• Rabu, 09 Juli 2025

Kelangkaan Gas LPG dan Jalan Panjang Menuju Distribusi Yang Adil, Oleh: Echa Wahyudi

Rabu, 09 Juli 2025 - 16.17 WIB
55

Echa Wahyudi Wartawan Kupas Tuntas di Lampung Barat. Foto: Echa/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Lampung Barat - Kelangkaan gas LPG 3 kilogram di Kabupaten Lampung Barat kian terasa sebagai krisis yang nyata dan berkepanjangan. Bukan hanya meresahkan masyarakat kecil yang menjadi pengguna utama, tetapi juga menandakan bahwa tata kelola distribusi energi bersubsidi di daerah ini tengah berada di titik rawan. Pemerintah daerah memang tidak tinggal diam, namun solusi yang bersifat insidental dan temporer belum cukup untuk menjawab akar persoalan.

Sejak awal 2025, keluhan masyarakat mengenai sulitnya mendapatkan tabung gas melon julukan untuk LPG 3 kilogram terus bermunculan dari berbagai kecamatan. Warga mengaku harus mengantre berjam-jam di pangkalan, dan ketika stok habis, mereka dipaksa membeli di pengecer dengan harga Rp30 ribu hingga Rp40 ribu per tabung, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp20.000–Rp22.000.

Fenomena ini tidak bisa hanya dimaknai sebagai soal “kelangkaan pasokan”. Ia lebih tepat disebut sebagai cermin dari gagalnya sistem distribusi dan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap barang bersubsidi. Di Lampung Barat terdapat lebih dari 200 pangkalan LPG dan beberapa agen penyalur resmi, namun ternyata hal itu tidak menjamin distribusi berjalan lancar dan merata.

Distribusi Tak Merata dan Terbatasnya Akses

Lampung Barat merupakan wilayah dengan topografi yang kompleks, terdiri dari daerah perbukitan dan wilayah-wilayah terpencil. Banyak desa yang jauh dari jangkauan distribusi utama karena infrastruktur jalan yang minim atau belum layak. Hal ini menyebabkan pangkalan di wilayah pelosok kerap tidak mendapatkan distribusi rutin.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada upaya terstruktur untuk memperluas titik pangkalan ke wilayah-wilayah yang sulit diakses. Padahal, tanpa keberadaan pangkalan resmi yang memadai, masyarakat akan terus bergantung pada pengecer yang memanfaatkan situasi untuk meraup keuntungan. Pangkalannya langka, stoknya terbatas, dan harganya tidak terkendali.

Penyalahgunaan Subsidi dan Peran Oknum Nakal

LPG 3 kilogram adalah barang subsidi. Ia diperuntukkan hanya untuk rumah tangga miskin dan pelaku usaha mikro. Namun di lapangan, gas ini juga digunakan oleh ASN, pelaku usaha menengah, bahkan restoran. Tanpa sistem pengawasan berbasis data, penyalahgunaan semacam ini akan terus terjadi. Subsidi yang semestinya meringankan beban masyarakat miskin, justru dinikmati oleh kelompok mampu.

Bukan hanya itu, dugaan praktik nakal oleh oknum agen dan pengecer juga menjadi sorotan. Ada dugaan penimbunan, pengalihan distribusi ke luar wilayah, hingga permainan harga yang menyengsarakan masyarakat. Namun, hingga kini belum ada tindakan hukum tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar. Pemerintah hanya melakukan sidak dan imbauan, tanpa penindakan konkret yang memberi efek jera.

Langkah Pemerintah Daerah Masih Bersifat Reaktif

Menanggapi kelangkaan ini, Pemerintah Kabupaten Lampung Barat telah melakukan berbagai langkah, mulai dari memanggil agen, distributor, Pertamina dan Hiswana Migas, dan melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah pangkalan.

Namun langkah-langkah ini masih bersifat reaktif dan jangka pendek. Tidak ada strategi distribusi yang menyasar persoalan mendasar seperti penyebaran pangkalan yang tidak merata, lemahnya sistem data penerima subsidi, dan minimnya kontrol harga di tingkat pengecer.

Salah satu langkah strategis yang perlu dipertimbangkan adalah digitalisasi distribusi, seperti penggunaan kartu identitas elektronik (e-KTP) berbasis data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) untuk memastikan bahwa hanya masyarakat yang berhak yang dapat membeli LPG subsidi.

Perlu Diversifikasi dan Edukasi Energi

Krisis ini seharusnya menjadi momentum untuk mendorong diversifikasi energi rumah tangga. Ketergantungan penuh pada LPG 3 kilogram harus dikurangi melalui edukasi dan penyediaan akses terhadap alternatif energi lain, seperti Bright Gas (non subsidi) atau opsi lain yang dianggap perlu.

Namun upaya ini tak bisa dibebankan hanya pada masyarakat. Pemerintah perlu hadir dengan program stimulus atau insentif seperti subsidi konversi atau subsidi harga Bright Gas bagi keluarga rentan non-miskin.

Reformasi Tata Kelola Harus Menjadi Prioritas

Kelangkaan LPG 3 kilogram di Lampung Barat bukan sekadar krisis pasokan, melainkan cermin dari persoalan struktural yang lebih besar. Buruknya tata kelola distribusi, lemahnya pengawasan, dan penyalahgunaan subsidi menjadi kombinasi yang merugikan masyarakat kecil.

Sudah saatnya Pemkab Lampung Barat tidak hanya memadamkan api kelangkaan dengan solusi sesaat. Dibutuhkan reformasi sistem distribusi yang adil, transparan, dan berbasis data, serta penegakan hukum terhadap para pelaku yang bermain dalam rantai distribusi.

Jika tidak, krisis ini akan terus berulang dari tahun ke tahun, dan yang menjadi korban adalah kelompok masyarakat yang seharusnya paling dilindungi oleh negara: mereka yang hidup di batas ketercukupan. (*).