• Kamis, 06 Maret 2025

Buntut Konflik Harimau dan Manusia, Warga Penggarap Diberi Waktu Dua Minggu Tinggalkan Kawasan TNBBS

Rabu, 05 Maret 2025 - 15.21 WIB
321

Peratin (Kepala Desa) Sukamarga, Kecamatan BNS, Jaimin, saat diwawancarai terkait rencana relokasi warga yang berkebun di area Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Rabu (5/3/2025). Foto: Echa/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Lampung Barat - Sejumlah masyarakat yang memanfaatkan Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai lahan perkebunan di wilayah Kecamatan Suoh dan Bandar Negeri Suoh (BNS), diminta meninggalkan kawasan dalam waktu dua minggu ke depan buntut konflik antara harimau dan manusia.

Peratin (Kepala Desa) Sukamarga, Kecamatan Suoh, Jaimin mengatakan, dalam beberapa waktu terakhir, petugas gabungan yang terdiri dari TNI dan Kehutanan sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar segera meninggalkan lahan yang digarap.

"Untuk informasi secara tertulis memang belum disampaikan, tetapi beberapa hari ini sudah ada sosialisasi dari pihak TNI dan Kehutanan terkait masyarakat yang berkebun di taman nasional. Mereka mengimbau agar segera mengosongkan wilayah tersebut dalam tempo dua minggu," kata Jaimin, saat diwawancarai, Rabu (5/3/2025).

"Sosialisasi terkait pengosongan lahan tersebut telah dilakukan di wilayah Pekon (Desa) Hantatai dan Tembelang, Kecamatan Bandar Negeri Suoh (BNS). Ada kemungkinan di pekon kami, Sukamarga, Kecamatan Suoh, juga akan dilakukan," sambungnya.

Jaimin menambahkan, 40 persen masyarakat Pekon Sukamarga, Kecamatan Suoh, adalah petani yang membuka lahan di kawasan taman nasional. Namun, di beberapa pekon, warga bahkan mendirikan pemukiman sebagai tempat tinggal di area hutan kawasan.

"Memang ada masyarakat yang berkebun di hutan kawasan nasional. Kalau untuk yang tinggal secara permanen memang tidak ada, tetapi yang berkebun di sana ada. Hampir 40 persen masyarakat Sukamarga melakukan aktivitas berkebun di hutan kawasan nasional, tapi kalau di Tembelang memang ada yang bermukim di hutan kawasan," imbuhnya.

Jaimin berharap, meskipun masyarakat harus meninggalkan area kawasan taman nasional, ada solusi yang konkret dari pihak terkait agar masyarakat terdampak memiliki langkah baru dalam melanjutkan hidup, terutama bagi warga yang menggantungkan hidup dari berkebun.

"Harapannya, tentu kami selaku pemerintah atau masyarakat berharap jika memang akan ada penertiban, bisa dilakukan dengan langkah-langkah awal melalui sosialisasi dan tahapan-tahapan, karena ada warga kami yang berkebun di sana hanya untuk menyambung hidup," jelasnya.

Terlebih, kata Jaimin, masyarakat Sukamarga yang berkebun di hutan kawasan bukan baru-baru ini, tetapi sudah sejak 20 hingga 30 tahun yang lalu, sebelum terbitnya aturan-aturan baru yang mengharuskan masyarakat meninggalkan area kawasan hutan yang sudah mereka kelola selama ini.

"Harapan kami, karena masyarakat kami hanya menggantungkan hidupnya dari situ, ketika nanti ada penertiban harus ada tahapan sehingga masyarakat bisa berkemas atau mencari tempat yang baru, sehingga ada solusinya," pungkasnya.

Menanggapi hal tersebut, Bupati Lampung Barat, Parosil Mabsus, meminta masyarakat agar tidak merasa cemas dan khawatir. Pemerintah akan membantu mencarikan solusi terkait persoalan tersebut agar ada jalan keluar terbaik.

"Masyarakat tidak perlu cemas atau takut. Pemerintah harus menyiapkan solusi sebelum melakukan tindakan apa pun. Pemerintah tidak bisa memindahkan atau mengusir masyarakat tanpa solusi yang berimbang," ujarnya.

Parosil juga menegaskan komitmennya untuk mencari solusi terbaik bagi masyarakat di dua kecamatan tersebut. "Kami akan berusaha mencari jalan terbaik agar kepentingan masyarakat dan pemerintah bisa seimbang. Masyarakat yang ada di sini hanya mencari penghidupan," katanya.

Pemerintah daerah berjanji akan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan pihak terkait, termasuk TNI dan Dinas Kehutanan, untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak merugikan masyarakat. (*)