• Selasa, 04 Februari 2025

30 Kampus Swasta di Lampung Belum Terakreditasi A dan B, Ini Kata Pakar Pendidikan Unila

Selasa, 04 Februari 2025 - 11.56 WIB
44

Pakar pendidikan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung (Unila) Prof. Undang Rosidin

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pendidikan tinggi di Provinsi Lampung kembali menjadi sorotan publik mengenai mutu dan kualitasnya.

Diakses dari laman pddikti.kemdiktisaintek.go.id, dari 63 perguruan tinggi swasta (PTS) yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), hanya 33 kampus yang berhasil meraih akreditasi A dan B.

Sementara itu, 30 kampus lainnya masih memiliki akreditasi di bawah kategori tersebut, sehingga menimbulkan pertanyaan terkait mutu pendidikan yang ditawarkan.

Menanggapi hal itu, pakar pendidikan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung (Unila) Prof. Undang Rosidin menilai, akreditasi sangat bergantung pada ketersediaan sarana dan prasarana di perguruan tinggi.

"Kalau perguruan tinggi itu asal muncul dan hadir, tentu sulit untuk mendapatkan akreditasi yang baik. Makanya, akreditasi merupakan salah satu proses untuk menentukan apakah perguruan tinggi tersebut layak atau tidak,” ujar Prof. Undang, Selasa, (4/2/2025).

Menurutnya, akreditasi tidak boleh dihilangkan, justru harus diperkuat untuk memastikan perguruan tinggi yang ada benar-benar memenuhi standar yang ditetapkan.

"Kalau sekarang banyak perguruan tinggi bermunculan, itu tidak bisa dilarang. Hakikat pendidikan itu melibatkan pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Jika masyarakat ingin berkontribusi dalam pendidikan tinggi, itu sah-sah saja, tetapi pemerintah harus turun tangan untuk menjamin mutu perguruan tinggi tersebut melalui akreditasi,” jelasnya.

Prof. Undang juga menegaskan bahwa akreditasi menjadi syarat penting bagi lulusan untuk masuk ke dunia kerja.

"Kalau kampus belum terakreditasi, maka akan berisiko bagi lulusannya. Kenapa belum terakreditasi? Karena belum memenuhi standar yang ditetapkan,” tambahnya.

Ia juga menyoroti fenomena meningkatnya minat masyarakat untuk menguliahkan anak-anak mereka. Namun, banyak perguruan tinggi swasta yang berdiri tanpa kesiapan yang matang, terutama di daerah.

"Perguruan tinggi yang ada sekarang ini kebanyakan berada di kota. Seiring dengan meningkatnya permintaan dari masyarakat, kampus-kampus mulai berdiri di daerah, meskipun kesiapan mereka belum optimal,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa meskipun pendidikan seharusnya bersifat sosial, faktor biaya tetap menjadi aspek yang tidak bisa dihindari.

"Biaya dalam pendidikan itu hal yang wajar. Namun, jangan sampai persaingan bisnis mengorbankan kualitas. Jangan sampai lulusan dirugikan karena kampusnya belum menyelesaikan proses akreditasi,” tegasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya yayasan yang menaungi perguruan tinggi agar dapat berkembang secara berkelanjutan.

"Perguruan tinggi yang ditangani oleh yayasan yang kuat akan lebih mudah berkembang. Contohnya, Perguruan Tinggi Mego Pak Tulangbawang yang dikelola oleh pemerintah daerah, sulit berkembang sampai tutup. Berbeda dengan kampus yang dikelola oleh yayasan yang jelas, mereka lebih terlihat perkembangannya,” ungkapnya.

Menurutnya, banyak perguruan tinggi yang akhirnya tutup karena yayasan atau lembaga pengelolanya tidak memiliki kejelasan.

"Perguruan tinggi yang tutup itu kebanyakan karena yayasannya tidak jelas atau tidak memiliki dukungan yang kuat,” tandasnya. (*)