• Rabu, 23 Juli 2025

Hari Anak Nasional 2025: Mencari Kembali Suara Cinta Tanah Air

Rabu, 23 Juli 2025 - 11.21 WIB
17

Hari Anak Nasional 2025: Mencari Kembali Suara Cinta Tanah Air. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Hari Anak Nasional (HAN) 2025 membawa pesan yang sangat dalam, bukan hanya tentang anak-anak sebagai generasi penerus bangsa, tetapi juga tentang memori kolektif yang perlahan menghilang.

Beberapa waktu lalu dalam keterangan pers di Jakarta, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, dengan jujur mengungkapkan keprihatinan bahwa banyak anak-anak Indonesia kini tidak lagi hafal lagu-lagu nasional, termasuk yang sepopuler 'Halo-Halo Bandung'.

Bagi sebagian besar masyarakat yang tumbuh dengan lagu-lagu perjuangan, ini bukan sekadar fenomena biasa, ini sinyal bahaya.

Lagu-lagu nasional bukan hanya bagian dari pelajaran sekolah atau seremoni kenegaraan. Ia adalah simbol sejarah, semangat, dan identitas. Lagu 'Halo-Halo Bandung' misalnya, tak sekadar bercerita tentang sebuah kota di Jawa Barat, tapi tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Ketika lagu-lagu ini tidak lagi dikenali anak-anak kita, maka kita kehilangan lebih dari sekadar musik, kita kehilangan memori bangsa. Kenapa anak-anak tak lagi hafal lagu nasional? Mungkin jawabannya bukan pada mereka, tapi pada kita. Kita hidup di era serbacepat, serbadigital, dan penuh distraksi.

Lagu anak-anak dan lagu nasional telah tergeser oleh konten viral, tren TikTok, dan lagu-lagu pop asing. Sekolah-sekolah pun mulai lebih fokus pada target akademik dan ujian, ketimbang membangun identitas kebangsaan lewat seni dan budaya.

Sementara itu, orang tua di rumah lebih sering memutar video animasi luar negeri ketimbang memperkenalkan lagu 'Ibu Kita Kartini' atau 'Syukur'.

Lalu, siapa yang patut disalahkan? Tidak ada. Tapi semua harus bertanggung jawab. Karena membentuk karakter anak-anak bukan hanya tugas guru atau pemerintah, tapi tugas bersama seluruh bangsa.

Momentum Hari Anak Nasional tahun ini menjadi refleksi penting: sudah sejauh mana masyarakat menanamkan cinta tanah air lewat cara yang sederhana namun bermakna, seperti menyanyikan lagu nasional bersama anak-anak, Kita terlalu sibuk menyiapkan anak menjadi cerdas, namun lupa menyiapkan mereka menjadi manusia yang mencintai bangsanya.

Kita juga harus melihat lebih dalam bahwa permasalahan ini bukan hanya tentang lagu, tapi tentang budaya yang perlahan ditinggalkan.

Jika lagu-lagu nasional tidak lagi terdengar, bagaimana dengan cerita rakyat, permainan tradisional, atau seni daerah? Semua itu bagian dari jati diri yang bisa hilang dalam satu generasi jika tidak dijaga.

Peringatan HAN 2025 di Indragiri Hulu, Riau, yang mengangkat kembali tradisi, cerita rakyat, dan lagu nasional, patut diapresiasi. Ini menunjukkan bahwa upaya pelestarian tidak harus berskala nasional.

Justru di daerah-daerah, warisan budaya paling otentik dapat dihidupkan kembali. Pemerintah pusat dan daerah harus saling menguatkan dalam upaya ini.

Kita perlu lebih banyak inisiatif semacam ini, yang membumi dan menyentuh langsung anak-anak. Media massa dan platform digital juga seharusnya mengambil bagian.

Ciptakan konten yang menarik, edukatif, dan membangkitkan nasionalisme anak. Jangan biarkan algoritma mengatur arah cinta anak pada tanah airnya.

Saat ini, banyak anak mengenal karakter luar negeri lebih baik daripada pahlawan nasional. Mereka hafal lagu barat, namun gagap saat diminta menyanyikan 'Indonesia Pusaka'. Ini bukan kesalahan mereka. Ini hasil dari sistem yang kurang memprioritaskan pendidikan budaya secara menyeluruh.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu dari mana mereka berasal. Lagu-lagu nasional adalah salah satu cara termudah dan paling kuat untuk menyampaikan pesan itu.

Anak-anak tidak harus menghafal karena dipaksa, tapi karena merasa bangga dan terhubung dengan makna di balik lagu tersebut.

Untuk itu, perlu pendekatan yang segar dan kontekstual. Mengajarkan lagu nasional bisa lewat metode kreatif seperti seni pertunjukan, multimedia, hingga permainan edukatif. Guru dan orang tua harus menjadi role model, tidak hanya menyuruh, tetapi turut bernyanyi dan bercerita.

Pemerintah juga bisa mengintegrasikan lagu nasional ke dalam aplikasi belajar, channel YouTube edukatif, hingga challenge menyanyi di media sosial dengan dukungan influencer yang positif. Anak-anak kita tumbuh di era digital, maka cinta tanah air pun harus bisa ditanamkan di ruang-ruang digital.

Hari Anak Nasional 2025 adalah panggilan, bukan hanya perayaan. Sebuah ajakan untuk kembali menyanyikan lagu-lagu yang dulu membuat kita bangga menjadi Indonesia.

Lagu-lagu itu mungkin sederhana, namun di dalamnya ada sejarah, air mata, dan harapan. Sudah saatnya kita kembali memutar lagu-lagu itu di kelas, di rumah, di jalan, dan di hati kita semua. (*)