• Selasa, 17 Juni 2025

Walhi: Usut Tuntas Mafia Tanah di TNBBS, Pejabat yang Terlibat Harus Dihukum

Selasa, 17 Juni 2025 - 14.53 WIB
25

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri. Foto: Kupastuntas.co

Sri

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Barat mengungkap temuan mengejutkan berupa 121 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan di atas kawasan konservasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Temuan ini memicu dugaan kuat adanya praktik mafia tanah yang melibatkan oknum pejabat, termasuk dari lembaga pertanahan.

TNBBS merupakan kawasan lindung yang tidak boleh dialihfungsikan menjadi kepemilikan pribadi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ratusan SHM justru terbit di dalamnya. Proses penerbitan ini dinilai janggal dan melanggar hukum, karena kawasan taman nasional termasuk dalam kawasan hutan yang memiliki status perlindungan ketat.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri menilai terbitnya ratusan sertifikat tersebut bukan terjadi secara kebetulan atau kesalahan administrasi semata, melainkan mungkin saja merupakan hasil dari praktik sistematis yang melibatkan jaringan mafia tanah.

“Ini bukan hal yang sederhana. Terbitnya SHM di kawasan taman nasional sangat mungkin merupakan hasil kerja sama antara mafia tanah dengan sejumlah oknum yang memanfaatkan kelengahan sistem pengawasan,” ujar Irfan saat dikonfirmasi, Selasa (17/6/2025).

Ia juga menyoroti lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah, terutama terkait dengan kebijakan satu peta (one map policy) yang hingga kini belum sepenuhnya terintegrasi.

“Kebijakan satu peta masih belum terkoneksi secara menyeluruh. Namun, seharusnya hal itu tidak menjadi alasan. Kepala kantor ATR/BPN seharusnya bisa berkomunikasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebelum menerbitkan sertifikat,” tegasnya.

Irfan menambahkan, dalam banyak kasus seperti ini, masyarakat kecil kerap menjadi korban. Mereka membeli lahan atau tinggal di atas tanah yang sudah bersertifikat, tanpa mengetahui bahwa lokasi tersebut masuk kawasan konservasi.

Akibatnya, ketika terjadi penertiban atau konflik hukum, masyarakat menjadi pihak paling dirugikan.

“Yang jadi korban masyarakat bawah. Mereka tidak tahu kalau tanah yang mereka beli atau tempati ternyata berada di kawasan taman nasional. Sertifikat sudah di tangan, tapi statusnya ilegal,” katanya.

Walhi mendesak agar Kejari Lampung Barat tidak berhenti pada pengungkapan administrasi saja, tetapi juga mengusut tuntas semua pihak yang terlibat, baik dari instansi pertanahan, pemerintahan daerah, hingga pihak yang mendapatkan keuntungan langsung dari praktik ini.

“Kami berharap Kejaksaan serius mengungkap jaringan mafia tanah ini. Siapapun yang terlibat harus diproses hukum, termasuk dari internal ATR/BPN maupun pejabat lainnya,” pungkas Irfan. (*)