• Minggu, 23 Maret 2025

Gagal Atasi Sampah, Akademisi Minta Walikota Metro Evaluasi Lurah

Jumat, 21 Maret 2025 - 11.31 WIB
1k

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Dharma Wacana Metro, Pindo Riski Saputra. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Metro - Persoalan sampah di Kota Metro semakin meresahkan. Maraknya warga yang masih membuang sampah sembarangan menunjukkan lemahnya pengawasan dan tindakan dari aparatur kelurahan.

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Dharma Wacana Metro, Pindo Riski Saputra, menegaskan bahwa lurah yang tidak mampu menekan angka pembuangan sampah sembarangan seharusnya segera dievaluasi, bahkan dicopot jika terbukti gagal menjalankan tugasnya.

“Seorang lurah bukan hanya pemimpin administratif, tetapi juga penggerak perubahan di tingkat masyarakat. Jika sebuah kelurahan terus-menerus menghadapi masalah kebersihan tanpa solusi nyata, itu tanda ada yang salah dalam kepemimpinan lurahnya. Wali Kota Metro harus tegas dalam mengevaluasi kinerja mereka,” kata Pindo, saat dikonfirmasi Kupastuntas.co, Jumat (21/3/2025).

Menurut Pindo, lurah memiliki kewajiban utama dalam memastikan edukasi, pengawasan, dan penegakan aturan terkait kebersihan lingkungan berjalan efektif. Mereka harus berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Satpol PP, serta perangkat RT dan RW dalam menciptakan sistem pengelolaan sampah yang tertib dan berkelanjutan.

Namun, kenyataannya, masih banyak kelurahan di Metro yang tidak memiliki mekanisme tegas dalam mencegah pembuangan sampah sembarangan. Warga masih dengan mudah menemukan titik-titik pembuangan liar yang terus bertambah tanpa ada tindakan konkret dari pihak kelurahan.

“Jika lurah benar-benar bekerja, maka tidak akan ada lagi tumpukan sampah di sudut-sudut kota. Ini masalah ketegasan dan kepemimpinan. Lurah yang gagal harus siap menerima konsekuensinya, termasuk pencopotan jabatan,” ucapnya.

Pria yang merupakan dosen tersebut juga menyoroti bahwa permasalahan sampah bukan hanya sekadar tanggung jawab masyarakat, tetapi juga menunjukkan kualitas kepemimpinan daerah. Ia menilai bahwa lurah-lurah yang tidak memiliki inisiatif atau strategi dalam mengatasi persoalan ini seharusnya tidak dipertahankan dalam jabatan.

Dalam regulasi yang berlaku, Wali Kota memiliki wewenang penuh untuk mengganti lurah. Namun, keputusan tersebut kerap terhambat oleh birokrasi yang ketat, tekanan politik, serta kepentingan tertentu yang membuat evaluasi kinerja tidak berjalan objektif.

“Pergantian lurah memang bukan perkara mudah. Ada berbagai faktor yang harus diperhitungkan, termasuk stabilitas pemerintahan dan resistensi politik dari berbagai pihak. Tetapi jika lurah terbukti gagal, tidak ada alasan untuk mempertahankannya,” beber Pindo.

Menurutnya, salah satu kelemahan sistem pemerintahan daerah adalah ketegasan kepala daerah dalam menindak pejabat yang tidak bekerja dengan baik. Walikota diharapkan tidak membiarkan kelurahan tetap dalam kondisi buruk.

“Wali Kota tidak boleh ragu. Jika ada lurah yang kinerjanya buruk, segera ganti dengan yang lebih kompeten. Kota ini butuh pemimpin yang mau bekerja, bukan sekadar pejabat yang duduk di belakang meja tanpa solusi,” tegasnya. 

Aktivis tersebut juga menyarankan agar sistem insentif berbasis kinerja diterapkan untuk meningkatkan motivasi para lurah dalam menjalankan tugasnya. Dengan memberikan penghargaan bagi lurah yang berhasil menciptakan lingkungan bersih, diharapkan muncul dorongan untuk bekerja lebih giat.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa tanpa pengawasan ketat, insentif justru bisa menjadi bumerang. Ada potensi manipulasi data atau sekadar pencitraan tanpa perubahan nyata di lapangan.

“Jika insentif diberikan, maka harus berbasis indikator yang jelas, seperti pengurangan titik pembuangan sampah liar dan peningkatan kepatuhan warga. Harus ada audit ketat untuk memastikan data yang dilaporkan benar-benar mencerminkan kondisi di lapangan,” jelasnya.

Selain insentif finansial, bentuk penghargaan lain seperti promosi jabatan, pelatihan eksklusif, dan peningkatan wewenang juga bisa menjadi dorongan bagi lurah untuk bekerja lebih optimal. Namun, di sisi lain, bagi lurah yang gagal, harus ada sanksi yang tegas.

“Sanksi bukan sekadar teguran atau peringatan, tetapi bisa berupa rotasi atau bahkan pencopotan jabatan. Kalau lurah dibiarkan bekerja tanpa target yang jelas dan tanpa konsekuensi atas kegagalan mereka, maka masalah sampah akan terus berulang,” tambahnya.

Selain menyoroti kinerja lurah, Pindo juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. Ia menilai bahwa kebijakan yang melibatkan warga secara aktif akan lebih efektif dibandingkan hanya mengandalkan aparat kelurahan.

“Pemerintah harus mengembangkan sistem partisipatif, berbasis insentif dan sanksi. Misalnya, memberikan penghargaan bagi RT atau RW yang aktif menjaga kebersihan, seperti pengurangan retribusi sampah atau program padat karya berbasis kebersihan. Sebaliknya, bagi warga yang melanggar aturan, harus ada denda atau sanksi kerja sosial,” paparnya.

Selain itu, masyarakat harus diberi akses untuk melaporkan pelanggaran, misalnya melalui aplikasi atau hotline pengaduan. Dengan cara ini, warga tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga ikut serta dalam mengawasi lingkungan sekitar mereka.

“Kita tidak bisa mengandalkan pemerintah saja. Masyarakat harus punya kesadaran dan insentif untuk ikut menjaga kebersihan. Jika ada sistem penghargaan dan sanksi yang jelas, maka budaya buang sampah sembarangan bisa ditekan secara signifikan,” katanya.

Persoalan kebersihan lingkungan bukan masalah sepele. Ini adalah cerminan dari kualitas kepemimpinan di tingkat kelurahan. Jika sebuah daerah masih dipenuhi sampah, maka ada yang salah dalam manajemen pemerintahannya.

Pindo menegaskan bahwa Wali Kota Metro harus segera mengambil langkah konkret. Evaluasi ketat terhadap kinerja lurah harus dilakukan secara transparan dan berbasis data yang akurat. Jika ditemukan lurah yang gagal menjalankan tugasnya, maka tidak ada alasan untuk tidak menggantinya.

“Metro butuh pejabat yang mau bekerja, dari level atas hingga kelurahan. Jika ada lurah yang hanya duduk diam dan tidak menyelesaikan masalah, maka Wali Kota harus berani mencopotnya. Tidak boleh ada toleransi bagi pejabat yang gagal menjalankan tanggung jawabnya,” tandasnya. (*)