• Rabu, 12 Februari 2025

Penertiban di Sabah Balau dan Sukarame Baru, DPRD Lampung Serukan Pendekatan Humanis

Rabu, 12 Februari 2025 - 10.40 WIB
132

Potret ketegangan antara warga yang menolah penggusuran dan petugas Satpol PP, di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kelurahan Sukarame, Bandar Lampung Rabu (12/2/2025). Foto: Yudha/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Suasana di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kelurahan Sukarame, Bandar Lampung, mulai berangsur kondusif setelah upaya penertiban dilakukan oleh petugas Satpol PP, Rabu (12/2/2025).

Ratusan petugas dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Polda Lampung terlihat berbaris rapi menuju lokasi penertiban. Warga yang tinggal di lahan tersebut diimbau untuk segera mengosongkan wilayah yang diklaim milik Pemerintah Provinsi Lampung. Di sisi lain, sejumlah warga mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik mereka. Sejumlah alat berat juga telah dikerahkan untuk proses eksekusi.

"Pak Prabowo, tolong kami!" teriak sejumlah warga yang berupaya menahan laju petugas.

Jamal (55), warga Sukarame Baru, mengenakan kaos bertuliskan "Prabowo" serta topi, memegang berkas di tangannya, menceritakan bahwa ada beberapa warga yang menerima kompensasi sebesar Rp2,5 juta untuk mengosongkan rumahnya.

"Sudah ada 4 orang yang menerima uang Rp2,5 juta untuk pindah. Tapi masih ada sekitar 56 orang yang menolak," ungkap Jamal.

Jamal juga menegaskan bahwa surat-surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Lampung tidak sah dan tidak memiliki tanda tangan resmi. Ia juga mengaku bahwa warga Sukarame Baru telah mengalami intimidasi sejak tahun 2012.

"Kami merasa sangat tertekan, anak-anak kami juga merasakan dampaknya. Tidak ada dasar hukum yang jelas dari pihak Pemprov," ujarnya.

Lebih lanjut, Jamal menjelaskan bahwa pada tahun 1985, tanah tersebut diserahkan oleh karyawan perusahaan PTPN 7 untuk digarap, namun pada tahun 1997 muncul surat dari Pemprov Lampung yang mengklaim lahan tersebut.

"Tiba-tiba, tahun 1997, ada surat dari Pemprov yang mengklaim lahan ini," jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa setelah itu, tanah tersebut diserahkan kembali kepada warga yang telah menempati wilayah tersebut. "Tanah ini dikembalikan kepada warga," tegas Jamal.

Di tengah ketegangan, penegak hukum terus bergerak maju, sementara warga berusaha menahan laju petugas, menyebabkan aksi dorong-dorongan. Beberapa warga bahkan jatuh pingsan akibat kericuhan tersebut.

Ketua DPRD Provinsi Lampung, Ahmad Giri Akbar, menyerukan agar proses penertiban dilakukan secara humanis.

"Saya berharap tindakan ini dilakukan dengan pendekatan humanis. Setahu saya, ini adalah polemik yang sudah berlangsung lama," ujar Giri.

Ia juga menegaskan bahwa proses penertiban harus mengedepankan aspek kemanusiaan dan mematuhi peraturan yang berlaku.

"Saya harap semuanya berjalan sesuai aturan dan tetap mengedepankan kemanusiaan," tutupnya. (*)