• Rabu, 11 Juni 2025

Dilema Jalan Kota, Ketika Olahraga Menteror Ruang Gerak Warga, Oleh : Arby Pratama

Selasa, 10 Juni 2025 - 13.01 WIB
456

Fenomena olahraga yang mengganggu jalan raya di kawasan Taman Merdeka dan Masjid Agung Taqwa, Kota Metro. Foto: Arby/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, terutama melalui olahraga rutin, muncul sebuah ironi yang sulit ditelan akal sehat. Aktivitas yang seharusnya menyehatkan dan menumbuhkan ketertiban sosial justru menjelma menjadi ancaman baru di ruang publik.

Kota Metro, khususnya di kawasan Taman Merdeka dan Masjid Agung Taqwa, kini menjadi saksi nyata dari paradoks ini. Fenomena "olahraga menyesakkan" kian merajalela di ruas-ruas jalan utama seperti Jalan Ahmad Yani, Jalan A.H. Nasution, Jalan Ade Irma Suryani, hingga Jalan Z.A. Pagaralam.

Warga yang berlari dan berjalan kaki beramai-ramai tidak hanya menuntut ruang, tetapi merebutnya, bahkan dari kendaraan yang secara hukum memang berhak menggunakan badan jalan tersebut.

Fenomena ini bukan hanya soal keramaian sesaat. Ini sudah menjadi semacam "budaya baru" yang seolah dibenarkan karena berlindung di balik semangat hidup sehat. Namun mari kita bertanya: sehat untuk siapa? Aman untuk siapa? Dan adil untuk siapa?

Setiap pagi dan sore, puluhan bahkan ratusan warga Kota Metro tumpah ruah di ruas jalan sekitar Taman Merdeka dan Masjid Taqwa. Mereka membentuk barisan-barisan panjang, berlari atau berjalan tanpa memedulikan batas jalan.

Bukan di trotoar yang memang sudah tersedia, atau jogging track kawasan Taman Merdeka, tetapi di badan jalan utama yang juga merupakan jalur vital lalu lintas warga.

Dalam sekejap, jalan yang seharusnya menjadi jalur kendaraan berubah menjadi arena jogging. Tak jarang, mobil harus memperlambat laju bahkan berhenti total. Motor harus menyalip dengan zig-zag, menambah potensi kecelakaan.

Klakson bersahutan tak digubris. Bahkan, pengendara acap kali dimarahi pelari karena menegur mereka saat memenuhi badan jalan. Ironi ini pun mencapai puncaknya: olahraga yang seharusnya membangun kedisiplinan justru melahirkan kekacauan.

Ini bukan sekadar keluhan personal. Ini keresahan publik. Kita tidak bisa menyalahkan semangat warga untuk hidup sehat. Tetapi kita juga tidak bisa membiarkan tindakan yang mengatasnamakan kesehatan justru membahayakan keselamatan publik.

Lantas, di mana posisi pemerintah? Dinas Perhubungan, Satpol PP, hingga Kepolisian Lalu Lintas seolah absen dalam menata kekacauan yang terjadi setiap hari. Apakah harus menunggu korban jiwa baru kemudian bertindak?

Pemerintah Kota Metro semestinya tidak hanya bangga dengan meningkatnya budaya olahraga. Mereka juga harus sadar bahwa budaya sekacau apa pun bisa tetap tumbuh jika tidak diatur dengan bijak dan tegas.

Kita butuh regulasi. Kita butuh pengawasan. Kita butuh tata kelola ruang publik yang berpihak pada keselamatan semua pihak, bukan hanya mayoritas pejalan kaki atau pelari.

Sudah saatnya tegas: lakukan reformasi ruang olahraga. Solusinya bukan larangan, tetapi penataan yang cerdas dan berkeadilan. Pemerintah bisa dan harus segera mengambil langkah-langkah konkret.

Dimulai dari menentukan zona khusus olahraga, atau menjadikan kawasan tertentu sebagai zona olahraga dengan waktu yang sudah ditetapkan, misalnya hanya pada Minggu pagi, bukan setiap hari.

Kemudian, buka dan perluas ruang terbuka hijau, atau hadirkan perubahan di Taman Merdeka dan sekitarnya. Perubahan tersebut bisa dimulai dari pembenahan jalur jogging dan trotoar yang memadai untuk masyarakat berolahraga.

Yang tak kalah penting ialah penindakan pelanggaran. Jangan ragu menurunkan aparat untuk mengarahkan, mengingatkan, bahkan menindak pelari dan pejalan kaki yang melanggar batas.

Terpenting, berikan edukasi kepada masyarakat dengan melakukan kampanye sosial soal pentingnya tertib berolahraga yang bisa menjadi jalan tengah antara kesadaran kesehatan dan kesadaran hukum.

Kesehatan bukan alasan untuk merampas hak orang lain. Semangat olahraga bukan alasan untuk menindas pengguna jalan lainnya. Kita sedang berada dalam masa transisi sosial, di mana masyarakat mulai sadar pentingnya tubuh yang sehat. Tapi tubuh yang sehat harus berjalan berdampingan dengan pikiran yang tertib dan hati yang menghargai orang lain.

Pemerintah, sebagai pemegang mandat pengelolaan kota, tak bisa lagi bersembunyi di balik retorika “partisipasi warga.” Saat warga mulai menjadikan jalan raya sebagai lapangan olahraga liar, maka saat itulah negara harus hadir.

Karena jika tidak, kita sedang menciptakan generasi sehat yang egois: bugar tapi barbar, kuat secara fisik namun lumpuh secara sosial.

Sudah saatnya Kota Metro menata ulang napas sehatnya bukan dengan membiarkan kekacauan merajalela di jalan raya, tetapi dengan membangun budaya olahraga yang tertib, aman, dan inklusif. (*)