• Jumat, 18 April 2025

Bulog Absen di Lapangan, Petani Metro Terpaksa Jual Murah ke Tengkulak

Kamis, 10 April 2025 - 13.39 WIB
3.6k

Aktivitas panen padi oleh petani asal Kelurahan Tejosari Kecamatan Metro Timur. Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Harga gabah petani di Kota Metro masih jauh dari harapan. Di tengah gejolak harga pangan nasional dan gencarnya upaya pemerintah menjaga ketahanan pangan, nasib petani justru terjepit oleh kenyataan pahit, gabah hasil panen mereka hanya dibeli seharga Rp5.800 per kilogram oleh tengkulak.

Sementara itu, Perum Bulog yang seharusnya hadir sebagai penyerap gabah petani dengan harga lebih layak, tidak pernah turun langsung ke lapangan.

Kondisi ini diungkapkan langsung oleh Sukardi, Ketua Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Kelurahan Tejosari, Kecamatan Metro Timur. Ia menyatakan bahwa harga gabah yang dibeli oleh tengkulak membuat petani tidak punya pilihan lain.

"Dari petani itu dibeli oleh tengkulak dengan harga Rp5.800 per kilogram. Kalau Bulog informasinya nerima gabah itu Rp6.500, tapi dalam prosesnya kita tetap harus suruh bayar kuli sendiri, bayar mobil angkutan sendiri, disana kena potongan kotor yang hitungannya berapa persen," kata Sukardi, Kamis (10/4/2025).

Sukardi menambahkan bahwa selama ini Bulog tidak pernah hadir langsung ke lapangan untuk membeli gabah petani. Penyerapan dilakukan melalui tengkulak yang punya modal besar dan bisa menanggung biaya operasional lebih dahulu sebelum pembayaran cair dari Bulog.

"Kalau Bulog sendiri nggak pernah turun ke tempat kita, kalau kita lewat tengkulak semua. Dari dulu gak ada Bulog masuk, jadi tengkulak itu yang setor ke Bulog. Tapi mungkin tengkulak-tengkulak yang punya duit. Kalau gak punya duit dobel ya gak bisa setor ke Bulog, karena dari petani itu langsung bayar, kalau Bulog kan nunggu 3 sampai 4 hari baru cair," ungkapnya.

Situasi ini membuat petani terpaksa menjual gabah kepada tengkulak meskipun harga yang ditawarkan di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Sukardi mengatakan, kebutuhan uang yang mendesak membuat petani tidak bisa menunggu pembayaran dari Bulog.

"Selama ini yang terima tengkulak langsung, Bulog mah gak pernah masuk. Rata-rata semua seperti itu. Saya juga jualnya ke tengkulak," ucapnya.

Selain kendala pembayaran, proses birokrasi yang rumit dan kuota yang dibatasi juga menjadi faktor lain yang membuat petani enggan menjual langsung ke Bulog.

"Kalau petani mau jual ke Bulog itu harus mengisi prosedur data dulu. Kemudian Bulog itu menargetkan ke mitra, biasanya cuma minta dua mobil. Misalnya saya diminta dua mobil ya cuma bisa setor dua mobil itu aja. Jadi kalau kita punya tiga mobil, yang satu mobil kita bingung mau setor ke mana lagi," jelasnya.

Meskipun begitu, Sukardi menyatakan bahwa petani Tejosari sebenarnya sangat ingin menjual gabah mereka ke Bulog, asal syarat-syaratnya dipermudah dan harga dibayarkan secara cepat.

"Kalau Bulog itu benar-benar turun kasih harga Rp 6.500 ke petani dan cair dalam 1–2 hari, ya khusus untuk Tejosari ini mau banget setor ke sana," imbuhnya.

Sementara itu, Agus salah seorang petani asal Metro Selatan juga menyayangkan sikap pemerintah daerah dan instansi terkait yang terkesan lepas tangan. Tidak ada upaya pendampingan atau fasilitasi agar petani bisa menjual ke Bulog.

"Kami berharap Bulog itu harus benar-benar turun melakukan pengecekan di lapangan. Misalnya ada Satgas atau petugas yang turun, kami siap bantu Satgas itu," bebernya.

"Karena dari dinas juga gak ada yang berupaya, malah nyaranin suruh terima aja jual harga Rp5.800, yang penting di babat. Petani-petani ini kan butuh duitnya cepat, maka ketika dapat harga segitu ya dikasih aja akhirnya," tandasnya.

Kondisi ini menjadi gambaran nyata lemahnya sistem distribusi dan penyerapan hasil panen di tingkat petani. Di tengah slogan kedaulatan pangan, para petani yang seharusnya menjadi pilar utama ketahanan pangan malah terus-menerus ditekan oleh sistem yang tak berpihak.

Pemerintah pusat dan daerah diharapkan segera turun tangan menyikapi kondisi ini, agar petani tidak terus-menerus terjebak dalam mata rantai yang tidak adil dan merugikan. (*)