• Selasa, 17 Desember 2024

Fenomena Pak Ogah di Jalan, Raup Uang Tidak Seberapa Demi Bertahan Hidup

Selasa, 17 Desember 2024 - 14.03 WIB
27

Tampak Hermanto "Pak Ogah" yang sedang bekerja mengatur lalu lintas di U-turn Jalan Soekarno Hatta Bypass, Bandar Lampung. Foto: Yudi/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pak Ogah, sosok yang dikenal sebagai "penjaga jalan" tidak resmi, telah menjadi pemandangan umum di berbagai persimpangan jalan di Bandar Lampung.

Dengan peluit kecil dan gerakan tangan yang sigap, mereka membantu mengatur arus lalu lintas, terutama di daerah rawan macet. Keberadaan mereka sering menjadi penyelamat bagi para pengendara yang membutuhkan arahan atau ingin mempersingkat waktu saat hendak putar arah.

Sebagai bentuk apresiasi, pengendara biasanya memberikan uang receh secara sukarela. Namun, keberadaan Pak Ogah tak lepas dari kontroversi.

Banyak pihak memandang mereka sebagai solusi darurat akibat minimnya pengawasan lalu lintas dari pihak berwenang. Di sisi lain, beberapa berpendapat bahwa peran mereka justru dapat memicu ketidakteraturan dan risiko keselamatan di jalan.

Hermanto, seorang warga asal Medan, Sumatera Utara, baru bekerja sebagai pengatur lalu lintas di salah satu titik U-turn Jalan Soekarno Hatta Bypass, Bandar Lampung selama tiga bulan.

Setiap hari, ia bekerja di bawah terik matahari dengan penghasilan yang berkisar antara Rp30.000 hingga Rp50.000. Meski penghasilannya tidak besar, Hermanto tetap bersyukur karena pekerjaan ini membantunya memenuhi kebutuhan hidup.

"Zaman sekarang sulit mencari pekerjaan. Ini tuntutan ekonomi. Kami bekerja sukarela, tidak semua orang memberi imbalan," kata Hermanto ketika diwawancarai di tengah kesibukannya mengatur kendaraan yang hendak berputar arah pada Selasa (17/12/24).

Hal serupa disampaikan oleh Adit, seorang Pak Ogah di jalan yang sama tapi berbeda lokasi, dirinya baru bekerja selama dua bulan. Ia menegaskan bahwa pekerjaannya dilakukan tanpa paksaan, dan pemberian imbalan dari pengendara sepenuhnya bersifat sukarela.

"Tidak ada paksaan. Kalau ada yang memberi, Alhamdulillah. Kalau tidak, juga tidak apa-apa," kata Adit.

Berbeda dengan Hermanto, Adit mengaku mampu mendapatkan penghasilan harian yang lebih besar, yakni berkisar antara Rp70.000 hingga Rp100.000.

"Baru dua bulan kerja, penghasilan tidak menentu, tapi kadang bisa sampai Rp100.000 per hari," ungkapnya.

Keberadaan Pak Ogah mencerminkan tantangan di sektor transportasi, khususnya di kota-kota besar seperti Bandar Lampung.

Di satu sisi, mereka membantu mengurangi kemacetan di titik-titik tertentu. Namun, di sisi lain, peran mereka yang tidak diatur secara resmi dapat menimbulkan masalah seperti ketidakteraturan lalu lintas dan potensi risiko kecelakaan.

Dilema ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan menyediakan solusi yang lebih baik, seperti penempatan petugas resmi atau pengembangan infrastruktur lalu lintas.

Dengan demikian, kebutuhan akan "Pak Ogah" sebagai solusi darurat dapat diminimalkan, sambil tetap memperhatikan aspek sosial dan ekonomi masyarakat. (*)