• Minggu, 18 Mei 2025

Menyibak Tabir Bisnis Gelap Pekerja Seks di Metro

Minggu, 18 Mei 2025 - 10.51 WIB
869

Ilustrasi. Foto: Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Dibalik citra religius dan semangat Kota Pendidikan yang selalu digaungkan Pemerintah Kota Metro, tersimpan luka moral yang telah lama dan terus membusuk dalam senyap. Praktik prostitusi daring yang merajalela, terselubung dalam aplikasi percakapan dan kamar-kamar sempit kost, wisma serta hotel kelas melati.

Investigasi mendalam Kupastuntas.co selama lebih dari sebulan menemukan pola pergerakan yang sistematis, keterlibatan jaringan yang luas, dan dugaan kuat pembiaran oleh aparat serta pihak-pihak yang seharusnya bertindak.

Fenomena ini bukan sekadar aktivitas liar individu, melainkan industri gelap yang berkembang pesat tanpa banyak hambatan.

Semua bermula dari aplikasi percakapan bernama MiChat. Aplikasi ini sejatinya dirancang untuk pertemanan virtual, namun di Kota Metro, peruntukannya bergeser menjadi pasar terbuka layanan seksual.

Ketika tim investigasi Kupastuntas.co mengaktifkan akun MiChat dari lokasi Taman Merdeka, dalam hitungan menit muncul puluhan akun perempuan yang secara gamblang menggunakan kata kunci seperti BO, VCS, Short Time, Long Time, Pijat+, 18+, hingga Nyamar alias Nyanyi Ngamar.

Dalam radius 400 meter hingga 2 kilometer, kami menemukan akun-akun dengan foto menggoda, disertai tarif dan kode area tertentu. Semuanya disamarkan, namun terbaca jelas bagi yang mengerti: simbol bintang, emoji pisang, hingga istilah 3 jam 300 yang berarti layanan tiga jam dengan tarif Rp300 ribu.

Kami mencoba menghubungi salah satu akun bernama Cinta (nama disamarkan), dan dalam waktu singkat, ia mengirim daftar layanan, tarif, serta lokasi kost tempat biasa ia menerima pelanggan di wilayah Jalan Sutan Syahrir, Kelurahan Mulyojati, Metro Barat.

"Di sini aman, Mas. Enggak ada yang curiga. Kes (bayar ditempat, red), kalau otw nanti aku kasih nomor kamarnya,” ujarnya dalam pesan MiChat.

Tim Kupastuntas.co lalu melakukan pemantauan langsung ke sejumlah lokasi yang disebutkan oleh para PSK daring ini. Salah satunya adalah rumah kost di wilayah Jalan Raflesia, Kelurahan Mulyojati, Metro Barat yang tampak biasa saja dari luar.

Namun, aktivitas keluar-masuk pria asing yang tidak menetap di sana terlihat mencurigakan, terutama pada malam hari hingga dini hari.

Seorang penghuni kost yang enggan disebutkan namanya menyebutkan bahwa sebagian besar perempuan di kost tersebut bukan mahasiswa atau pekerja.

"Kami sudah biasa lihat, Mas. Kadang baru jam dua pagi masih ada laki-laki keluar masuk. Tapi pemilik kost kayaknya tutup mata,” katanya.

Selain kost, sejumlah hotel kelas melati di daerah Metro Pusat, Metro Barat dan Metro Timur juga disebut sebagai titik-titik transaksi. Dengan sistem sewa harian atau bahkan per jam, kamar hotel dijadikan basis operasi oleh para PSK online.

Salah seorang pegawai hotel mengakui bahwa sudah jadi rahasia umum bahwa sebagian tamu adalah penyedia jasa seks.

“Kadang mereka menginap lama. Tapi setiap hari gonta-ganti tamu laki-laki. Kami tahu, tapi susah kalau gak ada dasar hukum kuat buat menolak mereka,” ucapnya.

Salah satu temuan paling mencengangkan dalam investigasi ini adalah adanya dugaan keterlibatan oknum dalam lembaga pengawas yang seharusnya menindak praktik prostitusi ini. Seorang narasumber dari salah satu instansi menyebut bahwa setiap kali ada operasi razia, informasi kerap kali bocor terlebih dahulu.

“Kami sudah beberapa kali razia hotel dan kost. Tapi anehnya, pas datang, tempatnya sudah kosong. Ada yang membocorkan pasti,” ungkapnya.

Hal ini diperkuat oleh pengakuan beberapa PSK daring yang merasa aman karena memiliki jaringan pelindung.

“Kalau ada razia, ada yang kasih tahu duluan. Biasanya sih dari kenalan di instansi. Jadi kami bisa kabur dulu. Lagian banyak tamu juga orang penting,” ujar seorang PSK berinisial N (bukan inisial sebenarnya), yang mengaku pernah melayani pejabat dan oknum aparat.

Lebih dari sekadar praktik individu, indikasi adanya struktur sindikat juga mencuat. Beberapa akun PSK memiliki kemiripan dalam penyajian foto, kalimat promosi, hingga prosedur transaksi mulai dari DP transfer, sistem penggantian lokasi mendadak, hingga protokol pelaporan tamu nakal.

Salah satu narasumber menyebut adanya koordinator lapangan yang mengelola beberapa perempuan sekaligus, mirip mucikari virtual. Mereka beroperasi dari luar kota namun mengarahkan kegiatan di Metro melalui agen lokal yang menyewakan kost jam-jaman atau hotel sebagai tempat transaksi.

"Ada satu nama yang sering disebut di kalangan mereka. Dia yang kelola anak-anak baru, ngatur tarif, dan sewa kamar. Tapi semua lewat online. Nggak ketemu langsung,” ungkap narasumber yang pernah menjadi pelanggan.

Kota Metro dengan julukan Kota Pendidikan dihadapkan pada ironi moral yang serius. Maraknya praktik prostitusi daring yang berlangsung selama bertahun-tahun menunjukkan kegagalan sistemik dalam pengawasan, pencegahan, dan penegakan hukum. Lebih menyedihkan lagi, celah ini justru dimanfaatkan oleh individu dan oknum untuk mencari keuntungan.

Pengamat sosial dari Universitas Dharma Wacana Metro, Pindo Riski Saputra menilai bahwa fenomena ini tidak bisa dilihat sebagai isu moral semata.

“Ini soal tata kelola kota, pengawasan, hingga persoalan struktural. Ketika kota tidak punya mekanisme kontrol yang efektif terhadap ruang digital dan hunian sewa, maka celah ini akan terus dipakai,” ujarnya saat dikonfirmasi Kupastuntas.co, Minggu (18/5/2025).

Pria yang juga merupakan dosen ilmu sosial dan ilmu politik tersebut menyarankan Pemkot Metro untuk tidak hanya melakukan razia simbolik, tapi membangun ekosistem edukasi digital, penguatan perangkat hukum, dan kerjasama dengan platform penyedia aplikasi untuk membatasi ruang gerak transaksi gelap ini.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Kota Metro maupun aparat kepolisian atas temuan investigasi ini. Namun yang jelas, pembiaran terhadap praktik prostitusi daring akan berdampak jauh, baik terhadap moral generasi muda, keamanan sosial, maupun citra kota di mata publik luar.

Sudah waktunya Kota Metro tidak lagi menutup mata dalam menghadapi wajah gelap kota ini, dibutuhkan keberanian untuk mengakui, mengungkap, dan memberantasnya sampai ke akar. DPRD Kota Metro juga diharapkan dapat mendorong hadirnya regulasi yang mampu menghambat ruang gerak praktik gelap tersebut. (*)