• Rabu, 04 Juni 2025

LP-KPK Soroti Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi di Kejati Lampung

Senin, 02 Juni 2025 - 12.53 WIB
48

Ketua LP-KPK Lampung, Ahmad Yusuf, saat menyerahkan laporan ke Kejati Lampung. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-KPK) Provinsi Lampung mempertanyakan kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung dalam menindaklanjuti enam laporan dugaan korupsi yang telah disampaikan sejak 25 September 2024. Ketua LP-KPK Lampung, Ahmad Yusuf, menilai Kejati terkesan lemah, bahkan seolah mengabaikan proses hukum atas temuan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun 2022–2023.

Enam laporan yang telah memiliki Nomor Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) itu hingga kini belum menunjukkan perkembangan berarti.

“Satu pun belum ada yang diungkap. Ini jadi pertanyaan besar, apakah memang lamban atau sengaja diabaikan?” ujar Ahmad Yusuf dalam keterangan persnya.

Ahmad Yusuf menyampaikan sikap tegas lembaganya dengan menolak permintaan tambahan data dari Kejati Lampung atas laporan yang sudah diajukan sebelumnya.

“Kami ini lembaga independen. Tugas kami melapor, bukan melayani permintaan data tanpa batas. Kalau semua harus dari kami, lalu apa kerja penyidik?” tegasnya.

Penolakan tersebut ditujukan terhadap surat permintaan tambahan data Kejati Lampung untuk tiga kasus besar:

1. Dugaan korupsi di Dinas PPKBPPPA Lampung Barat (Surat B-1720/L.8.5/Fs/03/2025, 18 Maret 2025)

2. Dugaan korupsi APBD Pemkab Lampung Utara tahun anggaran 2023 (Surat B-2216/L.8.5/FS/04/2025, 22 April 2025)

3. Dugaan korupsi di Dinas PUPR dan Sekretariat DPRD Pesisir Barat (dengan surat yang memiliki nomor dan tanggal serupa)

Selain tiga kasus tersebut, LP-KPK juga telah melaporkan dugaan korupsi di lingkungan Pemkab Tanggamus, Pemkab Pesawaran, dan Pemkot Bandar Lampung.

Ahmad Yusuf menyebut permintaan data tambahan yang berulang kali justru bisa melemahkan semangat pelapor.

Menurutnya, LP-KPK telah menyerahkan cukup bukti awal yang layak ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Ia mengingatkan bahwa pelapor dilindungi oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, khususnya Pasal 30 Ayat (1) dan (3), yang tidak seharusnya dijadikan alat untuk menekan masyarakat sipil.

“Kami bukan kaki tangan kejaksaan. Ini negara hukum, bukan negara pesanan. Jangan paksa LSM tunduk atas nama koordinasi, padahal tujuannya justru memperlambat,” tegasnya. (*)