• Minggu, 18 Mei 2025

Pengamat: Bentuk Satgas Lintas Instansi hingga Tingkat Desa untuk Cegah TPPO

Minggu, 18 Mei 2025 - 13.14 WIB
19

Pengamat hukum dari Universitas Bandar Lampung, Rifandy Ritonga. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pengungkapan 44 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) oleh Polda Lampung sepanjang 2025 dengan jumlah korban mencapai 84 orang, menjadi bukti bahwa praktik perdagangan manusia masih mengancam serius kehidupan masyarakat, khususnya di wilayah Lampung.

Pengamat hukum dari Universitas Bandar Lampung, Rifandy Ritonga, menilai tingginya angka TPPO tidak bisa dipandang sebagai kegagalan penegak hukum semata, melainkan sebagai tanda bahwa sistem perlindungan sosial dan pencegahan dini belum berjalan maksimal. Ia menyoroti bahwa sindikat perdagangan orang semakin canggih memanfaatkan ketidaktahuan dan kerentanan ekonomi masyarakat.

“Banyak yang tidak sadar sedang dijerat jaringan TPPO karena janji kerja, bahkan lewat media sosial. Ini persoalan lintas sektor. Negara harus benar-benar hadir untuk melindungi warganya,” kata Rifandy, Minggu, (18/5/2025).

Menurutnya, strategi pencegahan harus dimulai dari akar rumput. Pemerintah daerah hingga desa perlu dilibatkan untuk membentuk sistem peringatan dini, dengan cara melatih perangkat desa, RT/RW, dan tokoh masyarakat agar peka terhadap modus TPPO. Ia juga mendorong pembentukan satuan tugas terpadu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang melibatkan aparat penegak hukum, Dinas Sosial, Imigrasi, serta lembaga perlindungan perempuan dan anak.

Yang tak kalah penting, kata Rifandy, adalah pelibatan kampus dan civitas akademika dalam gerakan melawan perdagangan orang. Ia menegaskan, perguruan tinggi memiliki peran besar melalui riset, edukasi publik, hingga pemberdayaan masyarakat.

“Perguruan tinggi jangan hanya jadi menara gading. Kampus bisa turun langsung melakukan penyuluhan hukum, pendampingan korban, hingga pengembangan sistem deteksi dini berbasis riset. Ini tugas moral kami sebagai akademisi,” ujarnya.

Rifandy juga mengajak pemerintah daerah menjalin kerja sama konkret dengan universitas, baik dalam bentuk pengabdian masyarakat, kurikulum antiperdagangan orang, maupun audit terhadap kebijakan ketenagakerjaan dan migrasi di daerah-daerah rawan.

Sebagai contoh penanganan yang baik, ia menyebut Filipina memiliki Inter-Agency Council Against Trafficking yang mengoordinasikan instansi pemerintah dari pusat hingga tingkat desa (barangay) secara sistematis dan terukur. Belanda, lanjutnya, mengedepankan pendekatan yang berpusat pada korban (victim-centered), dengan dukungan hukum, psikologis, dan sosial sejak awal penanganan kasus.

“Kita bisa belajar dari sana. Tapi syaratnya, komitmen politik harus kuat, anggaran harus disediakan, dan dunia pendidikan harus dilibatkan. Tidak bisa lagi hanya bergantung pada aparat penegak hukum,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan agar sistem rekrutmen tenaga kerja, khususnya ke luar negeri, segera dibenahi secara menyeluruh. Agen ilegal harus diberantas hingga ke akar, dan pemerintah wajib menyediakan jalur migrasi kerja yang aman dan transparan.

“Kalau negara terus membiarkan rakyatnya dimangsa sindikat, itu artinya negara gagal menjalankan amanat konstitusi,” pungkas Rifandy. (*)