• Selasa, 21 Januari 2025

Mafia Tanah Bermain di Kasus Tanah Kemenag Lampung

Selasa, 21 Januari 2025 - 09.58 WIB
44

Mafia Tanah Bermain di Kasus Tanah Kemenag Lampung. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kasus sengketa tanah milik Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Lampung seluas 17.200 meter persegi di Natar, Lampung Selatan, diduga kuat ada keterlibatan mafia tanah. Indikasinya, di atas tanah itu ternyata terbit dua sertifikat yakni Sertifikat Hak Pakai (SHP) dan Sertifikat Hak Milik (SHM). 

Seorang pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Lampung mengatakan, keberadaan tanah milik Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Lampung seluas 17.200 meter persegi itu sudah ada sejak tahun 1982 dengan alas hak berupa Sertifikat Hak Pakai. Sesuai sertifikat lokasi tanah berada di Desa Natar, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan (Lamsel). 

"Kemudian pada tahun 1983, Kemenag Lampung melakukan pelepasan lahan itu ke Supardi. Dan tahun 1984, BPN melepaskan lahan itu,” kata pejabat yang minta namanya tidak ditulis ini, Selasa (21/1/2025). 

Pejabat ini mengatakan, pada tahun 2008, Supardi menjual lahan dari Kemenag Lampung itu ke Tio dan diterbitkan akta jual beli. 

Dari akta jual beli itu lalu BPN Kabupaten Lamsel menerbitkan Sertifikat Hak Milik yang diajukan oleh pembeli lahan tersebut pada tahun 2008.

"Anehnya ternyata di atas lahan itu hingga kini masih ada dua sertifikat yakni Sertfikat Hak Pakai dan Sertifikat Hak Milik. Namun, kini Supardi yang sudah menjual lahan Kemenag itu kini sudah meninggal dunia,” jelasnya.

Sesuai Sertifikat Hak Milik yang sudah diterbitkan BPN Lamsel, lahan Kemenag Lampung itu berlokasi di Desa Pemanggilan, Kecamatan Natar, Kabupaten Lamsel. 

"Penerbitan Sertifikat Hak Milik itu tidak mungkin bisa dilakukan oleh BPN Lamsel jika tidak melibatkan kades dan camat saat itu. Karena kades punya kewenangan menerbitkan surat penguasaan fisik lahan. Dan camat bisa menerbitkan akta jual beli jika ia juga menjadi pejabat pembuat akta tanah,” terangnya. 

Ia mengungkapkan, sesuai kewenangannya BPN Lamsel yang berwenang menerbitkan SHM di atas lahan tersebut.

"Saya menganalisa kemungkinan ada praktek mafia tanah dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik tersebut. Karena ternyata di atas lahan itu masih ada Sertifikat Hak Pakai. Sehingga kini ada tumpang tindih sertifikat,” ucapnya.

Ditanya siapa pejabat BPN Lamsel yang ikut membantu penerbitan SHM saat itu, pejabat BPN Provinsi Lampung ini mengaku tidak mengetahuinya. 

"Karena ada dua sertifikat itulah makanya Kejaksaan Tinggi Lampung turun tangan untuk menyelidiki kasus tersebut. Jadi ada tumpang tindih sertifikat. Ada dua kepemilikan sertifikat,” imbuhnya. 

Kasus sengketa tanah Kemenag Lampung ini pertama kali disidangkan tahun 2021 di Pengadilan Negeri (PN) Kalianda, Lamsel, yang dimenangkan pemilik Sertifikat Hak Milik. Dan terakhit ada putusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung tahun 2024 juga dimenangkan pemegang Sertifikat Hak Milik.

"Yang perlu juga diketahui, daat penerbitan SHM itu, BPN Lamsel hanya melakukan pemeriksaan dokumen secara formil sesuai regulasi. Sementara untuk pembuktian secara materiil itu menjad kewenangan aparat penegak hukum,” imbuhnya. (*)