• Minggu, 08 Juni 2025

Idul Adha dan Pesan Luhur dari Sang Penguasa,Oleh: Arby Pratama

Sabtu, 07 Juni 2025 - 12.24 WIB
75

Arby Pratama (Wartawan Kupas Tuntas Grup)

Kupastuntas.co, Metro - Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia memperingati Idul Adha dengan menyembelih hewan kurban. Namun, di Indonesia tahun ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas ibadah. 

Ada sebuah narasi simbolik yang terungkap di balik aksi Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang secara khusus mengirim sapi kurban ke berbagai daerah di pelosok negeri. 

Dari pulau-pulau terpencil hingga kota-kota kecil seperti Metro di Lampung, kurban itu hadir bukan hanya sebagai daging yang akan dibagikan, tetapi juga sebagai pesan yang sangat kuat, bahwa penguasa sejati adalah mereka yang hadir dan peduli, bahkan di tengah rakyat yang tak bersuara.

Bukan hal baru sebenarnya jika seorang Presiden menyumbang hewan kurban. Namun cara Prabowo melakukannya tahun ini terasa berbeda. Tidak satu-dua, tapi ratusan ekor sapi disebar ke berbagai titik di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Bahkan bukan sembarang sapi, bobotnya mencapai hampir satu ton, menandakan bahwa ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah simbol bahwa negara hadir, bukan hanya dalam wujud aturan dan pajak, tetapi juga dalam wujud pengorbanan.

Ketika seekor sapi kurban seberat hampir satu ton dikirim ke sebuah kelurahan di Metro Selatan, yang tampak bukan hanya daging dan darah yang akan dibagi-bagikan, melainkan sebuah bentuk perhatian yang selama ini dirindukan oleh rakyat kecil. 

Saat dagingnya disantap bersama keluarga, di tengah rumah-rumah sederhana, di situlah sebenarnya pesan politik dan kemanusiaan itu bekerja bahwa Kalian tidak dilupakan.

Kita hidup di era di mana rakyat sering merasa jauh dari pemerintah. Jarak sosial, ekonomi, dan emosional antara penguasa dan yang dikuasai seperti jurang yang makin melebar. Tapi kurban kali ini menjadi jembatan yang sederhana namun bermakna. 

Presiden tidak datang dengan pidato panjang, tidak membawa rombongan besar, hanya seekor sapi. Tapi justru di situlah kekuatannya, politik kurban.

Tindakan itu menyampaikan bahwa kekuasaan yang sejati bukan tentang menonjolkan kekuatan militer, bukan pula tentang memamerkan prestasi pembangunan, tetapi tentang kesanggupan untuk merasakan denyut kehidupan rakyat. 

Tentang menyatu dalam derita dan bahagia mereka. Tentang tahu di mana lapar berada, dan dengan tenang menyalurkan bantuan yang tidak sekadar menolong, tapi juga memuliakan.

Dalam budaya Indonesia, gotong royong adalah nilai fundamental. Kurban adalah salah satu ritus yang paling jelas memperlihatkan bagaimana nilai ini bekerja. Ada yang menyumbang, ada yang menyembelih, ada yang membagi, ada yang menerima. 

Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam rantai kebaikan ini. Semua sama, bahkan Presiden pun, dalam momen ini, tidak lebih tinggi dari rakyatnya. Dia menyumbang dan rakyat menyambut.

Kurban yang dikirim ke berbagai daerah menjadi alat pemersatu yang unik. Ia menyatukan masyarakat lintas kelas sosial, etnis, dan geografis dalam semangat berbagi. Ia menegaskan bahwa Indonesia bukan sekadar kumpulan wilayah administratif, tapi sebuah bangsa yang memiliki ikatan batin, ikatan kultural, dan ikatan spiritual yang dalam.

Namun, kita juga tak boleh lupa bahwa simbol tidak boleh berhenti sebagai simbol. Sapi yang dikirim Presiden adalah pesan awal, tapi pesan itu harus terus digaungkan lewat kebijakan yang adil, program yang merata, dan kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari rakyat. Kurban hanyalah pintu masuk. Yang lebih penting adalah apa yang datang setelahnya.

Apakah penguasa akan terus hadir dalam persoalan-persoalan rakyat yang lebih kompleks dan tidak secerah perayaan Idul Adha? Apakah negara akan tetap hadir saat rakyat menangis karena harga pangan, akses kesehatan, dan pendidikan yang timpang? Jika iya, maka sapi-sapi kurban itu bukan hanya daging semata, tapi bagian dari narasi besar tentang pemimpin yang benar-benar memahami hakikat kuasa.

Di balik darah yang mengalir dari sapi-sapi kurban itu, mengalir pula harapan. Harapan bahwa bangsa ini masih bisa dipimpin dengan hati nurani. Bahwa kekuasaan masih bisa menjadi jalan untuk melayani, bukan mendominasi. 

Bahwa di tengah semua keraguan publik terhadap elite politik, masih ada ruang untuk kepercayaan yang tumbuh dari tindakan nyata, bukan janji kosong. Prabowo Subianto, dengan sapi-sapi kurbannya, telah memberi isyarat. 

Kini, tinggal bagaimana ia dan seluruh jajaran kekuasaan menerjemahkan pesan itu ke dalam kehidupan rakyat Indonesia yang nyata dan kompleks. Sebab dalam demokrasi, pengorbanan sejati dari pemimpin bukan hanya menyembelih hewan, tapi menyembelih ego, menyembelih kepentingan pribadi, dan mempersembahkan diri untuk rakyat. (*)