• Selasa, 19 Agustus 2025

Baleg DPR Akali Putusan MK Cuma Berlaku ke Parpol Non DPRD

Kamis, 22 Agustus 2024 - 11.52 WIB
147

Baleg DPR Akali Putusan MK Cuma Berlaku ke Parpol Non DPRD. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar rapat panitia kerja (Panja) untuk membahas revisi Undang-Undang Pilkada. Salah satu yang disepakati dalam rapat ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat partai politik untuk mengusung calon kepala daerah hanya berlaku bagi partai tanpa kursi DPRD atau non parlemen.

Dalam rapat ini, Panja membahas usulan perubahan substansi Pasal 40 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) setelah adanya Putusan MK Nomor: 60/PUU-XXII/2024.

Adapun draf yang ditampilkan dan dibacakan dalam rapat dan kemudian disetujui yakni ketentuan pasal 40 diubah sehingga berbunyi Ayat (1) partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25%  dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Ayat (2) tertulis partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dengan ketentuan sebagai berikut:

Poin a, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut

Poin b, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut

Poin c, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut.

Dan poin d, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut.

Lalu Ayat (3) berbunyi partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD kabupaten/kota dapat mendaftarkan calon bupati dan calon wakil bupati atau calon walikota dan calon wakil walikota dengan ketentuan sebagai berikut:

Poin a, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di kabupaten/kota tersebut

Poin b, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di kabupaten/kota tersebut.

Poin c, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di kabupaten/kota tersebut.

dan Poin d, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di kabupaten/kota tersebut.

Pimpinan rapat panja yang juga Wakil Ketua Baleg DPR, Achmad Baidowi atau Awiek mengatakan, draf ini mengadopsi putusan MK. Dia mengatakan putusan MK itu pada intinya membuka peluang partai tanpa kursi DPRD untuk mengusung calon kepala daerah.

"Ini sebenarnya kan mengadopsi putusan MK yang mengakomodir partai non parlemen bisa mencalonkan kepala daerah. Jadi sudah bisa mendaftarkan juga ke KPU, kan sebelumnya nggak bisa, setuju ya?" ujar Awiek.

Peserta rapat, termasuk pemerintah dan DPD, setuju. "Disetujui Panja 21 Agustus 2024, usulan DPR," demikian tertulis dan ditayangkan di layar ruang rapat.

Sementara itu, Anggota Baleg DPR F-PDIP, TB Hasanuddin menilai hasil rapat Baleg DPR tentang syarat ambang batas pencalonan kepala daerah dalam RUU Pilkada bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menilai proses pembahasan RUU Pilkada di Baleg DPR berjalan cepat.

"Jadi begini, tayangan yang tadi dipaparkan itu tidak diberi kesempatan kepada setiap fraksi untuk menyampaikan pendapatnya langsung digedok. Nah setelah itu tutup ya sudah kita masuk sekarang kepada tahap berikutnya timsin, ya sudah istirahat. Lalu kami minta untuk di print, setelah di print itu ternyata justru bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi," kata TB Hasanuddin usai rapat Baleg di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

TB Hasanuddin menilai ada perbedaan dari putusan MK dan yang disepakati Baleg dalam RUU Pilkada. Menurutnya, semua partai tak memiliki kursi bisa mencalonkan pasangan dalam pilkada.

"Ini bertentangan dengan keputusan MK. Nah kalau keputusan MK itu adalah ya untuk semua kan ya di sini hanya ditulis untuk yang tidak memiliki kursi begitu lah," ujarnya.

PDIP, kata TB Hasanuddin, akan tetap meminta RUU Pilkada sesuai dengan putusan MK. Pembahasan RUU Pilkada akan memasuki tahap pengambilan keputusan.

"Bagaimana sikap Fraksi PDI Perjuangan kami akan meneruskan perjuangan untuk tetap kita mendorong agar demokrasi di Indonesia tetap berjalan sesuai dengan aturan yang kesepakatan yang sudah kita sepakati, kita akan taat azas kepada keputusan MK," imbuhnya.

Sementara itu, Pengamat Hukum Universitas Lampung, Muhtadi menilai, keputusan yang diambil Baleg DPR RI sebagai bentuk pembangkangan konstitusi.

