• Kamis, 30 Januari 2025

Mekanisme Pasar yang Dikendalikan Pabrik Besar Tidak Adil Bagi Petani Singkong

Rabu, 29 Januari 2025 - 15.17 WIB
104

Pengamat Ekonomi sekaligus Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung (Unila), Usep Syaifudin. Foto: Kupastuntas.co

Sri

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Polemik harga singkong di Lampung kembali mencuat. Petani mengeluhkan anjloknya harga jual, sementara harga tepung tapioka justru stabil atau cenderung naik.

Pengamat Ekonomi sekaligus Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung (Unila), Usep Syaifudin, menilai bahwa struktur pasar industri singkong di Indonesia masuk dalam kategori oligopsoni, di mana hanya beberapa pabrik besar yang mengendalikan harga. 

"Pasar oligopsoni ditandai dengan dominasi beberapa pembeli utama, sementara petani harus bersaing menjual produk mereka. Akibatnya, harga lebih banyak ditentukan oleh pabrik, bukan mekanisme pasar yang adil," kata Usep, Rabu (29/1/25). 

Salah satu faktor utama yang membuat petani semakin terhimpit adalah produktivitas singkong yang rendah. Rata-rata hasil panen petani Lampung hanya 25-30 ton per hektar, jauh di bawah Thailand yang mampu mencapai 50 ton lebih per hektar.

Dengan biaya produksi yang tinggi, ketika harga singkong turun, petani tidak bisa menutupi modalnya. 

"Harga singkong di Thailand rendah bukan karena petani dirugikan, tapi karena mereka lebih produktif. Sementara di Indonesia, dengan harga yang sama, petani kita justru rugi," jelas Usep. 

Saat ini, pemerintah telah menetapkan harga dasar singkong di Lampung sebesar Rp1.400 per kilogram. Namun, kebijakan ini sulit dijalankan jika pabrik memilih untuk tidak membeli dari petani dengan alasan biaya produksi yang meningkat. 

"Kalau pabrik tidak mau membeli, petani tetap dirugikan. Mereka terpaksa menjual dengan harga lebih rendah daripada membiarkan singkong membusuk," ujar Usep. 

Ia juga menyoroti kejanggalan dalam rantai distribusi. Harga tepung tapioka yang dihasilkan dari singkong terus mengalami kenaikan, sedangkan harga bahan bakunya justru turun.

"Ini ada sesuatu yang harus diperiksa. Jika harga tepung tapioka tidak pernah turun, kenapa harga singkong selalu ditekan?" tegasnya. 

Menurut Usep, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengatasi permasalahan ini, antara lain peningkatan produktivitas petani.

Pemerintah bisa bekerjasama dengan perguruan tinggi dengan harus fokus pada pembinaan petani, pemilihan bibit unggul, dan teknik pemupukan yang lebih efektif. 

Kemudiqn kebijakan impor bahan baku singkong perlu dikaji ulang agar tidak merugikan petani lokal. Dan pemerintah harus lebih aktif dalam mengawasi mekanisme harga di industri singkong dan tapioka. 

"Pabrik juga produksinya di Lampung, seharusnya win win solution tidak hanya memikirkan untuk untung sendiri karena ini menyantkut hajat hidup orang banyak, " jelasnya.

Kemudian pemerintah harus duduk bersama dengan pelaku industri untuk mencari solusi yang adil bagi semua pihak. 

"Jika pemerintah serius, masalah ini tidak sulit diselesaikan. Yang penting ada kesepakatan bersama agar petani tidak terus dirugikan," tutup Usep. (*)