Kopi Cap Kuda, Aroma Sejarah dari Metro yang Masih Menyala

Pengelola Lapangan Kopi Cap Kuda, Filbert Elyantoni saat memasarkan Kopi Legendaris asal Metro dalam event SMSI Fair 2025 di Samber Park. Foto: Arby/Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Metro – Lebih dari 50 tahun, Kopi Cap Kuda menjadi bagian dari denyut kehidupan Kota Metro. Dirintis oleh seorang perempuan tangguh bernama Oma Ahyuni, kini kopi legendaris ini diteruskan oleh generasi muda dengan semangat baru tanpa mengubah rasa aslinya yang telah dicintai lintas generasi.
Dengan kemasan sederhana dan aroma khas yang tak tertandingi, Kopi Cap Kuda bukan hanya sekadar kopi bubuk lokal. Ia adalah potret ketekunan keluarga yang menjaga warisan rasa dari generasi ke generasi, sejak 1970 hingga hari ini.
Aroma kopi yang khas menyambut siapa saja yang melintasi rumah produksi ini. Di balik harum robusta yang menggoda itu, tersimpan kisah panjang tentang ketekunan, warisan keluarga, dan semangat menjaga cita rasa yang autentik.
Kini, estafet perjuangan itu berada di tangan generasi keempat yaitu Filbert Elyantoni, seorang pemuda berusia 26 tahun yang dengan penuh semangat melanjutkan usaha keluarga yang dirintis oleh buyutnya, Ahyuni atau yang akrab disapa Oma.
Di usia mudanya, Filbert tak hanya menjaga warisan, tapi juga membawa napas baru agar kopi Cap Kuda tetap eksis di tengah gelombang tren kopi modern yang kian menjamur.
“Saya melihat Cap Kuda bukan sekadar usaha keluarga, tapi juga bagian dari sejarah dan identitas Kota Metro,” ujar Filbert ketika ditemui dalam gelaran Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Fair 2025 di Samber Park, Minggu (13/4/2025) malam.
Dalam menjaga dan merawat warisan kopi tersebut, Filbert tidak sendiri, Ia didampingi oleh sang ibu bernama Siti Halimah, generasi ketiga dalam keluarga besar pengolah kopi ini. Filbert menyebut pengolahan kopi Cap Kuda masih dikelola secara tradisional, tanpa bahan pengawet dan tanpa campuran alias murni menggunakan biji kopi robusta pilihan.
Keduanya menjadi representasi dua generasi yang saling melengkapi, satu dengan pengalaman panjangnya, satu lagi dengan energi dan ide-ide segarnya.
Filbert mengisahkan, Kisah kopi Cap Kuda dimulai tahun 1970, saat Oma Ahyuni memutuskan untuk mengolah sendiri biji-biji kopi robusta hasil panen dari petani lokal.
Berawal dari alat penggiling sederhana di dapur rumahnya, produk kopi bubuk ini mulai dikenalkan ke lingkungan sekitar. Lambat laun, aroma kopi Cap Kuda menyebar luas, menjadi teman setia para pekerja, petani, hingga tamu-tamu yang datang bertandang ke rumah warga Metro.
"Dari generasi ke generasi, Cap Kuda tetap mempertahankan ciri khasnya dengan aroma yang kuat, rasa yang pekat, dan tanpa bahan campuran apapun. Mungkin inilah rahasia kenapa Kopi Kuda mampu bertahan di tengah maraknya kopi instan dan kedai-kedai kekinian," kata Filbert.
Kini, dalam sehari Cap Kuda mampu memproduksi 180 hingga 250 kilogram bubuk kopi yang dikemas dalam berbagai ukuran, dari 88 gram seharga Rp 14 Ribu hingga varian premium kemasan 500 gram seharga Rp 80 Ribu.
"Rumah produksi kami ada di Jalan Mengkudu, Kelurahan Yosomulyo, Kecamatan Metro Pusat. Kopi Cap Kuda hadir dalam dua varian utama yaitu Kopi Lanang dan Kopi Petik Merah yang keduanya menyimpan filosofi tersendiri. Kopi Lanang, yang berasal dari biji tunggal tanpa belahan, dipercaya memiliki kandungan kafein lebih tinggi dan biasa dinikmati mereka yang membutuhkan tenaga ekstra sepanjang hari," jelasnya.
"Sementara Kopi Petik Merah menggunakan biji kopi yang hanya dipanen saat benar-benar matang. Tentunya itu menandakan kesabaran dan ketelitian dalam proses produksinya," imbuhnya.
Bagi Filbert, menjaga tradisi bukan berarti menolak perubahan, menjaga kualitas adalah prinsip utama. Ia mulai aktif memasarkan produk secara online, membuat desain kemasan yang lebih modern namun tetap mempertahankan logo kuda legendaris yang menjadi identitas produk ini sejak awal.
“Kami tidak ingin mengecewakan pelanggan setia yang sudah puluhan tahun tumbuh bersama Cap Kuda. Kami tetap proses secara manual, dari sangrai hingga penggilingan semua kami jaga,” paparnya.
“Orang tua kita dulu menikmati kopi bukan hanya untuk rasa, tapi juga sebagai medium silaturahmi, diskusi, bahkan perenungan. Saya ingin membawa itu ke anak muda hari ini,” sambungnya.
Meski berbasis industri rumahan, jaringan distribusi Cap Kuda telah menyebar ke berbagai kota di Indonesia. Dari Sumatera, Jawa, hingga Kalimantan, pesanan datang silih berganti. Banyak perantau asal Metro yang menjadikan Kopi Kuda sebagai oleh-oleh wajib saat pulang kampung.
“Banyak yang bilang, aroma Kopi Kuda itu aroma rumah. Aroma nostalgia. Kopi Cap Kuda bukan sekadar produk, tapi juga jejak sejarah Kota Metro yang diseduh dalam setiap cangkir. Kopi Kuda adalah bukti bahwa kesederhanaan, keuletan, dan cinta pada tradisi bisa menjelma kekuatan luar biasa yang menembus zaman," bebernya.
Dari di tangan generasi muda seperti Filbert, warisan ini tak hanya bertahan, tapi juga tumbuh dan bertransformasi menjadi kebanggaan bersama. Seperti aroma kopi yang tak pernah hilang meski tersapu angin, Kopi Cap Kuda tetap menyala, dari Metro untuk Indonesia. (*)
Berita Lainnya
-
Inspektorat Tindaklanjuti Dugaan Setoran Sampah di Kota Metro
Selasa, 15 April 2025 -
373 CJH 2025 Kota Metro Ikuti Manasik Haji
Sabtu, 12 April 2025 -
Klarifikasi Temuan Gabah Murah di Metro, Petani Diminta Jual Langsung ke Bulog
Jumat, 11 April 2025 -
Klarifikasi Temuan Gabah Murah di Metro, Petani Diminta Jual Langsung ke Bulog
Jumat, 11 April 2025