Kerusakan Hutan Lampung Capai 375 Ribu Hektar, WALHI Soroti Legalitas dan Pengelolaan Lahan
Kupastuntas.co, Bandar
Lampung - Kondisi kawasan hutan di Provinsi Lampung semakin memprihatinkan.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung, hingga
Desember 2019, kerusakan hutan di provinsi ini telah mencapai 375.928 hektar
dari total luas 1.004.735 hektar, atau setara dengan 37,42 persen dari total
keseluruhan hutan yang ada.
Direktur WALHI Lampung,
Irfan Tri Musri, menjelaskan bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan
degradasi lingkungan ini adalah banyaknya kawasan hutan yang diduduki dan
dikelola oleh warga secara ilegal, serta konversi sebagian hutan menjadi
kawasan produksi yang dikelola perusahaan.
Sebanyak 12 hutan register
di Provinsi Lampung kini sebagian besar sudah diduduki dan dikelola oleh warga,
sedangkan sebagian lainnya berubah menjadi hutan produksi yang dikelola
perusahaan.
"Kerusakan ini bukan
fenomena baru, melainkan telah berlangsung selama puluhan tahun, " ujar
Irfan. Rabu (15/1/2025).
Untuk mengatasi permasalahan
ini, pemerintah sebenarnya telah menerapkan skema kehutanan sosial yang
memberikan akses legal kepada masyarakat yang sudah terlanjur mengelola kawasan
hutan.
"Hingga kini, sekitar
207.000 hektar lahan telah masuk dalam program tersebut, " jelasnya.
Namun, Irfan mengungkapkan
bahwa tantangan besar masih terjadi di lapangan. Banyak masyarakat yang enggan
mengurus izin resmi dalam skema kehutanan sosial. Sebagian warga justru
menginginkan adanya pelepasan kawasan hutan agar dapat dikelola sepenuhnya oleh
masyarakat tanpa campur tangan regulasi pemerintah.
"Permasalahan utamanya
adalah belum semua masyarakat memiliki izin perhutanan sosial. Selain itu,
masih ada banyak warga yang menolak mengikuti prosedur ini dengan harapan
kawasan tersebut dilepaskan sepenuhnya," katanya.
Kerusakan hutan yang terus
terjadi membawa dampak serius terhadap ekosistem. Hilangnya tutupan pohon dalam
jumlah besar mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air,
yang pada akhirnya dapat memicu bencana seperti banjir dan longsor. Selain itu,
kerusakan ekosistem ini juga berdampak pada penurunan kualitas tanah dan
perubahan iklim mikro di kawasan tersebut.
"Dengan hilangnya
tutupan pohon, tanah menjadi lebih rentan terhadap erosi, kemampuan menyerap
air menurun, dan tentu saja berdampak pada perubahan ekosistem secara
menyeluruh," tambah Irfan.
WALHI juga mencatat bahwa
sekitar 70% dari total kerusakan hutan di Lampung terjadi di kawasan hutan
produksi. Hutan produksi adalah kawasan yang ditujukan untuk kegiatan komersial
seperti perkebunan dan penebangan kayu yang dikelola perusahaan.
Meski bertujuan untuk
ekonomi, pengelolaan yang tidak berkelanjutan dan minimnya pengawasan
mengakibatkan tingginya laju deforestasi. Irfan menegaskan bahwa penting bagi
pemerintah untuk menertibkan pengelolaan hutan produksi agar tidak semakin
memperparah kerusakan ekosistem.
Persoalan lainnya yang turut
menjadi sorotan adalah banyaknya desa yang berada di dalam kawasan hutan.
Desa-desa tersebut sering kali sudah lama berdiri sebelum adanya penetapan
batas kawasan hutan secara resmi. Akibatnya, terjadi konflik antara masyarakat
dengan pihak berwenang yang ingin menertibkan kawasan tersebut.
"Keterlanjuran desa di
dalam kawasan hutan ini menjadi persoalan yang cukup kompleks. Banyak desa yang
terlanjur berdiri di kawasan tersebut dan berpotensi mempercepat laju kerusakan
hutan," kata Irfan.
Untuk mengatasi kondisi ini,
WALHI mendorong adanya upaya restorasi kawasan hutan secara berkelanjutan.
Salah satu langkah yang disarankan adalah memperluas cakupan program kehutanan
sosial dengan pendekatan yang lebih inklusif, memberikan edukasi, serta
pendampingan kepada masyarakat dalam mengelola hutan secara berkelanjutan.
Selain itu, WALHI menegaskan
pentingnya peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang
merusak kawasan hutan, termasuk perusahaan yang melakukan eksploitasi
berlebihan di kawasan hutan produksi.
"Kami berharap ada
kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan untuk
memulihkan kondisi hutan Lampung. Program kehutanan sosial yang ada perlu diperluas
dengan pendekatan yang lebih adil bagi masyarakat," tutup Irfan. (*)
Berita Lainnya
-
Unila Sambut Forum Wakil Rektor Bidang Akademik BKS-PTN Barat
Rabu, 15 Januari 2025 -
Rektor Unila Lantik 13 Pejabat Administrasi dan Tiga Pejabat Fungsional Baru
Rabu, 15 Januari 2025 -
Rektor Unila Resmikan Gedung B FEB dengan Fasilitas Internasional
Rabu, 15 Januari 2025 -
Dalam 2 Minggu, Belasan Pohon Besar di Bandar Lampung Tumbang
Rabu, 15 Januari 2025