• Rabu, 16 April 2025

Bank Sampah dan Harapan yang Terlalu Tinggi, Oleh: Dr.Eng. Fritz Akhmad Nuzir. S.T., M.A.

Rabu, 16 April 2025 - 11.12 WIB
2.1k

Dr.Eng. Fritz Akhmad Nuzir. S.T., M.A., Direktur Center for Sustainable Development Goals Studies (SDGs Center) Universitas Bandar Lampung. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Setiap tahun, dunia dibayangi prediksi kelam: 3,4 miliar ton sampah akan diproduksi secara global pada 2050 (World Bank, 2018).

Angka yang tentu tak hanya mencemaskan, tetapi juga menantang, terutama bagi negara-negara di dunia termasuk Indonesia, yang sering 'mencetak prestasi' dalam menghasilkan sampah terbanyak.

Menyadari potensi krisis ini, pemerintah telah menargetkan pengurangan 30% dan penanganan 70% dari total sampah nasional, sesuai Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah.

Salah satu pendekatan yang populer diadopsi adalah konsep bank sampah yang merupakan sebuah sistem yang menggabungkan partisipasi masyarakat, insentif ekonomi, dan harapan besar dalam satu gerakan berbasis komunitas.

Berkembang pada awalnya di Thailand, konsep ini kemudian menjadi favorit di kalangan komunitas masyarakat di Indonesia. Namun, apakah bank sampah benar-benar mampu menjadi tulang punggung pengelolaan sampah nasional?

Antara Target Ambisius dan Realitas Lapangan

Harapan sering kali tidak sejalan dengan kenyataan. Studi terbaru dari Hibino dkk (2023) di Kota Medan menunjukkan bahwa seluruh unit bank sampah aktif di kota itu hanya mampu mengelola 1,9 ton sampah per hari yaitu hanya sekitar 0,1% dari total timbulan sampah kota.

Lebih ironis lagi, sejak 2015, jumlah bank sampah yang tidak lagi aktif terus meningkat di Kota Medan. Sebagian besar tutup karena alasan klasik: tidak ada dukungan kelembagaan, fasilitas minim, partisipasi warga yang melemah.

Di Lampung, kondisinya tak jauh berbeda. Unit-unit bank sampah memang menjamur, khususnya di kota-kota seperti Bandar Lampung dan Metro. Namun di balik jumlah yang mengesankan, tersimpan cerita lain: sistem yang berjalan tanpa sistem.

Banyak bank sampah dikelola swadaya, tergantung pada dedikasi individu atau komunitas, tanpa jaminan keberlanjutan. Dukungan logistik, pelatihan, dan rantai distribusi yang kuat belum sepenuhnya hadir.

Menariknya, Pemerintah Provinsi Lampung kini menargetkan pembentukan satu Bank Sampah Induk di tiap Kecamatan dan satu Bank Sampah Unit di setiap RW. Ambisi yang patut dihargai.

Tapi apakah penambahan kuantitas bisa menjawab masalah kualitas? Seperti dalam studi di Medan, banyak unit bank sampah stagnan atau tutup akibat tidak adanya sistem insentif, kelemahan kelembagaan, serta keterbatasan fasilitas dasar.

Fenomena serupa juga ditemukan di berbagai daerah. Di Yogyakarta dan Jawa Timur, misalnya, banyak bank sampah yang sempat dibentuk kini tidak lagi aktif. Laporan dari berbagai sumber menyebutkan bahwa setelah masa awal pembentukan yang masif, banyak dari bank-bank ini hanya menyisakan papan nama karena tidak adanya dukungan lanjutan yang memadai.

Partisipasi Masyarakat Penting tapi Peran Pemerintah Jauh Lebih Utama

Kita tidak kekurangan contoh yang bisa dipelajari. Banyumas adalah salah satunya. Di kabupaten ini, pendekatan zero waste diterapkan secara menyeluruh. Bank sampah memang ada, menjadi bagian dari sistem yang lebih luas, bukan satu-satunya solusi.

