• Senin, 19 Mei 2025

Lampung Tengah Diambang Konflik Horizontal , Tragedi Gunung Agung Jadi Alarm Bagi Pemerintah Daerah: Oleh Rosim Nyerupa, S.IP

Senin, 19 Mei 2025 - 07.40 WIB
66

Lampung Tengah Diambang Konflik Horizontal , Tragedi Gunung Agung Jadi Alarm Bagi Pemerintah Daerah: Oleh Rosim Nyerupa, S.IP (Aktivis Pemuda Lampung, Pemerhati Politik dan Pemerintahan Daerah Lampung Tengah ). Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Lampung Tengah - Kita sedang berada dalam fase krusial relasi negara dan warganya di tingkat akar rumput. Peristiwa yang terjadi di Kampung Gunung Agung, Lampung Tengah, patut menjadi cermin bagaimana sistem sosial lokal bereaksi ketika kepercayaan terhadap mekanisme distribusi keadilan mengalami tekanan.

Lampung Tengah secara historis, merupakan wilayah yang menyimpan potensi konflik horizontal cukup tinggi di Provinsi Lampung.

Dalam tiga dekade terakhir, telah tercatat berbagai insiden yang dipicu oleh gesekan sosial baik karena sengketa lahan, distribusi sumber daya, maupun ketegangan antarwarga.

Meski tidak semuanya berujung pada kekerasan terbuka, pola yang muncul menunjukkan bahwa struktur sosial di daerah ini menyimpan ketegangan laten.

Konflik horizontal tidak muncul secara tiba-tiba. ia merupakan manifestasi dari akumulasi ketidakadilan struktural yang dibiarkan tanpa intervensi yang memadai.

Kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik antar kelompok bukan hanya memicu kecemburuan sosial, tetapi juga menciptakan rasa keterasingan dan marginalisasi yang menjadi bahan bakar konflik.

Ketika negara gagal menjalankan fungsi otoriternya secara adil, lemah dalam penegakan hukum dan abai dalam penyediaan solusi yang konkret maka negara turut menjadi bagian dari masalah.

Ironisnya, ketiadaan ruang publik yang inklusif sebagai arena komunikasi dan mediasi antarkelompok justru memperkuat isolasi sosial.

Dalam situasi seperti ini, konflik besar nyaris tak terhindarkan. Ia bisa meletus di antara warga, antara masyarakat dan pemerintah, bahkan antara masyarakat dan korporasi yang kerap mengabaikan sensitivitas sosial dalam operasionalnya.

Lewis Coser dalam tulisannya menyatakan bahwa konflik bisa menjadi gejala dari ketidakefektifan sistem sosial dalam mengelola perbedaan dan ekspektasi publik.

Dalam konteks Kampung Gunung Agung Lampung Tengah, kita melihat bahwa peristiwa kekerasan bukanlah insiden yang lahir tiba-tiba, melainkan hasil dari akumulasi kekecewaan sosial yang telah berbulan-bulan, jika tidak ditangani secara cepat dan bijak, berpotensi berubah menjadi tindakan destruktif.

Namun penting untuk ditekankan bahwa aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, masih menjalankan tugasnya dalam koridor hukum.

Kasus dugaan penyelewengan Bansos oleh kepala kampung sedang dalam proses penyelidikan.

Dalam sistem negara hukum, kita wajib menghormati proses tersebut, seraya tetap menjaga agar keadilan substantif tidak kehilangan arah.

Yang menjadi catatan adalah bagaimana Pemerintah Daerah khususnya Kepala Daerah mampu membaca situasi sosial secara jernih dan responsif.

Dalam kondisi sosial yang sensitif, sikap diam atau lambat dalam merespons aspirasi masyarakat bisa dimaknai sebagai bentuk yang namanya 'abai.

Masyarakat akar rumput sering kali tidak memiliki akses langsung ke sistem formal, sehingga respons pemerintah menjadi semacam simbol kehadiran negara yang dirasakan nyata.

Ted Robert Gurr dalam teorinya tentang relative deprivation menjelaskan bahwa konflik sosial seringkali dipicu oleh ketimpangan antara harapan dan kenyataan sosial.

Ketika warga miskin melihat bahwa hak mereka atas bantuan sosial diduga diselewengkan oleh elite lokal, dan aspirasi mereka tak segera ditanggapi, maka ketegangan pun tar kristalisasi.

Dalam hal ini, peristiwa yang terjadi antara seorang warga bernama Suryadi (50) tewas ditusuk menggunakan senjata tajam oleh Dewo (43) yang merupakan kerabat dari Kepala Kampung Gunung Agung, dipicu oleh perdebatan tentang penyimpangan Bansos oleh Kepala Kampung Gunung Agung harus menjadi peringatan dini.

Bukan hanya tentang satu tindakan kriminal, tapi tentang rapuhnya relasi sosial yang harus segera dipulihkan.

Sebagai pembina dan pengawas, Pemerintah Daerah khususnya Bupati memiliki peranan penting dalam merespons adanya penyimpangan Kepala Kampung didaerahnya.

