• Kamis, 17 April 2025

Di Balik Asap Karangbrak: Ketika Api Merenggut Lebih dari Sekadar Rumah

Kamis, 10 April 2025 - 16.11 WIB
72

Kebakaran rumah di Dusun 1 Pekon Karangbrak, Kecamatan Pematangsawa, Kabupaten Tanggamus. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Tanggamus - Mentari siang baru saja menggantung di atas langit Dusun 1 Pekon Karangbrak, Kecamatan Pematangsawa, Kabupaten Tanggamus.

Hari Rabu itu, 10 April 2025, tampak biasa saja dan langit cerah, suara burung saling bersahutan, dan angin berhembus tenang menyapu dedaunan. Namun siapa sangka, di balik ketenangan itu, sebuah petaka tengah menunggu untuk menjelma.

Saprik dan istrinya, seperti biasa, berada di kebun. Mereka menggantungkan hidup dari tanah dan hasil tani yang tak pernah mereka abaikan. Di rumah, ketiga anak mereka tinggal sementara bermain, membantu, atau sekadar menunggu waktu makan siang.

Si sulung, seorang gadis remaja, sedang menuangkan bensin ke ember. Tak ada yang menyangka bahwa aktivitas kecil itulah yang akan menjadi awal dari segalanya.

Tiba-tiba, sang adik berlari ke arahnya. Tanpa sengaja, tubuh mungil itu menyenggol ember yang berisi bensin. Cairan mudah terbakar itu tumpah, mengalir menuju dapur, tempat tungku masih menyala untuk merebus air.

Dalam hitungan detik, api menyambar. Terkejut dan panik, sang kakak segera menarik adiknya keluar rumah, berlari tanpa arah bukan ke rumah bibi yang berada tak jauh, melainkan ke rumah nenek yang lebih jauh dari lokasi.

Sementara itu, api telah menari-nari dalam ganasnya. Ia melahap kayu, dinding, pakaian, bahkan harapan. Tak ada orang dewasa di rumah, tak ada tangan kuat yang bisa menghentikannya.

Di masjid terdekat, suara pengeras dari Ketua RT memecah keheningan siang. Warga yang mendengar langsung berhamburan, bergegas menuju sumber asap.

Tapi semua sudah terlambat. Api sudah begitu besar. Tak bisa dilawan dengan ember, tak bisa dipadamkan dengan doa. Mereka hanya bisa menyaksikan dengan mata yang tak mampu berkedip dan dada yang sesak oleh kepedihan.

"Yang tersisa hanya baju di badan. Satu set sofa dan beberapa pakaian anak, itu pun sudah penuh jelaga,” ucap Ariyanto, warga yang pertama kali menyaksikan kebakaran.

Di bagian depan rumah, warung kecil milik keluarga Saprik ikut hangus. Barang dagangan yang baru datang, pakaian jualan senilai lebih dari sepuluh juta rupiah, musnah. Tiga unit ponsel, uang tunai, kulkas, beras, kopi semuanya lenyap dalam sekejap.

"Warungnya habis total,” kata Supriyadi, Kepala Dusun. “Tak ada yang bisa diselamatkan. Kerugiannya sekitar seratus juta.”

Kini, di bekas rumah yang pernah menjadi tempat bernaung dan mencari nafkah itu, hanya puing dan arang yang tersisa. Aroma hangus masih melekat di udara. Beberapa tetangga datang, membawakan makanan, air, atau sekadar pelukan dan doa. Tapi luka batin yang ditinggalkan si jago merah tak mudah pulih.

Belum ada bantuan resmi dari pemerintah pekon. Ketua RT bersama warga memang telah berupaya, namun jelas tak cukup untuk menggantikan segalanya.

Sementara pihak pekon masih mendata dan menghitung, keluarga Saprik harus mulai dari nol dengan kekuatan yang entah datang dari mana.

Di tengah abu dan debu yang beterbangan, ada harapan kecil yang masih berdenyut. Bahwa tangan-tangan sesama akan kembali memeluk. Bahwa pemerintah akan hadir, bukan sekadar membawa data, tapi juga solusi.

Dan bahwa dari reruntuhan ini, keluarga Saprik akan bangkit kembali. Karena rumah bisa hancur, tapi semangat untuk hidup tak pernah boleh padam. (*)