Alih Fungsi Ruko Sudirman Metro Diduga Langgar UU dan Perda
Kupastuntas.co, Metro - Tahapan transformasi kompleks Ruko
Sudirman menjadi hotel di pusat Kota Metro memicu kontroversi. Proyek ini
diduga melanggar peraturan daerah (Perda) dan undang-undang (UU), tak ayal
kasus ini mengundang perhatian publik serta lembaga hukum.
Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota (Pemkot) Metro, Fachruddin, mengungkapkan bahwa setiap pembangunan, termasuk perubahan fungsi bangunan, harus memenuhi persyaratan dokumen Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Hal itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang pajak dan retribusi daerah.
"Seharusnya, setiap orang yang membangun bangunan harus memiliki PBG terlebih dahulu. Ini adalah syarat mutlak sebelum proses pembangunan dilakukan," kata dia kepada awak media, Minggu (12/1/2025).
Dirinya juga menambahkan bahwa izin yang dimiliki saat ini hanya terkait dengan penggunaan ruko sebagai pertokoan, bukan untuk hotel.
BACA JUGA: Dokumen Bermasalah, Pemkot Tegur Pengembang Proyek Alih Fungsi Ruko Jadi Hotel di Metro
Fachruddin juga menyoroti pola kerja sama antara Pemerintah Kota Metro dan PT Sang Bima Ratu. Sebelumnya, pola yang digunakan adalah bangun guna serah (BGS), di mana pengelolaan bangunan diserahkan ke pemerintah daerah setelah 30 tahun. Namun, pola ini sudah dianggap usang.
“Pola kerja sama yang ideal adalah kerja sama pemanfaatan, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 yang telah diubah dengan Permendagri Nomor 7 Tahun 2024,” jelasnya.
Menurut Fachruddin, pengalihan fungsi harus mengikuti mekanisme yang lebih transparan dan modern sesuai regulasi terbaru. Dia mengarahkan agar dokumen dan izin alih fungsi ditanyakan kepada Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Ia juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengirim surat resmi kepada Komisaris PT Sang Bima Ratu agar seluruh proses alih fungsi berjalan sesuai peraturan.
“Bagian Hukum hanya menangani aspek perjanjian kerja sama. Namun, untuk izin teknis seperti PBG, itu menjadi tanggung jawab DPUTR dan DPMPTSP,” ujarnya.
Dalam perkembangan terbaru, Fachruddin menyebutkan bahwa pihaknya telah dihubungi oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Metro untuk koordinasi terkait kasus ini. Namun, Kasi Intel Kejari Metro, Deby Resta Yuda, menyatakan bahwa belum ada langkah pemanggilan resmi dari pihak Kejaksaan.
“Kami masih memantau dan belum ada pemanggilan. Ini masih menjadi ranah perizinan di lingkup Pemerintah Kota Metro,” ujar Yuda kepada awak media.
Proyek alih fungsi ini dinilai bermasalah karena tidak hanya melibatkan aspek teknis perizinan, tetapi juga kemungkinan melanggar kerangka hukum yang lebih luas.
Dalam praktiknya, pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 maupun Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 dapat berimplikasi pada sanksi administratif hingga pidana.
Publik Kota Metro mulai menyuarakan kritik terhadap transparansi pemerintah dalam menangani proyek ini. Beberapa kelompok masyarakat meminta pemerintah daerah untuk menghentikan sementara proyek tersebut hingga seluruh izin dan dokumen hukum terpenuhi.
Transparansi perizinan proyek alih fungsi Ruko Sudirman menjadi hotel diharapkan menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola pembangunan di Kota Metro sesuai prinsip hukum dan tata ruang yang berlaku. (*)
Berita Lainnya
-
Merasa Dikangkangi Terkait Alih Fungsi Ruko Jadi Hotel, DPRD Minta Pemkot Metro Klarifikasi
Minggu, 12 Januari 2025 -
Metro Sandang Status Kejadian Luar Biasa DBD, Puskesmas Diminta Turun ke Masyarakat
Minggu, 12 Januari 2025 -
Ringkus Tiga Pengedar di Metro Lampung, Polisi Sita Ratusan Butir Obat Berbahaya
Jumat, 10 Januari 2025 -
Dokumen Bermasalah, Pemkot Tegur Pengembang Proyek Alih Fungsi Ruko Jadi Hotel di Metro
Jumat, 10 Januari 2025