• Sabtu, 05 Juli 2025

Delapan Pejabat Tak Dilantik, Antara Peringatan dan Pesan Politik, Oleh: Arby Pratama

Sabtu, 05 Juli 2025 - 10.33 WIB
888

Arby Pratama Wartawan Kupas Tuntas di Kota Metro. Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Kamis sore, 3 Juli 2025 lalu, halaman apel kantor Pemerintah Kota (Pemkot) Metro menjadi panggung politik paling jujur sekaligus paling menyakitkan tahun ini. Dari 26 pejabat tinggi pratama (PTP) yang diundang untuk menyambut formasi baru di bawah kepemimpinan Wali Kota H. Bambang Iman Santoso dan Wakil Wali Kota Dr. M. Rafieq Adi Pradana, hanya 18 saja yang dipanggil untuk dilantik.

Delapan sisanya, yang telah mengenakan jas formal dan berdiri di barisan pelantikan, hanya menjadi saksi dari pinggir barisan. Diam, tetapi terlihat sangat telanjang di hadapan ratusan pasang mata yang menyaksikannya.

Peristiwa ini bukan hanya soal siapa yang dilantik dan siapa yang tidak. Ini adalah panggung simbolik yang menggambarkan bahwa loyalitas tidak bisa lagi dipoles dengan basa-basi. Ini tentang kekuasaan yang mulai mengayunkan palu rotasi jabatan secara tegas dan menghentak.

Delapan nama yang gagal dilantik itu ialah dr. Silfia Naharani, Dr. Eko Hendro Saputra, dr. Fitri Agustina, Tri Hendriyanto, Helmy Zain, Ika Puspitarini Anindita Jayasinga, Jose Sarmento, dan Heri Wiratno. Kini mereka menjadi wajah-wajah pertanyaan besar, apakah mereka korban peringatan atau hanya sedang “digantung” untuk diselamatkan atau disingkirkan di kemudian hari? Namun apapun itu, inilah yang terbaik untuk Metro Bahagia.

Pemandangan saat kedelapan pejabat itu berdiri rapi, bersiap dilantik namun tak pernah dipanggil, bukanlah kejadian biasa. Ini bukan sekadar miskomunikasi atau kesalahan administratif. Ini adalah sebuah pernyataan politik bahwa "jangan main-main dengan loyalitas, jangan berselancar di dua perahu, dan jangan pura-pura netral" ketika dinamika politik daerah sedang bergerak cepat menuju arah perubahan.

Ada yang menyebut ini sebagai penghinaan terbuka. Bahwa delapan pejabat senior dibuat tampak tak berguna, dijemput dalam undangan namun dibiarkan membeku di tengah prosesi pelantikan. Namun bagi yang lebih kritis, ini bisa jadi sinyal ultimatum dari penguasa baru bahwa semua harus bersih, loyal, dan berani menyongsong perubahan. Tidak ada tempat bagi manuver politik pribadi yang mengorbankan pelayanan publik.

Delapan nama itu bukan sembarang pejabat. Mereka adalah kepala dinas, staf ahli, dan direktur rumah sakit yang memegang peran vital dalam roda birokrasi. Dialah dr. Silfia Naharani, Dr. Eko Hendro dan dr. Fitri Agustina yang merupakan figur kunci dalam sektor Pemberdayaan Masyarakat dan SDM hingga Kesehatan di Metro. Sektor yang belakangan ramai dibicarakan publik akibat dugaan penyelewengan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) pada program Kesehatan Keluarga (Kesga) hingga keluhan pelayanan RSUD nya.

Kemudian, Ika Puspitarini di Disdukcapil memegang kunci pelayanan administrasi penduduk, tempat di mana transparansi dan kecepatan pelayanan menjadi tolok ukur kinerja publik. Lalu ada Tri Hendriyanto dan Helmy Zain, di sektor pemuda, pariwisata, serta transportasi perhubungan yang dituntut mampu menyambut era keterbukaan dan pelayanan digital berbasis data.

Terakhir ialah Heri Wiratno dan Jose Sarmento, masing-masing di sektor pangan dan penegakan Perda, punya tanggung jawab moral besar terhadap kesejahteraan dan ketertiban kota. Jika kedelapan nama ini tidak dilantik namun tetap diundang, artinya kepala daerah sedang memberikan peringatan publik "Tolong benahi dirimu sebelum saya benahi secara sistemik.”

Publik kini bertanya-tanya, apakah ini adalah bentuk penghinaan, atau awal dari sebuah evaluasi menyeluruh? Jika ini drama, maka sangat kejam. Namun jika ini strategi, maka sangat cerdas. Kepala daerah seolah berkata, “Kami tahu siapa yang bekerja dengan hati, siapa yang hanya menunggu waktu untuk diganti.”

Namun satu hal yang pasti, tindakan ini menyentak banyak pihak khususnya politisi, pengamat dan pejabat itu sendiri. Sebuah strategi briliant yang menyampaikan pesan kuat bahwa ini bukan era kepala daerah yang santai dan permisif. Ini zaman di mana ketegasan harus menjadi budaya kerja, bukan hanya slogan saat kampanye.

Tindakan tak melantik kedelapan pejabat tersebut tak cukup hanya sebagai simbol. Publik ingin tahu langkah lanjutannya. Apakah delapan pejabat ini akan benar-benar dievaluasi secara kinerja? Apakah akan ada penyelidikan etik dan audit atas kepemimpinan mereka selama ini?

Pasangan Bambang-Rafieq harus segera memberi kepastian, bukan membiarkan delapan figur itu berada di ruang limbo birokrasi. Mereka harus memilih untuk dipertahankan dengan syarat bersih dan loyal, atau copot jika terbukti tidak mampu membawa perubahan.

Lebih jauh lagi, para pejabat yang baru saja dilantik pun harus sadar, bahwa ini adalah panggilan tugas, bukan sekadar penghargaan. Jabatan adalah amanah, bukan hadiah politik. Jika tidak mampu bekerja maksimal, maka pemimpin Kota Metro sudah menunjukkan bahwa ia tidak segan mencopot langsung di depan publik bila perlu.

Metro hari ini sedang berada dalam masa transisi besar. Jika perubahan ingin terjadi secara nyata, maka birokrasi harus dikawal dengan tangan besi sekaligus hati yang jernih. Tidak ada tempat untuk aparatur yang hanya loyal saat jabatan dipegang, tapi pasif ketika masyarakat butuh pelayanan.

Delapan pejabat yang tak dilantik adalah cermin bahwa pemimpin tak lagi butuh mereka yang berpura-pura netral, apalagi yang menyimpan agenda ganda. Kini, semua pihak baik yang sudah dilantik maupun yang belum, harus menjawab satu pertanyaan besar, Apakah Anda benar-benar siap bekerja untuk rakyat, atau hanya ingin mempertahankan kursi dengan wajah manis di depan kamera?

Jawabannya akan menentukan arah Kota Metro lima tahun ke depan. Satu hal yang pasti, birokrasi yang kuat bukan hanya dibentuk dari orang-orang pintar, tapi dari orang-orang jujur dan berani berubah. (*)