• Sabtu, 02 Agustus 2025

Ombak Besar dan Angin Kencang Hantam Pantai Kotaagung, Puluhan Kapal Nelayan Rusak

Jumat, 01 Agustus 2025 - 10.10 WIB
323

Sejumlah nelayan di Dusun Kapuran, Kelurahan Pasarmadang, Kotaagung, mengais puing-puing dari kapalnya yang hancur dihantam ombak besar. Foto: Sayuti/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Tanggamus - Malam itu, angin menggila. Langit tak bersahabat. Gelombang pasang datang tanpa jeda, menghantam kapal-kapal kecil yang bersandar di pesisir Teluk Semaka. Deru badai dan gelegar ombak menghapus tidur para nelayan. Mereka tak sedang bermimpi buruk, ini kenyataan.

Wasim, seorang nelayan jaring rampus di pesisir Muara Indah, Kelurahan Baros, Kecamatan Kotaagung, Kabupaten Tanggamus, masih mengingat jelas detik-detik kapal miliknya diseret ombak ke tengah gelap. Wajahnya mengeras saat menceritakan peristiwa itu.

“Ombaknya tinggi, datang berkali-kali. Kami tak sempat selamatkan apa-apa. Semua habis,” ujarnya dengan suara serak, seperti ditelan angin malam itu. Jumat (1/8/25).

Cuaca ekstrem yang melanda pesisir Kabupaten Tanggamus pada malam Senin (28/8/2025)  hingga Selasa (29/7/2025) bukan hanya menguji nyali, tapi juga menghapus penghidupan.

Ombak setinggi tiga meter, diiringi hujan deras dan angin tenggara yuhang tak kenal ampun, memporakporandakan lebih dari 34 kapal nelayan tradisional di dua titik utama, Muara Indah di Kelurahan Baros, dan Pantai Kapuran di perkampungan nelayan Dusun Kapuran, Kelurahan Pasarmadang, keduanya berada di wilayah Kecamatan Kotaagung, Kabupaten Tanggamus.

Kawasan-kawasan ini bukan sekadar tempat bersandar kapal. Di situlah denyut ekonomi ratusan keluarga nelayan berpijak. Mereka tidak sekadar kehilangan perahu mereka kehilangan harapan.

Erwin, nelayan pancing yang biasa berangkat dini hari saat bintang masih menggantung, kini hanya bisa memandang kosong ke arah laut yang dulu setia memberinya penghidupan.

“Kami hanya bisa berharap pemerintah tidak tutup mata,” ucapnya lirih saat rombongan dari Dinas Perikanan datang meninjau.

Hari Kamis (31 Juli 2025), Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Tanggamus, Darma Setiawan, turun langsung menyusuri pesisir. Ia datang bukan membawa keajaiban, melainkan membawa daftar. Bersama timnya, ia mendata kerusakan demi menyusun langkah pemulihan.

Mereka menelusuri lokasi-lokasi terdampak di Muara Indah dan Pantai Kapuran. Nama-nama nelayan dicatat. Kapal yang tenggelam, rusak, dan hilang ditelusuri satu per satu.

“Kami sedang menyusun data secara menyeluruh. Para nelayan kami minta tetap waspada, karena gelombang tinggi masih mungkin terjadi,” kata Darma.

Di antara daftar kerusakan itu, bukan hanya angka yang tercantum. Ada kisah perjuangan, ada jerih payah yang karam bersama ombak.

Kapal KM. Sumber Jaya milik Maryanto dari Kelompok Payang hancur total. KM. Londang Jaya 99 milik Sahudin tenggelam. KM. Saripah milik Suadi dari Kelompok Bagan rusak berat.

Bahkan perahu-perahu fiber yang selama ini jadi andalan kelompok Bong-Bongan, seperti milik Herdi, Boncel, hingga Satria, kini tinggal serpihan.

Dari kelompok jaring rampus, nama-nama seperti Gendon, Kasjan, hingga Casmadi kehilangan seluruh armadanya. Kapal milik Rosadi dan Ipul dari kelompok jaring udang bahkan dinyatakan hilang tanpa jejak.

Kerugian ditaksir mencapai miliaran rupiah. Bukan hanya karena kapal-kapal itu berbahan fiber dengan harga mesin yang tinggi, tetapi juga karena alat tangkap, jaring, dan seluruh perlengkapan yang menyertainya ikut musnah. Sebagian besar nelayan kini terpaksa berhenti melaut.

Di sebuah rumah sederhana di Dusun Kapuran, Kelurahan Pasarmadang, seorang nelayan tua bernama Aceng duduk di tikar lusuh, mengelus jari-jarinya yang pecah karena garam laut. Ia tak banyak bicara. Di sudut matanya mengendap kekhawatiran: bagaimana memberi makan cucunya minggu depan?

BMKG telah mengeluarkan imbauan agar nelayan tidak melaut sampai kondisi benar-benar membaik. Tapi di tengah laut yang murka, mereka bukan hanya menunggu cuaca reda. Mereka menunggu keadilan.

Pemerintah memang telah hadir, mencatat dan memverifikasi. Namun, bagi para nelayan, waktu adalah lawan kedua setelah gelombang. Tanpa bantuan konkret, waktu akan mengikis sisa-sisa ketahanan mereka.

Di pesisir Tanggamus, deru ombak tak pernah benar-benar berhenti. Tapi malam itu, gelombang tak hanya membawa badai, melainkan juga cerita duka yang kini mengendap di perahu-perahu patah dan mata-mata nelayan yang redup.

Laut masih bergelora. Tapi para nelayan tetap menunggu. Bukan pada langit, tapi pada negara. (*)