• Kamis, 15 Mei 2025

Sidak ke LPK Jiema Japan Metro, Menteri P2MI Bongkar Celah Eksploitasi Tenaga Migran

Kamis, 15 Mei 2025 - 12.10 WIB
322

Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, saat melakukan inspeksi mendadak (Sidak) ke Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Jiema Japan Indonesia. Foto: Arby/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, melakukan inspeksi mendadak (Sidak) ke Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Jiema Japan Indonesia, di Jl. Ikan Mas, Kelurahan Yosodadi, Kecamatan Metro Timur, Kota Metro, Kamis (15/5/2025).

Dalam sidak tersebut, Menteri Karding juga membeberkan sejumlah celah eksploitasi dalam sistem penempatan tenaga kerja migran Indonesia yang selama ini luput dari sorotan publik.

Menteri Karding menanggapi pertanyaan media terkait maraknya modus eksploitasi berkedok 'magang' di luar negeri yang menjurus pada praktik pelanggaran terhadap hak-hak dasar pekerja migran Indonesia.

"Itu bukan salah mereka, ya. Itu nanti akan kita buatkan regulasi di negara kita. Kita harus punya klasifikasi magang itu ada waktunya, kerja itu ada waktunya, dan jangan sampai magang kelamaan yang sebenarnya bekerja," kata dia saat diwawancarai awak media.

Ia mengkritik keras praktik sejumlah perusahaan luar negeri yang diduga menggunakan skema pemagangan untuk menghindari kewajiban membayar gaji penuh sesuai standar negara setempat.

"Sehingga kasihan tenaga kerja kita, dibayar murah dan seharusnya lebih dari itu yang diperoleh. Oleh karena itu, nanti kita buat mekanismenya supaya ada batas waktu tertentu. Karena namanya magang itu kan latihan. Kalau latihan sampai 4 tahun, itu namanya bukan latihan itu bekerja," imbuhnya.

Karding menyatakan, pemerintah sedang menyusun mekanisme baru dan menunggu revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Salah satu poin penting yang akan diatur adalah batas maksimal durasi magang yang diperbolehkan secara hukum.

"Kalau sudah bekerja itu sudah beda, karena kalau seharusnya dia dapat gaji Rp20 juta, dia hanya dapat Rp10 juta. Kalau saya sih, magang itu ya maksimum 6 bulan, namanya magang. Regulasi itu yang nanti akan kita atur. Kita tunggu dulu revisi Undang-Undang 18 yang masih diproses," bebernya.

Dalam sidak ke LPK tersebut, Menteri Karding juga memuji kondisi fisik lembaga pelatihan yang bersih dan teratur, namun tidak menutupi kekhawatirannya terhadap praktik terselubung yang merugikan para calon pekerja migran.

"Secara umum saya kira baik. Mereka berlatih cukup lama, yaitu enam bulan. Tempatnya juga bersih dan rapi. Tapi kita tidak boleh hanya berhenti di permukaan," ujarnya.

Ia menekankan pentingnya pembinaan yang tidak hanya menargetkan penguasaan bahasa, tetapi juga keterampilan kerja yang mumpuni agar para pekerja yang dikirim ke luar negeri tidak menjadi objek eksploitasi.

"Kita harus dorong pelatihan bahasa yang terintegrasi dengan keterampilan teknis, sehingga yang berangkat adalah mereka yang siap secara mental, bahasa, dan skill. Kita tidak mau mereka hanya jadi pekerja murah,” katanya.

Dalam sesi pengarahan kepada peserta pelatihan, Menteri Karding menyampaikan pesan motivasi kuat agar para calon pekerja migran memanfaatkan masa pelatihan sebagai pijakan menuju masa depan yang mandiri.

"Saya titip tiga hal. Pertama, jaga nama baik bangsa. Kedua, kuasai bahasa. Dan ketiga, kuatkan keterampilan. Tujuannya jelas: berangkat sebagai migran, pulang sebagai juragan," tegasnya.

Sidak Menteri P2MI tersebut menjadikan Kota Metro sebagai panggung sorotan nasional terkait tata kelola pelatihan dan penempatan tenaga migran.

Meski LPK Jiema mendapat catatan baik dari sisi fasilitas, kasus-kasus eksploitasi yang terungkap di banyak tempat membuat Kementerian P2MI memperketat pengawasan secara menyeluruh.

Karding juga menyinggung pentingnya peran pemerintah daerah dalam mengawasi dan mendampingi lembaga pelatihan agar benar-benar bekerja sesuai standar dan tidak menjadi pintu masuk praktik kotor.

Kasus eksploitasi berkedok magang telah menjadi masalah global yang menimpa banyak tenaga kerja dari negara berkembang. Langkah tegas pemerintah dalam membatasi praktik ini merupakan sinyal kuat bahwa Indonesia tidak lagi ingin menjadi lumbung buruh murah, melainkan pengirim tenaga kerja profesional yang dihormati dan dilindungi. (*)