Diskusi Publik Sebay Lampung, Soroti Ketidakadilan Hukum dan Diskriminasi yang Dihadapi Perempuan

Foto bersama peserta diskusi publik bertema Percepat Aksi Gerakan Perempuan Lawan Segala Sistem Pemiskinan di Café Kopi Legend, Bandar Lampung, Selasa 11 Maret 2025. Foto: Paulina/Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Solidaritas Perempuan (SP) Sebay Lampung
mengadakan diskusi publik bertema Percepat Aksi Gerakan Perempuan Lawan Segala
Sistem Pemiskinan di Café Kopi Legend, Bandar Lampung, pada Selasa 11 Maret
2025. Acara ini digelar dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional
dan dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk akademisi, komunitas perempuan,
serta organisasi sosial yang menaruh perhatian terhadap isu kesetaraan gender
dan keadilan ekonomi.
Dalam diskusi tersebut, berbagai persoalan yang dihadapi perempuan di
Lampung terungkap, mulai dari perampasan lahan, diskriminasi ekonomi, hingga
keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar. Salah satu peserta, Asmawati,
warga Sabah Balau, mengungkapkan bahwa masyarakat di daerahnya kehilangan
sumber penghidupan akibat perampasan lahan perikanan dan perkebunan.
“Kami kehilangan ruang hidup dan penghidupan, sementara sampai sekarang
tidak ada kejelasan hukum atas masalah ini. Kami masih menunggu keadilan,”
ujarnya.
Perempuan nelayan juga mengalami kesulitan dalam mendapatkan hak-hak
mereka. Elly, seorang perwakilan perempuan nelayan dari pesisir Cungkeng,
mengungkapkan bahwa dirinya mengalami diskriminasi saat hendak membeli gas LPG
3 kg.
“Saya tidak tahu mengapa saya dilarang membeli LPG 3 kg, padahal tidak ada
aturan jelas yang melarang perempuan nelayan mendapatkannya,” katanya.
Ia juga menyebutkan bahwa status perempuan nelayan masih sulit diakui
secara administratif.
“Kami masih terus memperjuangkan pengakuan status perempuan nelayan karena
ada banyak kendala dalam proses administrasi,” tambahnya.
Selain itu, harga jual ikan teri yang rendah menjadi tantangan tersendiri
bagi para nelayan perempuan.
“Harga ikan teri hanya Rp50 ribu per keranjang, padahal biaya operasional
kami lebih besar dari itu. Ini tidak cukup untuk menopang kehidupan kami,”
keluhnya.
Selain menghadapi tantangan ekonomi, perempuan pesisir juga harus
berhadapan dengan permasalahan lingkungan yang semakin memperburuk kondisi
mereka.
“Sampah yang menumpuk membuat wilayah kami sering banjir. Ini bukan hanya
masalah lingkungan, tetapi juga berdampak pada kesehatan dan ekonomi kami,
terutama perempuan yang mengelola rumah tangga,” ujar salah satu peserta
diskusi.
Dalam sesi diskusi, Amnesty Amalia Utami selaku Koordinator Program SP
Sebay Lampung menegaskan bahwa perempuan masih menghadapi beban berlapis akibat
sistem yang belum berpihak kepada mereka.
“Budaya patriarki membuat perempuan harus menjalankan peran domestik
sekaligus mencari nafkah. Ini menambah beban yang mereka tanggung,”
ujarnya.
Ia juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang memperparah ketimpangan
sosial.
“Kebijakan seperti mekanisasi pertanian, proyek strategis nasional, dan
Omnibus Law hanya memperbesar kesenjangan sosial. Dampaknya sangat terasa bagi
buruh migran,” tegasnya.
Ketua BEK SP Sebay Lampung, Reni Yuliana Meutia, menilai bahwa kebijakan
yang ada belum mempertimbangkan kebutuhan perempuan dan kelompok rentan.
“Akses terhadap sumber daya alam masih belum merata. Banyak perempuan dan
penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan hak mereka,” katanya.
Ia juga menyoroti dampak pemiskinan struktural terhadap perempuan.
“Kondisi ini membuat perempuan semakin rentan terhadap kekerasan dalam
rumah tangga, stunting akibat kurangnya gizi, serta pernikahan anak yang masih
sering terjadi,” ungkapnya.
Beberapa kebijakan pemerintah juga dikritisi dalam diskusi ini. Salah satu
peserta menyebutkan bahwa proyek Geothermal di Lampung Selatan dan Bendungan
Marga Tiga di Lampung Timur berdampak buruk pada lingkungan dan mata
pencaharian masyarakat.
“Kami kehilangan tanah dan sumber penghidupan karena proyek ini, tapi kami
tidak diberi solusi yang jelas,” ujar peserta tersebut.
Di sektor ketenagakerjaan, buruh migran asal Lampung yang jumlahnya
mencapai 25 ribu orang juga belum mendapatkan perlindungan yang layak.
“Mereka berkontribusi besar pada devisa negara, tetapi perlindungan hukum
bagi mereka masih lemah,” kata salah satu peserta diskusi.
Ketua Lamban Puan, Sely Fitriani, menyoroti keterbatasan akses perempuan
terhadap administrasi kependudukan, jaminan kesehatan, serta perlindungan
tenaga kerja.
“Perempuan pekerja domestik masih mengalami diskriminasi. Hingga saat ini,
mereka belum mendapatkan perlindungan hukum yang layak,” tegasnya.
Dalam aspek hukum, akademisi Yulia Hesti menjelaskan bahwa meskipun sudah
ada regulasi yang menjamin hak perempuan, pelaksanaannya masih banyak
menghadapi kendala.
“Undang-undang seperti UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.
12/2022 tentang Perlindungan Kekerasan Seksual memang sudah ada, tetapi
implementasinya masih lemah,” katanya.
Ia juga menyoroti kendala dalam akses perempuan terhadap keadilan.
“Minimnya sosialisasi kebijakan dan masih kuatnya bias gender dalam sistem
hukum membuat perempuan kesulitan mendapatkan hak mereka,” ungkapnya.
Melalui diskusi ini, SP Sebay Lampung berharap dapat mempercepat aksi nyata
dalam melawan sistem pemiskinan yang masih menjerat perempuan.
“Kami ingin kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada kesejahteraan
perempuan,” pungkas Yulia.
Para peserta diskusi menekankan bahwa perjuangan perempuan dalam menghadapi
ketidakadilan struktural memerlukan dukungan kolektif serta keterlibatan aktif
di berbagai sektor agar hak-hak mereka benar-benar bisa terpenuhi. (*)
Berita Lainnya
-
PLN - Pindad Sinergi Kembangkan Pembangkit Listrik Bersih Untuk Wilayah 3T
Rabu, 12 Maret 2025 -
Hadapi Angkutan Lebaran 2025, KAI Divre IV Tanjungkarang Tambah Rangkaian Kereta Rajabasa
Rabu, 12 Maret 2025 -
Residivis Asal Lamteng Ditangkap Polisi Usai Gasak Motor di Bandar Lampung
Rabu, 12 Maret 2025 -
Kementan Targetkan Hilirisasi Singkong di Lampung dengan Produksi 3.000 Hektare untuk Tepung Mocaf dan Bioetanol
Rabu, 12 Maret 2025