Pemerintah setempat memperkuat seluruh rantai sistem: dari pemilahan di sumber, infrastruktur logistik, hingga kolaborasi dengan sektor informal seperti pemulung. Hasilnya? Sampah benar-benar berkurang, bukan sekadar dipindahkan.

Belajar dari luar negeri, Jepang dan Korea Selatan memberi pelajaran bahwa sistem yang tertib hanya bisa berjalan jika pemerintah lokal menjadi nahkodanya. Di Jepang, warga memisahkan sampah menjadi belasan kategori karena tahu persis ke mana sampah itu akan pergi.

Di Korea, ada aturan bahwa setiap kantong sampah harus dibayar sesuai beratnya(Weight Food Waste Fee) dengan menggunakan teknologisensor Radio Frequency Identification(RFID) yang dikelola pemerintah kota. Teknologi dan aturan saling menguatkan.

Sementara itu, di Kolombia dan Brasil, sektor informal justru diintegrasikan secara legal ke dalam sistem pengelolaan kota. Pemulung diorganisasi, diberi hak, bahkan mendapat pelatihan dan perlindungan sosial. Kontras dengan di sini, di mana peran mereka kadang masih dipandang sebelah mata.

Refleksi dan Rekomendasi: Saatnya Pemerintah Daerah Memimpin dengan Inovasi dan Keberlanjutan

Pertanyaannya, ke mana arah kita? Apakah kita akan terus membangun unit bank sampah tanpa memastikan apakah sampah yang dikumpulkan benar-benar terkelola dengan baik? Atau kita mulai memperkuat sistem dari hulu ke hilir?

Bank sampah telah menjadi simbol semangat gotong royong di tingkat komunitas. Namun, mengandalkannya sebagai pilar utama untuk mencapai target nasional justru berisiko menciptakan ekspektasi yang tidak realistis.

Seperti terlihat dari berbagai contoh di Medan, Yogyakarta, hingga Banyumas, keberlanjutan bank sampah membutuhkan fondasi struktural dan dukungan kebijakan yang kuat.

Pemerintah daerah seharusnya tidak hanya menjadi pengundang semangat, tetapi juga pengarah strategi. Data menjadi kebutuhan utama: berapa jumlah sampah yang diproduksi, jenisnya apa, siapa yang memungut, ke mana dibawa, bagaimana akhirnya diolah. Tanpa data, semua kebijakan akan bersifat spekulatif.

Selain itu, ekosistem pendukung harus dibangun. Mulai dari transportasi sampah, tempat penyimpanan sementara, pelatihan manajerial untuk pengelola bank sampah, hingga jaminan bahwa sampah yang sudah dipilah tidak akan tercampur lagi di truk pengangkut. Ironi semacam itu masih sering terjadi.

Inovasi lokal perlu terus didorong. Teknologi digital bisa mempermudah pelaporan, pemetaan, bahkan mempertemukan warga dengan industri daur ulang. Tapi teknologi saja tidak cukup. Harus ada jaminan keberlanjutan pendanaan, skema insentif yang tidak bergantung pada hibah proyek sesaat.

Dan yang paling mendasar: pendidikan publik. Masyarakat harus tahu, bukan hanya apa yang harus dilakukan, tetapi juga mengapa mereka harus melakukannya. Panduan memilah sampah harus mudah dipahami dan diaplikasikan.

Proses pemilahan harus efisien, terhubung dengan sistem pengangkutan dan pengolahan. Bukan hanya rutinitas, tapi jalan menuju perubahan perilaku dari membuang menjadi bertanggung jawab, dari konsumtif menjadi bijak.

Bank sampah bukan solusi tunggal. Ia bagian dari solusi yang lebih besar, yang hanya bisa berjalan jika dikaitkan dalam kerangka ekonomi sirkular yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Di sinilah peran pemerintah daerah menjadi sangat penting: sebagai penggerak sistem, penjaga kesinambungan, dan pemimpin inovasi.

Kalau tidak begitu, jangan heran jika satu per satu bank sampah yang kini dibangun dengan semangat, akhirnya hanya menjadi bangunan kosong dengan papan nama usang. Dan kita, kembali lagi ke titik awal, dengan sampah yang terus menumpuk dan harapan yang makin mengendur. (*)