Deep Learning VS Kurikulum 2013: Menuju Pembelajaran yang Lebih Bermakna, Oleh: Dr. Koderi, M.Pd
Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Konsep Deep Learning dalam Pendidikan
Pendidikan modern semakin memperhatikan konsep deep learning sebagai pendekatan yang menekankan pemahaman mendalam, berpikir kritis, dan penerapan ilmu dalam berbagai konteks. Para ahli pendidikan, seperti Jean Piaget dan Lev Vygotsky, telah mengembangkan teori yang mendukung pendekatan ini.
Jean Piaget melalui teori Constructivism menegaskan bahwa siswa membangun
pemahaman melalui pengalaman, sedangkan Lev Vygotsky melalui teori Zone of
Proximal Development menekankan pentingnya interaksi sosial dalam proses
belajar. Oleh karena itu, deep learning bertujuan menciptakan pembelajaran yang
lebih bermakna, relevan, dan transformatif.
Struktur Kurikulum: Fleksibilitas VS Standarisasi
Perbedaan utama antara deep learning dan Kurikulum 2013 (K13) terletak pada struktur kurikulumnya. Pemerintah telah menetapkan K13 sebagai kurikulum dengan standar kompetensi yang ketat, menggunakan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) sebagai acuan utama. Melalui pendekatan saintifik, K13 mengarahkan siswa untuk mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan konsep yang dipelajari.
Namun, dalam praktiknya,
pembelajaran sering kali terjebak dalam pencapaian standar yang telah
ditentukan, sehingga eksplorasi siswa menjadi terbatas. Sebaliknya, deep learning
lebih fleksibel karena menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan serta minat
siswa. Dengan demikian, kurikulum berbasis deep learning memungkinkan
pembelajaran yang lebih kontekstual dan dinamis, selaras dengan keterampilan
abad 21 yang menekankan Critical Thinking, Creativity, Collaboration, dan
Communication (4C).
Peran Guru dan Siswa
dalam Pembelajaran
Guru dalam K13 berperan sebagai fasilitator yang membimbing siswa melalui pendekatan saintifik. Pemerintah telah menetapkan peran ini agar siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Namun, dalam praktiknya, guru sering kali masih menerapkan metode instruksional dengan fokus utama pada pencapaian kompetensi yang telah ditentukan. Berbeda dengan K13, deep learning menempatkan guru sebagai pemantik pemikiran yang mendorong siswa untuk lebih mandiri dalam mengeksplorasi ide, berdiskusi, dan menemukan solusi atas permasalahan nyata.
David Kolb melalui teori Experiential Learning menekankan bahwa pembelajaran
lebih efektif jika berbasis pada pengalaman langsung yang melibatkan proses
refleksi, abstraksi, dan penerapan dalam situasi nyata. Oleh karena itu, deep
learning mendorong siswa untuk lebih aktif dalam berpikir dan mengambil
inisiatif dalam proses belajar.
Evaluasi Pembelajaran: Kuantitatif VS Autentik
Pemerintah melalui K13 telah menetapkan kombinasi penilaian formatif, sumatif, serta asesmen sikap dan keterampilan sebagai sistem evaluasi pembelajaran. Namun, dalam praktiknya, banyak penilaian yang masih berorientasi pada hasil akhir berupa angka atau skor, sehingga kurang memberikan apresiasi terhadap proses berpikir kritis siswa.
Sebaliknya, deep learning lebih
menekankan pada evaluasi autentik melalui portofolio, proyek berbasis masalah,
dan asesmen reflektif. Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya diuji dalam hal
penguasaan materi, tetapi juga dalam kemampuan mereka menerapkan ilmu dalam
berbagai situasi nyata.
Integrasi Teknologi dalam Pembelajaran
Teknologi dalam deep learning berperan sebagai alat eksplorasi dan inovasi yang memungkinkan siswa berpikir kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah. Howard Gardner melalui teori Multiple Intelligences menekankan bahwa setiap siswa memiliki kecerdasan yang beragam dan dapat menggunakan teknologi untuk mengembangkan potensinya masing-masing.
Sementara
itu, K13 juga membuka peluang penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Namun,
dalam praktiknya, teknologi dalam K13 lebih sering berfungsi sebagai alat bantu
pengajaran daripada sebagai media eksplorasi yang aktif. Oleh karena itu, deep
learning lebih maju dalam pemanfaatan teknologi dibandingkan K13.
Refleksi: Menuju Pembelajaran yang Lebih Bermakna
Pemerintah telah merancang K13 untuk mendorong pembelajaran bermakna. Namun, implementasi di lapangan masih terhambat oleh struktur birokrasi yang kaku, sehingga ruang inovasi dalam pembelajaran menjadi terbatas. Deep learning menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel, berpusat pada siswa, dan lebih kontekstual dengan kebutuhan dunia nyata.
Jika sistem
pendidikan di Indonesia ingin berkembang lebih jauh dalam menyiapkan generasi
yang mampu menghadapi tantangan masa depan, maka integrasi prinsip-prinsip deep
learning ke dalam K13 perlu dipertimbangkan.
Pendidikan yang lebih bermakna membutuhkan fleksibilitas dalam implementasi kurikulum, penerapan pembelajaran berbasis proyek dan pemecahan masalah, serta evaluasi yang lebih autentik. Pemerintah perlu memberikan dukungan kepada guru agar dapat mengembangkan perannya sebagai pemantik pemikiran yang mendorong eksplorasi dan inovasi siswa.
Dengan
perubahan yang lebih adaptif terhadap tantangan zaman, sistem pendidikan
Indonesia dapat lebih optimal dalam menyiapkan generasi yang tidak hanya unggul
dalam akademik, tetapi juga memiliki keterampilan berpikir kritis dan inovatif
yang dibutuhkan di masa depan. (*)
Berita Lainnya
-
Efektivitas Kebijakan Pendidikan: Dilema antara Libur Ramadan dan Sistem Pembelajaran di Indonesia, Oleh: Dr. Koderi. M.Pd
Kamis, 02 Januari 2025 -
Transformasi Ekonomi Berkelanjutan: Menggerakkan Perubahan dari Hilir Desa, Oleh Dr. Koderi, M.Pd
Selasa, 31 Desember 2024 -
Dinamika Pilkada Serentak 2024 di Tengah Transisi Kepemimpinan Nasional, Oleh: Donald Harris Sihotang
Selasa, 23 Juli 2024 -
Pemeriksaan Kejagung, Ujian Berat Eva Dwiana Menjelang Pilkada Bandar Lampung 2024, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 17 Juli 2024