• Sabtu, 19 Juli 2025

Lemang, Makanan Tradisional yang Kembali Dihidupkan Lewat Festival Budaya

Sabtu, 19 Juli 2025 - 11.41 WIB
25

Sejumlah peserta saat mengikuti kegiatan 'Ngelemang' di lapangan merdeka, Kelurahan Pasar Liwa, Kecamatan Balik Bukit, yang merupakan rangkaian kegiatan Festival Sekala Bekhak Xl, Sabtu (19/7/2025). Foto: Echa/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Lampung Barat - Pagi ini, di jantung Kota Liwa, aroma harum santan dan ketan menyeruak ke udara, membawa kenangan kolektif masyarakat Lampung Barat kembali ke masa-masa ketika kebersamaan dan tradisi masih menjadi nadi kehidupan.

Seribu pancung lemang berjajar, berdiri kokoh di atas bara api, memancarkan kehangatan bukan hanya dari panasnya, tapi dari nilai-nilai budaya yang dikandungnya.

Festival Sekala Bekhak XI yang digelar di taman Kota Liwa, Kelurahan Pasar Liwa, tak hanya menjadi panggung seni dan adat, tetapi juga menjadi wadah pelestarian kuliner tradisional yang mulai tersisih oleh zaman.

Tahun ini, Pemerintah Kabupaten Lampung Barat memberi panggung khusus untuk "ngelemang" seni memasak lemang yang semakin jarang digelar. Lemang, makanan berbahan dasar beras ketan, santan kelapa, dan garam yang dimasukkan ke dalam batang bambu lalu dibakar, bukan sekadar makanan di bumi Sai Batin.

Ia adalah simbol. Tentang kebersamaan, rasa syukur, doa, dan penghormatan. Lemang hadir dalam berbagai momen sakral masyarakat mulai dari pernikahan, khitanan, hingga upacara sakral lainnya.

Di tengah keramaian, tampak Sekretaris Daerah Kabupaten Lampung Barat, Nukman, tak sekadar hadir sebagai pejabat. Ia berbaur dengan warga, mencicipi lemang dari berbagai pekon, bahkan menyempatkan diri ikut nyambai menari adat khas Lampung Barat  bersama masyarakat. Sorak dan tawa pun pecah, menciptakan suasana akrab nan membumi.

"Lemang ini bukan hanya makanan. Ini identitas kita. Kalau kita abai, siapa lagi yang akan jaga?" ujar Nukman, ketika disapa wartawan usai membuka acara lomba ngelemang yang diikuti 15 pekon dari Kecamatan Sukau, Balik Bukit, dan Batu Brak.

Yang istimewa, seribu pancung lemang yang digunakan untuk lomba bukan berasal dari peserta, melainkan disediakan sepenuhnya oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat. Sebuah bentuk nyata dukungan terhadap pelestarian budaya, sekaligus simbol keberpihakan pada tradisi.

Membakar lemang bukan pekerjaan sederhana. Butuh kesabaran, teknik, dan rasa. Batang bambu harus dibersihkan, daun pisang dilapisi di dalamnya, takaran santan harus tepat, api harus dijaga stabil. Prosesnya bisa memakan waktu tiga hingga lima jam. Namun dari situ pula lahir nilai kesabaran dan gotong royong.

Dalam festival itu, tampak para ibu dan bapak bekerja sama. Ada yang mengatur kayu bakar, ada yang mengisi ketan, ada pula yang terus-menerus memutar batang bambu agar matang merata. Semua larut dalam irama tradisi yang semakin langka ditemukan di era serba instan ini.

"Anak-anak sekarang lebih kenal sushi atau burger daripada lemang," celetuk salah satu peserta lomba sembari tersenyum pahit. "Padahal makanan ini jauh lebih kaya nilai."

Tak sedikit anak muda yang hanya menjadi penonton. Tapi justru dari sinilah harapan itu tumbuh. Pemerintah dan tokoh adat berharap, ke depan, generasi muda bisa lebih terlibat aktif. Karena tanpa penerus, tradisi bisa menjadi sekadar cerita di buku sejarah.

Menurut Nukman, lomba ngelemang ini akan terus digelar tiap tahun, dan harapannya, semakin banyak kaum muda yang ikut ambil bagian. Bukan hanya memperebutkan hadiah, tetapi belajar, memahami, dan mencintai warisan nenek moyang.

"Kita harus membuat anak muda bangga jadi bagian dari budaya lokal. Kita beri panggung, beri ruang, dan beri contoh. Kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi?" lanjutnya.

Sebagai putra daerah, Nukman merasa punya tanggung jawab moral untuk menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Ia tahu bahwa menjaga budaya bukan hanya tugas dinas pariwisata, tapi panggilan nurani setiap warga.

Festival Sekala Bekhak XI memang menampilkan beragam kesenian, mulai dari tarian adat, musik nyambai, Hadra, hingga penampilan budaya lainnya. Namun lomba ngelemang menjadi magnet tersendiri, karena menyentuh sisi paling domestik dari budaya dapur, keluarga, dan kebersamaan.

Tampak pula sejumlah pengunjung ikut menyaksikan acara. Mereka penasaran mencicipi lemang dan tertarik melihat proses pembuatannya yang unik. Ini membuktikan budaya lokal memiliki daya tarik tersendiri jika dikemas dengan baik.

Seiring matahari mulai tergelincir ke barat, lemang pun matang satu per satu. Suara bambu dipukul perlahan, aroma harum keluar menguar. Warga duduk bersama, saling mencicipi, saling memuji rasa. Sebuah harmoni yang lahir dari budaya.

Di akhir lomba, bukan hanya pemenang yang diumumkan. Tetapi juga sebuah pengingat, bahwa budaya tidak pernah lahir dari kemewahan, melainkan dari kesederhanaan yang dirawat bersama. Dari dapur yang menyala, dari tangan yang bekerja, dan dari hati yang mencintai.

“Melestarikan budaya bukanlah menjaga abu masa lalu, tapi menjaga api yang menerangi masa depan.”. (*)