• Jumat, 28 Maret 2025

Orasi Refi Meidiantama: Revisi UU TNI Ancam Supremasi Sipil

Senin, 24 Maret 2025 - 19.06 WIB
43

Refi Meidiantama saat orasi didepan mahasiswa. Foto: Paulina/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Refi Meidiantama, dosen hukum Universitas Lampung (Unila), menyampaikan orasi dalam aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPRD Lampung, Senin siang (24/3/2025).

Dalam orasinya, ia menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) berpotensi mengancam supremasi sipil dan membawa Indonesia kembali ke era di mana militer memiliki kewenangan yang luas dalam kehidupan sipil.  

"Kita tidak boleh lupa sejarah! Mereka yang pernah hidup di bawah rezim Orde Baru pasti memahami bagaimana sulitnya menjaga supremasi sipil ketika militer memiliki kekuasaan yang besar. Jangan sampai kita mengulang kesalahan yang sama!" seru Refi dalam orasinya.  

Ia juga menyoroti Pasal 7 dalam revisi UU TNI yang memberikan kewenangan bagi militer untuk masuk ke dalam ranah siber. Menurutnya, hal ini bisa menjadi ancaman bagi kebebasan sipil dan hak masyarakat dalam dunia digital.  

"Kalau TNI dibiarkan masuk ke dalam ranah siber, apa jaminan bahwa kebebasan berekspresi kita tidak akan dibatasi? Siapa yang bisa memastikan bahwa mereka tidak akan melakukan pengawasan terhadap warga sipil tanpa kontrol yang jelas?" katanya.  

Selain itu, Refi juga mengkritik Pasal 47 yang memungkinkan anggota TNI menduduki jabatan di kementerian dan lembaga sipil. Ia menilai hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi dan reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak 1998.  

"Kita sudah susah payah melakukan reformasi agar militer kembali ke baraknya. Sekarang, justru kita menghadapi ancaman di mana TNI bisa masuk ke dalam pemerintahan sipil. Ini kemunduran demokrasi yang sangat berbahaya!" tegasnya.  

Refi juga menyoroti Pasal 53 dalam revisi UU TNI yang mengatur perpanjangan usia pensiun prajurit. Menurutnya, perubahan ini bisa memperpanjang dominasi perwira tinggi dalam institusi TNI dan menghambat regenerasi.  

"Jika regenerasi dalam tubuh militer terganggu, maka reformasi TNI pun akan terhambat. Kita tidak ingin ada stagnasi yang memperkuat dominasi perwira-perwira lama yang belum tentu sejalan dengan visi demokrasi kita," ujar Refi.  

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa revisi UU TNI ini tidak hanya berdampak pada institusi militer, tetapi juga terhadap keseimbangan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menegaskan bahwa supremasi sipil harus tetap dijaga agar militer tidak kembali memiliki pengaruh politik yang berlebihan seperti di masa lalu.  

"Kita harus tegaskan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Jangan biarkan militer mengambil peran yang seharusnya dipegang oleh sipil! Ini bukan hanya perjuangan mahasiswa, tapi perjuangan seluruh rakyat," katanya dengan lantang.  

Dalam orasinya, Refi juga mengkritik cara pemerintah dan DPR dalam mengesahkan revisi UU ini yang dinilai minim transparansi. Ia menegaskan bahwa perubahan regulasi yang berdampak besar seperti ini harus melibatkan partisipasi publik secara luas.  

"Rakyat tidak boleh dikecoh dengan perubahan aturan yang dilakukan secara diam-diam. Kita harus bersuara! Kalau kita diam, maka kita sedang membiarkan kekuasaan militer menggerus hak-hak kita sebagai warga sipil," katanya.  

Mahasiswa yang hadir dalam aksi tersebut merespons orasi Refi dengan semangat. Mereka menilai bahwa dukungan akademisi, terutama dari kalangan dosen hukum, sangat penting dalam perjuangan menolak revisi UU TNI.  

"Ini bukan hanya soal mahasiswa, tetapi juga soal masa depan hukum dan demokrasi di Indonesia," ujar salah satu peserta aksi.  

Aksi di depan Gedung DPRD Lampung ini menjadi bagian dari gelombang protes yang terjadi di berbagai daerah. Mahasiswa dan akademisi sepakat bahwa perjuangan menolak revisi UU TNI tidak boleh berhenti di aksi jalanan, tetapi harus terus dikawal agar tidak melemahkan demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. (*)