"Keputusan Baleg DPR RI yang membuat perbedaan perlakuan antara partai di parlemen dan tidak ada di parlemen adalah bentuk pembangkangan terhadap kedaulatan konstitusi," tegas Muhtadi, Rabu (21/8/2024).

"Mereka membangkang terhadap prinsip konstitusi yang dulu saat perubahan/penyusunan UUD 1945 disepakati bahwa untuk menjaga agar penyelenggaraan kenegaraan itu tetap berjalan di atas konstitusi dibentuk MK sebagai penjaga konstitusi," lanjutnya.

Dia juga menyampaikan, keputusan Baleg DPR RI yang menyatakan bahwa putusan MK Nomor: 60/PUU-XXII/2024 hanya untuk partai non parlemen adalah tafsir politik saja.

"Itu hanya tafsir politik saja, putusan nomor 60 MK itu terang detail menuliskan ambang batas pemilih di daerah untuk mengajukan calon kada/wakada, bukan pada partainya dapat kursi atau tidak berkursi di parlemen," ujarnya.

Menurut Muhtadi, putusan MK itu final dan mengikat (final and binding) sejak dibacakan, dan bersifat mengikat semua orang, bukan cuma pemohon, tapi semua pihak, termasuk lembaga negara apapun. Putusan MK itu satu-satunya interpretasi konstitusional yang mempunyai daya ikat.

"Putusan MK tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan oleh siapapun atau lembaga apapun, karena putusan tingkat pertama dan terakhir dalam pengujian UU dan tiga kewenangan lainnya. Putusan MK tidak dapat dibatalkan dengan menerbitkan UU yang menolak isi putusan itu," bebernya.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Lampung, Budiyono menambahkan bahwa putusan MK harus dijalankan. Menurutnya, adanya hasil rapat Baleg DPR yang menyatakan putusan MK hanya berlaku untuk partai non parlemen dapat dikatakan sebagai pelanggaran undang-undang.

"Kalau tidak dilaksanakan ini akan berakibat pilkada dapat dinyatakan tidak sah. Sesuai dengan pertimbangan dalam putusan MK. Bisa dikatakan ini merupakan pelanggaran UUD 1945," ujar Budiyono.

Budiyono mengatakan, putusan MK ini sudah sangat jelas, sehingga Baleg tidak perlu melakukan penafsiran putusan lain. "Putusan MK sudah jelas dan tegas, jadi tinggal dilaksanakan saja," tegas Budiyono.

Sebelumnya diberitakan, MK telah mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Dalam putusan yang dibacakan pada Selasa (20/8/2024), MK menyatakan bahwa partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang menjadi peserta pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah (kada), meski tidak memiliki kursi di DPRD (non parlemen).

Putusan ini merupakan hasil dari sidang perkara Nomor: 60/PUU-XXII/2024, di mana MK menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada adalah inkonstitusional. Pasal tersebut sebelumnya mensyaratkan bahwa partai politik hanya bisa mengusung calon kepala daerah jika memperoleh setidaknya 25% suara sah, ketentuan yang hanya berlaku untuk partai dengan kursi di DPR atau DPRD.

MK menilai esensi pasal tersebut sama dengan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU No. 32/2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sebelumnya.

MK menyatakan, pembentuk UU malah memasukkan lagi norma yang telah dinyatakan inkonstitusional dalam pasal UU Pilkada. "Jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU No. 10/2016 secara terus menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat," kata hakim MK, Enny Nurbaningsih saat membacakan putusan MK, Selasa (20/8/2024).

"Pasal 40 ayat (3) UU No. 10/2016 telah kehilangan pijakan dan tidak ada relevansinya untuk dipertahankan, sehingga harus pula dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," lanjut Enny.

MK kemudian menyebut inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada itu berdampak pada pasal lain, yakni Pasal 40 ayat (1). MK pun mengubah pasal tersebut.

"Keberadaan pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU No. 10/2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016," ucapnya. (*)

Artikel ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Kamis 22 Agustus 2024, dengan judul "Baleg DPR Akali Putusan MK Cuma Berlaku ke Parpol Non DPRD"