• Senin, 10 Maret 2025

Pengamat Hukum: Dugaan Pengurangan Volume MinyaKita Harus Diusut Tuntas

Senin, 10 Maret 2025 - 16.51 WIB
39

Pengamat Hukum yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung, Dr. Benny Karya Limantara, S.H., M.H.,. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Polemik dugaan pengurangan volume dalam kemasan minyak goreng MinyaKita terus menjadi sorotan publik. Inspeksi Menteri Pertanian di Pasar Lenteng Agung pada 9 Maret 2025 menemukan bahwa minyak goreng bersubsidi tersebut hanya memiliki volume 750 hingga 800 mililiter dalam kemasan yang seharusnya berisi 1 liter.

Hal ini memunculkan pertanyaan besar mengenai pengawasan distribusi dan kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan.

Pengamat Hukum yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung, Dr. Benny Karya Limantara, S.H., M.H., menilai bahwa dugaan pengurangan volume ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah.

Ia menegaskan bahwa jika distributor terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Nasional Indonesia (SNI), sanksi pidana lima tahun penjara dan denda Rp5 miliar dapat dikenakan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Selain itu, pelaku usaha yang tidak mematuhi ketentuan harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita juga dapat dikenai pidana penjara maksimal lima tahun atau denda hingga Rp2 miliar, sesuai dengan Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Namun, Dr. Benny menekankan bahwa delik dalam UU Perlindungan Konsumen bersifat delik aduan, yang berarti proses hukum baru bisa berjalan jika ada masyarakat yang melaporkan kerugian yang dialami.

Menurutnya, lemahnya pengawasan menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan pelanggaran semacam ini terus terjadi.

"Saya kira pemerintah masih lemah dalam pengawasan karena kurangnya ketegasan dari petugas. Selain itu, ada indikasi kerja sama dengan pihak yang melanggar regulasi,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya penguatan regulasi untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Salah satu langkah awal yang harus diambil pemerintah adalah menyusun naskah akademik yang nantinya dapat dijadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) dan disahkan menjadi undang-undang.

Dr. Benny menekankan bahwa pengesahan RUU Perampasan Aset dapat menjadi dasar hukum yang lebih kuat dalam menindak kasus-kasus yang merugikan masyarakat dan negara.

Dari sisi perlindungan konsumen, dampak dugaan pengurangan volume ini dinilai sangat besar, terutama bagi masyarakat kecil yang bergantung pada minyak goreng bersubsidi.

"MinyakKita adalah kebutuhan pokok yang mendapat subsidi pemerintah. Jika terjadi kecurangan dalam distribusinya, masyarakat kecil yang paling dirugikan,” jelasnya.

Tantangan dalam penegakan hukum terhadap kasus ini, menurutnya, berasal dari adanya oknum pemerintah yang diduga bekerja sama dengan pelaku usaha. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya memperketat pengawasan, baik dari lembaga internal maupun eksternal.

“Faktor utama untuk menertibkan kasus semacam ini adalah pendisiplinan terhadap aparat yang terlibat langsung dalam pengawasan, serta keberanian untuk memproses hukum jika terdapat dua alat bukti permulaan yang cukup,” tambahnya.

Kasus ini menjadi ujian bagi pemerintah baru dalam menegakkan hukum secara tegas. Dr. Benny berharap agar pemerintah lebih fokus pada penegakan hukum terhadap pelanggaran yang merugikan masyarakat dan negara.

"Segala bentuk tindak pidana yang merugikan negara dan masyarakat harus menjadi fokus utama dalam upaya penegakan hukum ke depan,” tutupnya.

Kasus dugaan pengurangan volume MinyaKita ini masih terus bergulir. Masyarakat diharapkan tetap waspada dan melaporkan jika menemukan indikasi kecurangan agar kasus ini bisa diproses lebih lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku. (*)