Mereka harus mengambil langkah strategis dan yuridis yang tegas sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Bupati tidak hanya memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan, tetapi juga memiliki otoritas untuk memberhentikan kepala desa yang terbukti melakukan pelanggaran berat, baik administratif maupun pidana.

Dalam kerangka penegakan tata kelola desa yang baik dan keinginan kuat agar permasalahan dapat segera menyimpul, Bupati semestinya dapat mengerahkan peran Inspektorat sebagai aparat pengawas internal untuk melakukan audit investigatif terhadap oknum Kepala Kampung Gunung Agung.

Bila diperlukan, Bupati juga dapat mendorong pelibatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) guna menghitung potensi kerugian negara. Hal ini akan membantu aparat penegak hukum seperti Kepolisian mengumpulkan basis data dan bukti yang lebih kuat untuk memproses hukum secara objektif dan akurat.

Selain aspek yuridis, Bupati juga memegang peran strategis dalam aspek sosial-psikologis. Sebagai pemimpin tertinggi di daerah, ia memiliki posisi yang strategis untuk meyakinkan dan menenangkan masyarakat.

Dalam konteks tragedi Kampung Gunung Agung, tindakan komunikatif yang empatik dari seorang Bupati bisa menjadi elemen kunci dalam meredam ketegangan dan mengembalikan stabilitas psikologis masyarakat.

Sayangnya, respons yang muncul hingga meletupnya tragedi berdarah kampung Gunung Agung justru menunjukkan kelambanan, baik dalam penanganan akar masalah maupun dalam merespons gejala sosial yang menyertainya.

Kepala daerah dianggap tidak mampu menenangkan masyarakat setelah masalah mencuat. Tragedi yang terjadi sejatinya dapat dicegah apabila mekanisme pengawasan, penegakan hukum, dan pendekatan sosial berjalan beriringan secara cepat, terukur, dan berkeadilan.

Saya ingin menyampaikan bahwa institusi Kepolisian harus terus diberikan ruang dan dukungan untuk menuntaskan proses hukum secara adil, transparan, dan profesional.

Kritik publik bukanlah bentuk perlawanan terhadap hukum, melainkan ekspresi dari rasa keadilan yang menuntut kepastian.

Peristiwa penusukan terhadap warga yang kritis terhadap dugaan penyelewengan beras bansos itu juga menjadi sinyal serius bahwa kebebasan berekspresi di Lampung Tengah berada dalam ancaman.

Tindakan kekerasan terhadap suara kritis bukan sekadar tindak kriminal, melainkan representasi dari pembungkaman ruang publik dan kemunduran nilai-nilai demokrasi lokal.

Ketakutan, kecemasan, dan potensi intimidasi akan membayangi masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat secara terbuka.

Jika dibiarkan, peristiwa semacam ini akan menciptakan Chilling Effect, dimana warga menghindari ekspresi politik atau kritik karena takut menjadi korban kekerasan atau represi.

Ini bukan hanya soal keamanan individual, tetapi soal keberlanjutan demokrasi partisipatif di tingkat daerah. Negara melalui aparatnya wajib hadir, bukan sebagai pelaku atau pembiar, tetapi sebagai pelindung hak-hak sipil warga, termasuk hak untuk bersuara tanpa rasa takut.

Maka sinergi antara aparat hukum dan pemerintah daerah menjadi sangat penting untuk mencegah konflik serupa terjadi di Lampung Tengah.

Pemerintah Daerah melalui kepemimpinan bupatinya, perlu mengambil peran sebagai peneduh sosial. Tidak cukup hanya dengan menunggu proses hukum, tapi juga dengan membangun komunikasi aktif, menyerap keluhan masyarakat, serta memperkuat fungsi pengawasan internal.

Tragedi Gunung Agung adalah akumulasi dari ketulian struktural dan kepemimpinan yang kehilangan kepekaan.

Ketika rakyat miskin meminta keadilan, yang mereka terima justru pembiaran. Pemimpin yang baik bukan hanya hadir di baliho dan konten media sosialnya, tetapi hadir saat rakyatnya berteriak.

Jika kepala daerah tidak segera membuka mata dan abai terhadap permasalahan kecil yang dapat memantik api amarah masyarakat, maka konflik horizontal hanya akan menunggu giliran untuk kembali meledak di tempat lain.

Negara harus hadir. Bukan hanya lewat Polisi, Bukan hanya lewat hukum. Tetapi juga lewat nurani kekuasaan yang tahu kapan harus mendengar dan kapan harus bertindak.

Masyarakat membutuhkan isyarat bahwa negara hadir. Kehadiran yang dimaksud bukan seremonial, tetapi kesiapan untuk mendengar, merespons, dan mengoreksi diri ketika diperlukan.

Jika kepekaan ini tak segera dibangun, maka ketegangan yang kini bersifat lokal dapat menjalar menjadi ketidakpercayaan yang sistemik.

Konflik sosial bukan sekadar urusan kriminal,bIa adalah panggilan untuk introspeksi bersama, bahwa harmoni sosial hanya bisa dirawat jika keadilan berjalan, dan suara rakyat dihormati. (*)