• Rabu, 22 Januari 2025

Mafia Tanah Bermain di Kasus Tanah Kemenag Lampung, Ada Tumpang Tindih Sertifikat Tanah

Rabu, 22 Januari 2025 - 08.27 WIB
48

Mafia Tanah Bermain di Kasus Tanah Kemenag Lampung, Ada Tumpang Tindih Sertifikat Tanah. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kasus sengketa tanah milik Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Lampung seluas 17.200 meter persegi di Kecamatan Natar, Lampung Selatan, mengungkap indikasi kuat keterlibatan mafia tanah. Di atas tanah tersebut, ditemukan dua sertifikat berbeda yakni Sertifikat Hak Pakai (SHP) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).

Seorang pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Lampung mengatakan, keberadaan tanah milik Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Lampung seluas 17.200 meter persegi itu sudah ada sejak tahun 1982 dengan alas hak berupa Sertifikat Hak Pakai. Sesuai sertifikat lokasi tanah berada di Desa Natar, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan (Lamsel).

“Kemudian pada tahun 1983, Kemenag Lampung melakukan pelepasan lahan itu ke Supardi. Dan tahun 1984, BPN melepaskan lahan itu,” kata pejabat yang minta namanya tidak ditulis ini, Selasa (21/1/2025).

Pejabat ini mengatakan, pada tahun 2008, Supardi menjual lahan dari Kemenag Lampung itu ke Tio dan diterbitkan akta jual beli.

Dari akta jual beli itu lalu BPN Kabupaten Lamsel menerbitkan Sertifikat Hak Milik yang diajukan oleh pembeli lahan tersebut pada tahun 2008.

“Anehnya ternyata di atas lahan itu hingga kini masih ada dua sertifikat yakni Sertifikat Hak Pakai dan Sertifikat Hak Milik. Namun, kini Supardi yang sudah menjual lahan Kemenag itu kini sudah meninggal dunia,” jelasnya.

Sesuai Sertifikat Hak Milik yang sudah diterbitkan BPN Lamsel, lahan Kemenag Lampung itu berlokasi di Desa Pemanggilan, Kecamatan Natar, Kabupaten Lamsel.

“Penerbitan Sertifikat Hak Milik itu tidak mungkin bisa dilakukan oleh BPN Lamsel jika tidak melibatkan kades dan camat saat itu. Karena kades punya kewenangan menerbitkan surat penguasaan fisik lahan. Dan camat bisa menerbitkan akta jual beli jika ia juga menjadi pejabat pembuat akta tanah,” terangnya.

Ia mengungkapkan, sesuai kewenangannya BPN Lamsel yang berwenang menerbitkan SHM di atas lahan tersebut. “Saya menganalisa kemungkinan ada praktek mafia tanah dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik tersebut. Karena ternyata di atas lahan itu masih ada Sertifikat Hak Pakai. Sehingga kini ada tumpang tindih sertifikat,” ucapnya.

Ditanya siapa pejabat BPN Lamsel yang ikut membantu penerbitan SHM saat itu, pejabat BPN Provinsi Lampung ini mengaku tidak mengetahuinya.

“Karena ada dua sertifikat itulah makanya Kejaksaan Tinggi Lampung turun tangan untuk menyelidiki kasus tersebut. Jadi ada tumpang tindih sertifikat. Ada dua kepemilikan sertifikat,” imbuhnya.

Kasus sengketa tanah Kemenag Lampung ini pertama kali disidangkan tahun 2021 di Pengadilan Negeri (PN) Kalianda, Lamsel, yang dimenangkan pemilik Sertifikat Hak Milik. Dan terakhir ada putusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung tahun 2024 juga dimenangkan pemegang Sertifikat Hak Milik.

“Yang perlu juga diketahui, saat penerbitan SHM itu, BPN Lamsel hanya melakukan pemeriksaan dokumen secara formil sesuai regulasi. Sementara untuk pembuktian secara materiil itu menjadi kewenangan aparat penegak hukum,” imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Provinsi Lampung, Puji Raharjo, menjelaskan bahwa tanah milik Kemenag Lampung seluas 17.200 meter persegi itu memang sudah ada sejak tahun 1928 dengan alas hak berupa Sertifikat Hak Pakai (SHP).

“Memang benar lahan milik Kemenag Lampung di Natar itu sudah ada sejak 1982. Kita punya bukti surat Sertifikat Hak Pakai,” kata Puji, Selasa (21/1/2025).

