• Sabtu, 17 Mei 2025

Menteri P2MI: Deklarasi Anti-TPPO Harus Jadi Aksi Nyata Lindungi Pekerja Migran

Jumat, 16 Mei 2025 - 15.49 WIB
26

Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, saat deklarasi anti-Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan penempatan ilegal pekerja migran Indonesia di Gedung Serba Guna (GSG) Mapolda Lampung, Jumat (16/5/2025). Foto: Paulina/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, menegaskan bahwa deklarasi anti-Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan penempatan ilegal pekerja migran Indonesia yang digelar di Gedung Serba Guna (GSG) Mapolda Lampung, Jumat (16/5/2025), bukan sekedar seremoni.

Ia menekankan bahwa deklarasi ini harus menjadi komitmen nyata dari seluruh pemangku kepentingan di Provinsi Lampung.

"Deklarasi ini bukan hanya simbolis, tetapi harus diwujudkan secara nyata dan konkret oleh para pemangku kepentingan untuk memberdayakan masyarakat, khususnya para pekerja migran,” ujar Abdul dalam sambutannya.

Abdul mengingatkan kembali dua mandat utama yang diberikan Presiden RI kepadanya. Pertama, menekan angka kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, eksploitasi, ketidakadilan, dan praktik perdagangan manusia yang dialami oleh pekerja migran Indonesia.

Kedua, menegakkan perlindungan terhadap pekerja migran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017.

"Kami fokus pada upaya perlindungan pekerja migran Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi,” tegasnya.

Ia mengungkapkan bahwa dari sekitar 5 juta pekerja migran Indonesia yang tercatat secara resmi, jumlah yang tidak terdata kemungkinan jauh lebih banyak.

Dari angka tersebut, 80 persen bekerja di sektor domestik, seperti pengasuh anak, asisten rumah tangga (ART), sopir, tukang masak, dan perawat lansia. Mayoritas dari mereka hanya berlatar belakang pendidikan SD dan SMP.

Abdul juga menyebut bahwa Provinsi Lampung termasuk salah satu daerah pengirim pekerja migran terbanyak, dengan 81.000 orang yang tercatat pada tahun 2024. Kabupaten Lampung Timur, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Tanggamus, dan Pesawaran menjadi penyumbang terbesar.

Masalah utama yang kerap dihadapi pekerja migran, kata Abdul, adalah kekerasan dan pelanggaran HAM, mulai dari penyitaan dokumen, pemotongan gaji sepihak, hingga perdagangan manusia. Hal ini terutama menimpa para pekerja migran non-prosedural yang berangkat tanpa melalui jalur resmi.

"Banyak dari mereka berangkat menggunakan visa turis, yang kemudian dikonversi menjadi visa kerja. Mereka tidak terdaftar, tidak memiliki kontrak kerja yang sah, dan tidak mendapat perlindungan asuransi,” jelasnya.

Untuk itu, Abdul menegaskan pentingnya sinergi antara Kementerian, Polda Lampung, dan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan ketat terhadap keberangkatan pekerja migran, terutama yang tidak melalui prosedur resmi.

Ia juga menyoroti pentingnya edukasi kepada masyarakat tentang jalur keberangkatan yang legal dan aman.

"Kami akan terus memperkuat koordinasi dan edukasi agar para pekerja migran kita dapat bekerja secara aman, legal, dan terlindungi,” tutup Abdul. (*)