tahun sebelumnya, tercatat sebanyak 15.784 kasus.
Menanggapi tingginya angka perceraian di Lampung, Sosiolog Universitas Lampung (Unila), Erna Rochana, mengusulkan dibentuknya Sekolah Keluarga Bahagia sebagai pendekatan berbasis komunitas untuk mencegah perceraian sejak awal.
"Konsep keluarga kita banyak yang prematur. Pernikahan dilakukan tanpa perencanaan matang. Selama tiga tahun terakhir, angka pernikahan usia muda di Lampung masih tinggi, sekitar 36 persen,” ujar Erna, saat dimintai tanggapan, Kamis (7/8/2025).
Baca juga : Angka Perceraian di Lampung Tahun 2024 Mencapai 14.471 Kasus, Ini Daerah Terbanyak
Ia menilai, keluarga yang dibentuk terburu-buru cenderung lemah secara psikologis, ekonomi, dan hukum. Gaya hidup konsumtif dan pragmatis juga membuat banyak pasangan muda tidak tahan menghadapi konflik.
"Tanpa banyak pertimbangan jangka panjang, mereka cerai, lalu menikah lagi atau hidup sendiri,” katanya.
Erna mengingatkan bahwa perceraian menyisakan dampak sosial yang luas, baik bagi perempuan yang menjadi janda maupun bagi anak-anak yang ditinggalkan.
"Anak-anak bisa tumbuh dalam tekanan psikologis, menjadi tertutup, canggung bersosialisasi, dan merasa tidak normal seperti tubuh yang teramputasi,” ujarnya.
Sebagai solusi, Erna mendorong pembentukan Sekolah Keluarga Bahagia di tingkat komunitas, seperti di posyandu, yang memberikan edukasi pernikahan, advokasi psikososial, penguatan ekonomi, dan membangun jejaring sosial yang suportif.
"Pasangan perlu didampingi sejak sebelum menikah hingga saat menjalani pernikahan. Yang dibutuhkan adalah kesiapan menyeluruh, saling memahami, bukan sekadar cinta sesaat,” jelasnya.
Erna juga menekankan pentingnya membangun peran produktif pasangan dalam kehidupan domestik maupun publik, dengan semangat saling memaafkan, saling mendukung, dan berpikir positif demi masa depan keluarga. (*)
Berita Lainnya
-
Kementerian Pertanian: P4S Lembah Suhita Bandar Lampung Berpotensi Semanis Madu
Kamis, 07 Agustus 2025 -
Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Teknokrat Indonesia Raih Prestasi Gemilang di Rimau Robotic Contest & Exhibition 2025
Kamis, 07 Agustus 2025 -
Misi Dagang Jatim dan Lampung Catat Komitmen Transaksi Sebesar Rp 676 Miliar
Kamis, 07 Agustus 2025 -
11.876 Istri di Lampung Ajukan Cerai Sepanjang 2024
Kamis, 07 Agustus 2025