• Senin, 23 Juni 2025

Prestasi Olahraga Terabaikan, KONI Kritisi SPMB SMA di Metro Lampung

Senin, 23 Juni 2025 - 08.57 WIB
148

Ketua KONI Kota Metro, Ampian Bustami, saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (23/6/2025) pagi. Foto: Arby/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Kisruh pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) di Kota Metro memasuki babak baru. Setelah sebelumnya publik mempertanyakan transparansi sistem ranking paralel dalam seleksi ke Sekolah Menengah Atas (SMA) unggulan, kini giliran Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Metro yang bersuara lantang.

Pasalnya, para atlet pelajar dengan prestasi olahraga tingkat provinsi hingga nasional terancam gagal mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah unggulan hanya karena tidak memenuhi satu syarat administratif, yaitu tidak masuk dalam perangkingan paralel akademik.

Ketua KONI Kota Metro, Ampian Bustami, melalui Sekretaris Arif Budi Sulistyo, mengkritisi pelaksanaan sistem seleksi yang dinilai diskriminatif dan tidak ramah terhadap calon murid dengan keunggulan non-akademik.

"Di juknis disebutkan, hanya murid yang masuk dalam ranking paralel yang bisa mendaftar ke sekolah unggul. Artinya, prestasi olahraga tidak memiliki nilai tawar apa-apa. Ini jelas tidak adil,” kata Ampian, saat dikonfirmasi di kantornya, Senin (23/6/2025) pagi.

Dirinya mengungkapkan bahwa pihaknya menerima aduan dari orang tua calon siswa berprestasi di cabang olahraga judo yang tidak dapat mendaftar ke SMAN 1 dan SMAN 3 di Kota Metro karena tidak masuk dalam klasifikasi ranking paralel yang ditentukan sekolah asal.

"Anak ini punya medali nasional, tapi dia tidak bisa ikut tes masuk sekolah unggul. Bukan karena tidak mampu, tapi karena gagal memenuhi prasyarat administratif yang mengabaikan prestasi non-akademik. Kami sangat prihatin,” ujar Arif.

Menurutnya, tidak masuk akal apabila negara yang menjunjung tinggi asas pendidikan inklusif dan prestasi justru menutup pintu bagi anak-anak dengan kemampuan luar biasa di bidang olahraga hanya karena mereka tidak menonjol secara akademis.

"Anak-anak yang menekuni olahraga di usia sekolah kadang harus mengorbankan waktu belajarnya. Tapi bukan berarti mereka bodoh atau tidak layak sekolah di institusi terbaik. Justru sebaliknya, mereka punya disiplin, karakter, dan dedikasi yang luar biasa,” paparnya.

Lebih dari sekadar kecewa, KONI Kota Metro menilai bahwa juknis SPMB saat ini adalah produk kebijakan yang kaku, tidak berpihak, dan gagal memahami konteks keragaman prestasi murid.

"Kami tidak anti tes. Tapi sistemnya harus adil. Jangan semua anak disamaratakan dalam kotak ranking akademik. Harus ada jalur khusus bagi atlet, jalur yang mengakui bahwa prestasi di lapangan juga sepadan dengan prestasi di kelas,” ungkapnya.

Pria yang akrab disapa Nanang itu mengusulkan agar ke depan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung bisa merevisi juknis SPMB, dengan menyediakan jalur afirmasi atau seleksi tersendiri untuk siswa-siswi berprestasi di bidang olahraga.

Dengan demikian, siswa tidak perlu bersaing dalam sistem ranking paralel yang notabene tidak mengakomodasi kekuatan mereka.

"Kami minta tahun depan ada jalur seleksi yang setara, bukan disamakan dengan jalur akademik. Kalau mau tetap tes, silakan. Tapi tes-nya disesuaikan, entah itu lewat portofolio prestasi, psikotes, atau asesmen karakter. Jangan seperti sekarang, yang seolah tidak ada ruang bagi mereka sama sekali,” tegasnya.

Kondisi ini tentu berpotensi menghambat masa depan atlet muda daerah. Banyak di antara mereka yang mengandalkan pendidikan di sekolah unggulan untuk mendapat akses pembinaan, pelatihan yang lebih baik, hingga beasiswa olahraga.

Ketika akses itu tertutup, KONI khawatir hal tersebut akan berdampak pada kemunduran prestasi olahraga Kota Metro di masa depan.

"Jangan heran kalau nanti prestasi olahraga kita stagnan. Anak-anak dan orang tua pasti mikir dua kali: buat apa capek-capek latihan kalau akhirnya tetap tidak dianggap dalam dunia pendidikan," ujar Arif.

KONI Kota Metro menegaskan komitmennya untuk mengadvokasi hak anak-anak atlet agar mendapatkan perlakuan setara dalam sistem pendidikan, termasuk dalam proses seleksi ke jenjang pendidikan lanjutan.

"Kami tidak hanya bicara untuk atlet KONI, tapi untuk semua anak di Metro yang punya semangat dan kerja keras, tapi tidak punya panggung karena sistem yang tidak adil,” bebernya.

"Polemik ini memperlihatkan satu kenyataan pahit bahwa sistem pendidikan kita masih belum mampu berdiri di atas prinsip equity atau kesetaraan hak. Ketika keunggulan akademik menjadi satu-satunya standar sukses, maka banyak anak-anak luar biasa di bidang seni, budaya, olahraga harus rela disingkirkan. Padahal, di luar ruang kelas, merekalah yang mengharumkan nama daerah, bahkan negara," tandasnya.

Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang membesarkan, bukan mengecilkan potensi. Karena itulah, desakan agar juknis SPMB direvisi bukan sekadar formalitas administratif, tapi panggilan nurani untuk memastikan bahwa tidak ada prestasi anak bangsa yang disia-siakan oleh sistem yang gagal memahami keberagaman. (*)