Kota Metro dan Segudang Warisan Masalah, Oleh: Arby Pratama

Arby Pratama, Jurnalis Kupas Tuntas di Kota Metro, Foto: Ist
Kupastuntas.co, Metro - Sebagai kota kecil di Provinsi Lampung yang sempat dipuja sebagai kota pendidikan, Metro hari ini berdiri di antara dua kutub: harapan akan masa depan yang lebih baik, dan kenyataan pahit warisan masalah yang tak kunjung tuntas.
Di balik tata kelola perkotaan, rapi taman kotanya, dan iklim pembangunan yang masif, sesungguhnya Metro menyimpan tumpukan persoalan serius yang membebani langkah siapa pun yang memimpin kota ini ke depan.
Salah satu akar dari banyaknya permasalahan di Metro hari ini adalah birokrasi yang diduga tidak sehat. Struktur pemerintahan yang seharusnya menjadi mesin pelayanan publik justru lebih sering berfungsi sebagai mesin pelambat.
Budaya asal bapak senang alias ABS masih menjadi tradisi yang diam-diam dirawat. Banyak keputusan strategis tidak didasarkan pada data, melainkan pada kedekatan, loyalitas semu, dan pertimbangan politis.
ASN di banyak instansi bekerja dalam iklim penuh ketidakpastian, bukan karena mereka tidak kompeten, tetapi karena sistemnya tidak mendukung kerja profesional.
Rotasi dan promosi jabatan di masa lalu kadang tidak ditentukan oleh prestasi, melainkan oleh seberapa dekat seseorang dengan pusat kekuasaan. Dalam situasi seperti ini, gagasan brilian dan semangat reformasi kerap dikubur dalam diam oleh struktur yang takut perubahan.
Wajah Kota Metro dari sisi infrastruktur juga tidak bisa dibilang membanggakan. Banyak jalan lingkungan rusak dan dibiarkan bertahun-tahun tanpa perbaikan. Drainase yang buruk menyebabkan banjir di titik-titik tertentu saat hujan turun.
Kawasan pinggiran kota nyaris seperti anak tiri, jauh dari perhatian, padahal di sanalah sebagian besar masyarakat kecil hidup dan bergantung.
Minimnya ruang terbuka hijau, fasilitas olahraga, serta akses yang layak menuju sekolah dan pusat layanan kesehatan di beberapa wilayah menunjukkan bahwa kota ini belum benar-benar dikelola dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Pembangunan lebih banyak bersifat reaktif ketimbang visioner, sekadar menjawab tekanan jangka pendek, bukan kebutuhan jangka panjang.
Layanan dasar masyarakat seperti administrasi kependudukan, perizinan usaha, layanan kesehatan, hingga pendidikan masih belum optimal. Warga masih mengeluhkan proses pelayanan yang berbelit, lambat, dan tidak ramah terhadap kelompok rentan.
Digitalisasi pelayanan yang seharusnya menjadi solusi pun belum terimplementasi dengan serius. Padahal, esensi dari kehadiran negara di tingkat lokal adalah pelayanan.
Namun di Metro, masih sering kita temui kasus di mana rakyat kecil harus berkeliling dari satu kantor ke kantor lain hanya untuk mengurus dokumen dasar.
Di sinilah letak persoalan mendasarnya: warisan birokrasi di Metro masih terlalu sibuk mengatur internalnya sendiri, tetapi lupa menyusun sistem yang benar-benar memudahkan warganya.
Masalah tata kelola juga menjadi isu fundamental. Pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang terbuka, akuntabel, dan berbasis data. Namun di Metro, tata kelola pemerintahan masih cenderung elitis dan tertutup.
Proses pengambilan keputusan publik kerap tidak melibatkan masyarakat secara luas. Musrenbang yang seharusnya menjadi panggung utama partisipasi rakyat kadang hanya formalitas, tanpa benar-benar menyerap aspirasi.
Dokumen perencanaan pembangunan pun kerap menjadi tumpukan kertas, bukan panduan aksi nyata. Evaluasi kebijakan nyaris tidak terdengar, sementara pengawasan terhadap proyek-proyek publik minim transparansi. Di ruang yang suram seperti ini, peluang munculnya praktik-praktik koruptif dan inefisiensi sangat besar.
Yang tak kalah meresahkan adalah maraknya figur-figur Sengkuni di lingkaran kekuasaan Metro. Mereka adalah orang-orang yang tidak duduk dalam jabatan resmi, namun punya pengaruh besar terhadap arah kebijakan.
Mereka masuk melalui jalur kedekatan, menyodorkan loyalitas dan “bantuan”, namun di baliknya menyelipkan kepentingan pribadi yang menggerogoti kepentingan publik.
Para Sengkuni ini tidak bekerja membangun, melainkan menyusup dan mengatur, memecah belah kekuatan baik di dalam sistem, dan memperkuat posisi mereka di balik layar.
Mereka kerap menjadi penghalang masuknya ide-ide segar, menyingkirkan orang-orang yang kritis, dan menutup telinga pemimpin dari suara rakyat. Kalau ini terus dibiarkan, Metro hanya akan menjadi kota boneka, di mana pemimpinnya dikendalikan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab secara konstitusional.
Warisan masalah ini bukan sekadar daftar panjang keluhan. Ini adalah tantangan nyata bagi kepala daerah yang baru terpilih. Ia tidak hanya dituntut untuk menata ulang sistem birokrasi, tetapi juga harus berani mencabut akar masalah yang selama ini dibiarkan tumbuh liar.
Mulai dari perombakan sistem SDM yang adil dan meritokratis, perbaikan sistem layanan berbasis digital dan transparan, hingga membersihkan lingkar kekuasaan dari para Sengkuni yang merusak.
Pemimpin baru Metro tidak boleh lagi bermain di zona nyaman. Ia harus memimpin dengan keberanian moral, kecerdasan teknokratik, dan keberpihakan pada rakyat kecil. Tak ada lagi ruang untuk basa-basi dan kompromi dengan masa lalu yang menyandera. Karena jika tidak, ia hanya akan menjadi bagian dari warisan masalah itu sendiri.
Kota Metro bisa bangkit. Tapi syaratnya jelas: sistem harus dirombak, pelayanan harus ditingkatkan, dan orang-orang licik yang bermain di balik layar harus disingkirkan.
Jika pemimpin baru berani memulai dari titik itu, maka ia bukan hanya akan mencatatkan namanya dalam sejarah, tetapi juga membebaskan Metro dari kutukan panjang warisan masalah yang membelenggunya selama ini. (*)
Berita Lainnya
-
Viral Aksi Maling Motor di Rusunawa Metro Terekam CCTV
Kamis, 17 April 2025 -
Lestarikan Budaya, Grup Gitar Akustik Lampung Sai Hipnotis Pengunjung SMSI Fair 2025
Rabu, 16 April 2025 -
Metro Siapkan Nakes Andal Bicara dan Menulis untuk Publik
Rabu, 16 April 2025 -
Inspektorat Tindaklanjuti Dugaan Setoran Sampah di Kota Metro
Selasa, 15 April 2025