• Kamis, 07 Agustus 2025

‎Menelisik Jejak 'Tangan-Tangan Tak Terlihat' di Balik Retribusi Pasar Tematik Lumbok Seminung, Oleh : Echa Wahyudi

Kamis, 07 Agustus 2025 - 10.46 WIB
188

Echa Wahyudi, Wartawan Kupas Tuntas Grup wilayah Lampung Barat. Foto: Ist

‎Kupastuntas.co, Lampung Barat - Pasar Tematik Wisata Lumbok Seminung, yang dibangun dengan anggaran lebih dari Rp70 miliar uang rakyat, kini tengah menjadi sorotan.

Alih-alih menjadi kebanggaan Lampung Barat, pasar yang baru diresmikan pada 14 Juni 2025 itu justru memunculkan dugaan kebocoran retribusi hingga ratusan juta rupiah.

‎Bagaimana tidak? Data resmi menunjukkan bahwa PAD yang disetor ke kas daerah baru Rp23 juta per Juli 2025, sementara perputaran uang di pasar ini mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah setiap bulan.

Pertanyaan besar pun muncul: ke mana larinya uang retribusi yang dipungut dari ribuan pengunjung setiap hari, minggu, bahkan bulan itu?

‎Lebih mengejutkan lagi, pungutan retribusi ternyata sudah dilakukan sejak sebelum pasar ini diresmikan. Namun, hingga kini tak ada laporan resmi keuangan yang jelas.

Pengelola (Pokdarwis) memilih bungkam, sementara masyarakat mulai berspekulasi ada “tangan-tangan tak terlihat” yang ikut bermain di balik layar.

‎Mari kita hitung logikanya. Pada April 2025 saja, 30.000 orang tercatat mengunjungi pasar tematik. Jika setiap orang dikenai retribusi masuk dan parkir minimal Rp5.000, maka uang yang terkumpul mencapai Rp150 juta. Tetapi, ironisnya, satu rupiah pun belum masuk ke kas daerah pada bulan itu.

‎Pada bulan Juni, jumlah pengunjung tercatat 18.421 orang. Dengan hitungan sederhana, uang retribusi yang masuk seharusnya mencapai Rp147 juta. Tapi berapa yang disetor sebagai PAD? hanya Rp23 juta yang masuk ke kas daerah hingga akhir Juli. Angka yang tidak masuk akal.

‎Pengelola berdalih bahwa uang retribusi digunakan untuk membayar gaji 39 petugas dengan honor Rp1–1,5 juta per bulan. Namun, kalkulasi sederhana menunjukkan total gaji tak lebih dari Rp58,5 juta per bulan. Artinya, kemana perginya puluhan juta rupiah sisanya?

‎Lebih parah lagi, jika ditotal dua bulan terakhir saja, perputaran uang retribusi mencapai Rp215 juta. Setelah dikurangi gaji dan PAD yang disetor, masih ada sisa sekitar Rp75 juta yang tak jelas jejaknya. Mengapa pemerintah daerah seolah menutup mata terhadap fakta ini?

‎Mengapa pemangku kebijakan terkesan tutup mata? entah memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu hingga memilih  pura-pura buta dan pura-pura tuli terhadap rincian keuangan yang dikelola Pokdarwis Pasar Tematik.

‎Pernyataan geram dari sejumlah elemen masyarakat pun kini mulai muncul ke permukaan, mereka berspekulasi "Kalau cuma Pokdarwis yang main, rasanya tidak mungkin. Pasti ada orang-orang kuat di belakang mereka. Jangan-jangan ada oknum pejabat yang ikut menikmati".

‎Kalimat ini memang tajam, tapi bukankah masuk akal? Apakah sebuah kelompok kecil seperti Pokdarwis berani “bermain” tanpa ada yang melindungi mereka? Inilah yang memunculkan aroma busuk dalam pengelolaan pasar tematik ini.

‎Dugaan bocornya retribusi pasar tematik lumbok seminung diduga bukan hanya sekadar persoalan salah administrasi, melainkan adanya indikasi praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).

Uang hasil pembelian tiket dan parkir dari pengunjung yang semestinya melalui pemerintah untuk kembali ke rakyat  justru diduga dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok dan golongan tertentu.

‎Sikap tertutup dan tidak transparan yang ditunjukkan pihak pengelola pasar tematik memperkuat dugaan ada nya perbuatan yang harus ditutup tutupi yang menyebabkan mereka malu berkata jujur, hingga lalai akan kewajiban untuk memupuk dan menumbuh kembangkan transparansi ke publik.

‎Peran Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata dalam pengelolaan retribusi sektor pariwisata turut menjadi pertanyaan apakah perannya cukup dengan hanya duduk manis menunggu setoran saja tanpa harus mengaudit terlebih dahulu ? Jika jawaban nya iya, bukankah ini adalah aset publik yang menggunakan uang rakyat dan harus dipertanggung jawabkan rincian keuangan nya terhadap rakyat.

‎Bupati Lampung Barat harus segera mengambil langkah tegas. Audit investigatif wajib dilakukan. Jika perlu, Inspektorat dan aparat penegak hukum turun tangan. Jangan biarkan pasar tematik yang seharusnya membanggakan daerah berubah menjadi ladang bancakan bagi oknum tak bertanggung jawab.

‎Kasus ini bukan sekadar soal uang, tapi juga soal kepercayaan publik terhadap pemerintah. Jika masalah ini dibiarkan, masyarakat akan semakin apatis, bahkan mencurigai bahwa pemerintah sendiri ikut bermain di belakang layar.

‎Kita bicara soal pasar yang dibangun dengan dana puluhan miliar rupiah. Apakah ini akan menjadi monumen kebanggaan Lampung Barat, atau justru monumen kegagalan tata kelola dan pengawasan pemerintah daerah?

‎Saat ini, semua mata publik tertuju pada pemerintah. Masyarakat menunggu jawaban. Apakah uang retribusi yang mereka bayar selama ini kembali ke daerah untuk pembangunan, atau lenyap di tangan segelintir orang yang rakus?

‎Jika dugaan kebocoran ini tidak diusut tuntas, pertanyaan yang paling pahit pun muncul: untuk siapa sebenarnya pasar tematik ini dibangun? Untuk rakyat atau untuk kepentingan segelintir elit yang bersembunyi di balik jargon pariwisata. (*)