• Rabu, 15 Januari 2025

Kerusakan Hutan Lampung Capai 375 Ribu Hektar, WALHI Soroti Legalitas dan Pengelolaan Lahan

Rabu, 15 Januari 2025 - 13.36 WIB
27

Direktur WALHI Lampung, Irfan Tri Musri. Foto: Kupastuntas.co

Sri

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kondisi kawasan hutan di Provinsi Lampung semakin memprihatinkan. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung, hingga Desember 2019, kerusakan hutan di provinsi ini telah mencapai 375.928 hektar dari total luas 1.004.735 hektar, atau setara dengan 37,42 persen dari total keseluruhan hutan yang ada. 

Direktur WALHI Lampung, Irfan Tri Musri, menjelaskan bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan degradasi lingkungan ini adalah banyaknya kawasan hutan yang diduduki dan dikelola oleh warga secara ilegal, serta konversi sebagian hutan menjadi kawasan produksi yang dikelola perusahaan. 

Sebanyak 12 hutan register di Provinsi Lampung kini sebagian besar sudah diduduki dan dikelola oleh warga, sedangkan sebagian lainnya berubah menjadi hutan produksi yang dikelola perusahaan.

"Kerusakan ini bukan fenomena baru, melainkan telah berlangsung selama puluhan tahun, " ujar Irfan. Rabu (15/1/2025).

Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah sebenarnya telah menerapkan skema kehutanan sosial yang memberikan akses legal kepada masyarakat yang sudah terlanjur mengelola kawasan hutan.

"Hingga kini, sekitar 207.000 hektar lahan telah masuk dalam program tersebut, " jelasnya.

Namun, Irfan mengungkapkan bahwa tantangan besar masih terjadi di lapangan. Banyak masyarakat yang enggan mengurus izin resmi dalam skema kehutanan sosial. Sebagian warga justru menginginkan adanya pelepasan kawasan hutan agar dapat dikelola sepenuhnya oleh masyarakat tanpa campur tangan regulasi pemerintah. 

"Permasalahan utamanya adalah belum semua masyarakat memiliki izin perhutanan sosial. Selain itu, masih ada banyak warga yang menolak mengikuti prosedur ini dengan harapan kawasan tersebut dilepaskan sepenuhnya," katanya. 

Kerusakan hutan yang terus terjadi membawa dampak serius terhadap ekosistem. Hilangnya tutupan pohon dalam jumlah besar mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air, yang pada akhirnya dapat memicu bencana seperti banjir dan longsor. Selain itu, kerusakan ekosistem ini juga berdampak pada penurunan kualitas tanah dan perubahan iklim mikro di kawasan tersebut. 

"Dengan hilangnya tutupan pohon, tanah menjadi lebih rentan terhadap erosi, kemampuan menyerap air menurun, dan tentu saja berdampak pada perubahan ekosistem secara menyeluruh," tambah Irfan. 

WALHI juga mencatat bahwa sekitar 70% dari total kerusakan hutan di Lampung terjadi di kawasan hutan produksi. Hutan produksi adalah kawasan yang ditujukan untuk kegiatan komersial seperti perkebunan dan penebangan kayu yang dikelola perusahaan. 

Meski bertujuan untuk ekonomi, pengelolaan yang tidak berkelanjutan dan minimnya pengawasan mengakibatkan tingginya laju deforestasi. Irfan menegaskan bahwa penting bagi pemerintah untuk menertibkan pengelolaan hutan produksi agar tidak semakin memperparah kerusakan ekosistem. 

Persoalan lainnya yang turut menjadi sorotan adalah banyaknya desa yang berada di dalam kawasan hutan. Desa-desa tersebut sering kali sudah lama berdiri sebelum adanya penetapan batas kawasan hutan secara resmi. Akibatnya, terjadi konflik antara masyarakat dengan pihak berwenang yang ingin menertibkan kawasan tersebut. 

"Keterlanjuran desa di dalam kawasan hutan ini menjadi persoalan yang cukup kompleks. Banyak desa yang terlanjur berdiri di kawasan tersebut dan berpotensi mempercepat laju kerusakan hutan," kata Irfan. 

Untuk mengatasi kondisi ini, WALHI mendorong adanya upaya restorasi kawasan hutan secara berkelanjutan. Salah satu langkah yang disarankan adalah memperluas cakupan program kehutanan sosial dengan pendekatan yang lebih inklusif, memberikan edukasi, serta pendampingan kepada masyarakat dalam mengelola hutan secara berkelanjutan. 

Selain itu, WALHI menegaskan pentingnya peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang merusak kawasan hutan, termasuk perusahaan yang melakukan eksploitasi berlebihan di kawasan hutan produksi. 

"Kami berharap ada kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan untuk memulihkan kondisi hutan Lampung. Program kehutanan sosial yang ada perlu diperluas dengan pendekatan yang lebih adil bagi masyarakat," tutup Irfan.  (*)