• Rabu, 12 Februari 2025

Pengamat: Pemprov Lampung Lemah Kelola Aset hingga Diduduki Warga Puluhan Tahun

Rabu, 12 Februari 2025 - 14.12 WIB
51

Pengamat Ekonomi dari Lampung Central Urban and Regional Studies (CURS), Erwin Oktavianto. Foto: Ist

Sri

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung mulai melakukan penertiban aset di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan, serta Kelurahan Sukarame, Bandar Lampung, pada Rabu (12/2/2025).

Langkah ini merupakan upaya pemerintah untuk mengamankan aset-aset milik daerah yang selama ini dikuasai masyarakat tanpa legalitas yang jelas. 

Penertiban tersebut dilakukan setelah melalui proses panjang, termasuk mediasi dan sosialisasi kepada warga terkait status lahan. Namun, langkah ini masih menuai protes dari sebagian warga yang mengaku telah bermukim di lokasi tersebut selama puluhan tahun. 

Pengamat Ekonomi dari Lampung Central Urban and Regional Studies (CURS), Erwin Oktavianto, menegaskan bahwa persoalan ini tidak bisa dilihat dari sudut pandang penertiban aset semata. Menurutnya, pemerintah perlu lebih bijak dalam mengambil keputusan agar tidak menimbulkan dampak sosial yang merugikan warga. 

"Optimalisasi aset pemerintah memang penting, tetapi jangan lupa mempertimbangkan pondasi sosial ekonomi warga. Kebijakan harus dibuat dengan adil, terutama bagi warga yang telah lama tinggal di lahan tersebut. Dialog dan mediasi harus dikedepankan sebelum mengambil langkah tegas," ujar Erwin. 

Erwin juga menyoroti adanya kelalaian pemerintah dalam pengawasan aset, yang menyebabkan munculnya surat-surat kepemilikan ganda terlepas itu legal atau tidak. Ia menyebutkan bahwa kelurahan dan instansi terkait seringkali kurang optimal dalam melakukan inventarisasi dan pengamanan dokumen aset milik daerah. 

"Masalah seperti ini menunjukkan adanya kelemahan dalam tata kelola aset pemerintah. Pengawasan yang tidak maksimal membuat lahan tersebut bisa ditempati warga hingga puluhan tahun," tambahnya. 

Permasalahan ini rupanya sudah berlangsung cukup lama. Akademisi dan pengamat ekonomi dari Universitas Lampung (Unila), Asrian Hendi Cahya, menyebutkan bahwa konflik ini telah terjadi sejak tiga periode gubernur sebelumnya. Menurutnya, ada kesan pembiaran dari pemerintah yang membuat masalah ini semakin rumit dan kompleks. 

"Pemerintah harusnya sejak awal mengamankan aset dengan baik. Inventarisasi harus dilakukan secara berkala dan didukung dengan dokumen resmi yang kuat. Namun yang terjadi, aset-aset tersebut dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan ketat," kata Asrian. 

Ia juga menyoroti perilaku sebagian masyarakat yang dinilai kurang taat hukum.

"Ada masyarakat yang memanfaatkan situasi untuk mendapatkan lahan dengan harga murah, meskipun legalitas kepemilikannya belum jelas. Ini menciptakan potensi sengketa yang terus berulang," tegasnya. 

Asrian menambahkan, pemerintah sebenarnya telah menawarkan ganti rugi atau mekanisme jual beli sebagai solusi. Namun, banyak warga menolak karena merasa telah lama menghuni lahan tersebut, sehingga mereka menganggap lahan itu sudah menjadi hak mereka. 

Dalam pandangan Asrian, bila belum tuntas proses  hukumnya sebaiknya eksekusi menunggu hingga putusan hukum berkekuatan tetap (inkrah) untuk menghindari konflik lebih besar.

"Pemerintah harus bersikap tegas, tetapi juga memberikan kesempatan kepada warga untuk bernegosiasi. Relokasi yang layak bisa menjadi solusi, dan pemerintah bisa menjembatani masyarakat dengan lembaga keuangan agar mereka bisa memenuhi kewajibannya," ujarnya. 

Menurutnya, langkah persuasif sangat penting agar warga tidak merasa terpinggirkan. Banyak warga yang sebenarnya ingin menyelesaikan masalah ini, tetapi mereka membutuhkan waktu dan bantuan, terutama akses ke fasilitas pendanaan.

"Tetap diberikan kepada masyarakat kesemptan memprosesnya dengan tawaran yang "ramah" sesuai dengan kapasitas dan kemanpuan masyarakat. disamping memberikan akses kepada lembaga keuangan untuk menjembataninya," tandasnya. (*)