Namun, Puji membantah jika Kemenag Lampung sudah melakukan pelepasan lahan itu pada tahun 1983. “Kemenag Lampung tidak pernah melepaskan lahan itu. Jadi tidak benar jika ada pelepasan oleh Kemenag Lampung,” kata Puji.

Puji mengaku heran saat Kemenag Lampung bisa kalah mulai dari tingkat pengadilan negeri hingga peninjauan kembali (PK) di MA.

Puji menegaskan, ada keterlibatan mafia tanah dalam kasus tanah milik Kemenag Lampung ini. Sehingga bisa sampai terbit surat tanah baru yakni Sertifikat Hak Milik. Padahal Kemenag Lampung masih memiliki Sertifikat Hak Pakai.

“Sertifikat Hak Pakai sejak tahun 1982 saja masih ada hingga kini di Kemenag Lampung. Ini kok bisa terbit surat tanah baru berupa Sertifikat Hak Milik. Kan tidak mungkin bisa terjadi kalau tidak ada mafia tanahnya,” tegas Puji.

“Makanya kini Kejaksaan Tinggi Lampung selaku pengacara negara melakukan penyelidikan untuk mengungkap kasus tersebut,” sambungnya.

Puji berharap, Kejati Lampung bisa mengungkap siapa saja yang terlibat dalam mafia tanah ini, dan tanah milik Kemenag Lampung bisa dikembalikan.

“Kami kini sedang menunggu upaya hukum yang sedang dilakukan oleh Kejati Lampung. Semoga saja para mafia tanah itu bisa diungkap, dan tanah Kemenag Lampung bisa dikembalikan,” ujarnya.

Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Lampung, Armen Wijaya, saat dihubungi mengatakan, penyidikan kasus tanah Kemenag Lampung masih dalam proses pemeriksaan saksi-saksi.

“Masih dalam proses pemeriksaan saksi-saksi dan alat bukti. Nanti setelah itu baru kita informasikan kalau sudah ada penetapan tersangkanya,” kata Armen, Selasa (21/1/2025).

Armen melanjutkan, hingga kini lebih kurang sudah ada 8 orang saksi dan masih terus dalam proses pemanggilan.

Sebelumnya, tim Kejati Lampung melakukan penggeledahan Kantor (BPN) Provinsi Lampung, pada Rabu (8/1/2025) lalu.

Tim dipimpin langsung Aspidsus Armen Wijaya, melakukan penggeledahan sejak pukul 14.00 WIB hingga 17.35 WIB.

Usai melakukan penggeledahan, Armen Wijaya mengatakan, kegiatan dilakukan berkaitan dengan dugaan kasus mafia tanah yang berada di wilayah Lampung Selatan.

"Terkait mafia tanah juga, yang pasti bukan (terkait) berita yang masih hangat Way Kanan ataupun Pesibar (Pesisir Barat). Kami masih menunggu dari Lampung Selatan," kata Armen, Rabu (8/1/2025) Sore.

Ditanya apa saja yang disita dari penggeledahan, Armen menyebutkan sejumlah berkas dan dokumen berkaitan dengan penyelidikan kasus mafia tanah. "Dokumen yang berkaitan dengan surat menyurat, sertifikat dan lainnya," ucapnya.

Bukan hanya itu, pada hari yang sama tim Kejati Lampung juga menggeledah Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Selatan.

Armen mengatakan, tanah milik Kemenag Lampung seluas 17.200 meter persegi tersebut tercatat dalam Sertifikat Hak Pakai Nomor 12/NT/1982.

Kasus itu diungkap berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Nomor Print-01/L.8/Fd.2/01/2025 tertanggal 7 Januari 2025.

"Dari hasil penyelidikan, kami telah menemukan adanya peristiwa pidana, lalu kami telah meningkatkan status kasus ini ke tahap penyidikan, agar bisa membuat terang pidana tersebut, guna menemukan tersangka," ujar Armen.

Dari penyelidikan dan penyidikan sementara, Tim Kejati Lampung menemukan indikasi perbuatan melawan hukum yang dilakukan para oknum mafia tanah yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp43 miliar. (*)

Artikel ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Rabu 22 Januari 2025, dengan judul "Mafia Tanah Bermain di Kasus Tanah Kemenag Lampung"