• Jumat, 31 Januari 2025

Pengamat: Membuka Keran Impor Tapioka Hanya Untungkan Mafia

Rabu, 29 Januari 2025 - 14.12 WIB
85

Pakar ekonomi publik Universitas Lampung, Prof. Marselina. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Permasalahan harga singkong semakin berlarut-larut, setelah terungkap kalau banyak perusahaan yang menolak membeli singkong petani dengan harga yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Hal ini pun menyedot perhatian pemerintah pusat, dalam hal ini adalah, Kementerian Pertanian (Kementan) yang berencana memanggil sejumlah pihak terkait anjloknya harga singkong yang dikeluhkan petani di Lampung, Jumat 31 Januari 2025 nanti.

Saat dimintai keterangan, Pakar ekonomi publik Universitas Lampung, Prof. Marselina, mengatakan bahwa penurunan harga singkong bisa disebabkan oleh dua faktor utama, yakni kelebihan pasokan atau minimnya permintaan. Ia menekankan bahwa pemerintah harus lebih bijak dalam mengelola kebijakan impor agar tidak merugikan petani lokal.

"Komoditas pertanian seperti singkong memiliki masa panen tertentu. Seharusnya, sebelum panen tiba, pemerintah tidak membuka keran impor tapioka. Jika dibiarkan, dikhawatirkan mafia impor justru diuntungkan," ujar Marselina, Rabu (29/1/25).

Menurutnya, pemerintah juga perlu menyiapkan anggaran dari APBN atau APBD untuk membeli dan membantu pemasaran singkong saat masa panen. Jika hanya sekadar mengeluarkan imbauan tanpa kebijakan konkret, persoalan harga singkong akan terus berulang dan berpotensi membuat petani enggan menanam lagi.

"Pemerintah harus lebih serius menangani ini. Jangan sampai petani kecewa dan berhenti menanam. Jika itu terjadi, kita justru akan semakin bergantung pada impor," tegasnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, Asrian Hendi Caya, menilai bahwa persoalan anjloknya harga singkong tidak bisa hanya dibebankan pada Kementerian Pertanian. Menurutnya, kebijakan lintas kementerian perlu disinkronkan agar sektor pertanian, khususnya komoditas singkong, memiliki ekosistem ekonomi yang sehat.

"Semua pihak harus dilibatkan. Kementerian Perdagangan harus mengevaluasi kebijakan impor agar barang yang bisa diproduksi dalam negeri, seperti tepung tapioka dan jagung, tidak mematikan industri dan pertanian lokal," ujar Asrian.

Selain itu, Kementerian Perindustrian juga memiliki peran dalam meningkatkan daya saing industri tepung tapioka dengan menekan biaya produksi. Menurutnya, jika biaya produksi dapat ditekan, maka industri dalam negeri akan lebih kompetitif tanpa harus bergantung pada impor.

"Kementerian Pertanian juga harus mencari cara untuk meningkatkan produktivitas singkong dan menekan biaya produksi di tingkat petani. Jika produktivitas meningkat dengan biaya yang lebih efisien, petani tidak akan terlalu terpukul saat harga turun," tambahnya.

Di sisi lain, Asrian menyoroti peran Kementerian Keuangan dalam mengatur pajak dan bea impor. Ia menilai kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada industri tepung tapioka perlu dievaluasi agar daya saing produk dalam negeri meningkat. Selain itu, ia juga menyoroti kebijakan impor terigu yang saat ini bebas bea masuk.

"Seharusnya tepung singkong yang bisa menjadi substitusi terbatas untuk terigu juga dibebaskan dari PPN agar industri tapioka dalam negeri lebih memiliki daya saing," ujarnya.

Asrian menegaskan bahwa ekosistem ekonomi singkong harus dibangun secara sehat. Ia mengingatkan agar industri singkong tidak hanya terkonsentrasi pada tepung tapioka, karena jika hal itu terjadi, maka akan berpotensi memunculkan praktik oligopoli yang merugikan petani.

"Pohon industri singkong harus tumbuh secara berimbang. Jangan hanya bergantung pada tepung tapioka, karena itu bisa berujung pada dominasi pasar oleh segelintir pihak," tandasnya. (*)