• Sabtu, 01 Februari 2025

Way Kandis dan Sindang Sari, Dua Dusun Dekat Kantor Bupati Tanggamus Belum Merdeka

Jumat, 16 Agustus 2024 - 15.23 WIB
228

Kondisi memprihatinkan di Dusun Way Kandis Tanggamus. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Tanggamus - Di balik kemegahan perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 tahun 2024, ada kisah lain yang jarang terdengar. Hanya sekitar satu hingga dua kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Tanggamus, di kaki Gunung Tanggamus yang menjulang, terdapat dua dusun yang hidup dalam kesunyian dan keterasingan: Dusun Way Kandis dan Sindang Sari. 

Meskipun dekat dengan pusat pemerintahan, kehidupan di kedua dusun ini seolah terputus dari dunia luar, jauh dari hiruk-pikuk modernisasi dan kemajuan yang dirasakan di wilayah lain. Dalam gemuruh perayaan kemerdekaan yang dirayakan dengan penuh suka cita di seluruh negeri, di sini, di lereng gunung yang sejuk, warga masih bertanya-tanya tentang arti sejati dari "kemerdekaan."

“Setiap kali ada perayaan kemerdekaan, kami hanya bisa mendengar dari jauh,” ucap Sakin, seorang tokoh masyarakat yang telah tinggal di dusun ini sejak tahun 1968. “Kami tidak tahu seperti apa kemerdekaan itu sebenarnya, karena kehidupan kami di sini terasa masih jauh dari merdeka," imbuhnya.

Sakin bukan sekadar menyampaikan keluhan. Ia menceritakan bagaimana Dusun Way Kandis dan Sindang Sari telah tertinggal jauh dari pembangunan, meskipun berada dekat dengan pusat pemerintahan. 

“Sejak Tanggamus berdiri sebagai kabupaten pada 1997, kami belum pernah merasakan manfaat dari pembangunan yang katanya terus berjalan. Dusun kami masih sama seperti dulu, jalan tanah yang rusak, jembatan kayu yang lapuk, dan fasilitas yang nyaris tidak ada,” tambahnya.

Jalan menuju kedua dusun ini memang menjadi bukti nyata dari kondisi yang memprihatinkan. “Jalan tanah ini, selebar tiga meter, sudah seperti jalan menuju masa lalu,” kata Lani, Kepala Dusun Way Kandis. 

“Hanya kendaraan roda dua yang bisa melewatinya, itu pun kalau tidak hujan. Kalau musim penghujan datang, jalan ini berubah menjadi lautan lumpur. Kami harus berjalan kaki, menantang maut setiap hari, demi menjual hasil bumi atau mengantar anak-anak ke sekolah," ungkapnya lagi.

Tidak hanya itu, satu-satunya jembatan yang menghubungkan Dusun Way Kandis dan Sindang Sari ke dunia luar kini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. 

“Jembatan ini panjangnya hanya 12 meter, tapi tingginya sekitar 10 meter, dan kondisinya sudah sangat lapuk. Setiap kali melintas di atasnya, hati saya selalu deg-degan,” lanjut Lani. “Namun, apa pilihan kami? Ini satu-satunya jalan untuk hidup.”

Solihin, Ketua RT 08 Dusun Sindang Sari, dengan nada kecewa menjelaskan bahwa warga sudah berusaha untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah. 

“Kami sudah mengajukan proposal untuk pembangunan jembatan ini ke Pemda Tanggamus. Tapi, sampai sekarang tidak ada kabar. Kalau pemerintah mau membangun, Insya Allah kami siap membantu dengan tenaga,” tegas Solihin.

Namun, hingga kini, harapan tersebut masih menggantung tanpa kepastian. “Kami seperti anak-anak tiri di sini. Setiap kali ada pemilu, para calon pejabat datang ke dusun ini, berjanji ini dan itu. Tapi setelah terpilih, mereka menghilang,” ungkap Lani dengan getir. “Kami hanya bertemu mereka sekali dalam lima tahun. Setelah itu, kami kembali dilupakan.”

Sohari, seorang tokoh masyarakat lainnya, tidak dapat menyembunyikan rasa frustrasinya. “Impian terbesar kami adalah jalan yang mulus, yang bisa membuka keterisoliran kami. Jalan ini adalah urat nadi kehidupan kami. Kalau jalan ini bagus, potensi hasil bumi kami, seperti pisang, kopi, dan buah-buahan lainnya, bisa lebih mudah dipasarkan dan harganya pun bisa lebih baik,” katanya dengan harap. 

“Tolonglah kami, wahai para pemimpin Kabupaten Tanggamus, pemimpin Provinsi Lampung, pemerintah pusat, anggota DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten, tolong kami. Kami ini juga bagian dari Tanggamus, kami juga ingin merasakan sedikit saja sentuhan pembangunan,” ujarnya.

Sakin melanjutkan dengan cerita tentang perjuangan warga yang luar biasa untuk mendapatkan akses listrik. “Listrik baru masuk pada tahun 2015, setelah kami bergotong-royong menggotong tiang listrik dari pinggir jalan raya sejauh tiga kilometer ke dusun ini. Itu pun setelah perjuangan yang sangat panjang,” jelasnya. “Tapi listrik saja tidak cukup, kami butuh jalan yang layak, jembatan yang aman, dan fasilitas dasar lainnya.”

Di dusun ini, tidak ada fasilitas kesehatan. “Kalau ada yang sakit atau ibu-ibu mau melahirkan, kami harus ke Kecamatan Gisting atau Puskesmas Pasar Simpang yang jaraknya 7 hingga 10 kilometer,” ujar Lani. 

“Dan untuk ke sana, kami harus melewati jalan rusak dan jembatan yang hampir runtuh. Setiap kali ada yang melahirkan, kami khawatir mereka tidak akan sampai di puskesmas tepat waktu,” jelasnya.

Sekolah pun hanya ada satu, itupun berupa Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Hidayah yang kondisinya sangat memprihatinkan. “MI ini hanya sekolah filial, kelas jauh yang berinduk pada MI Mathlaul Anwar di Kelurahan Baros, Kecamatan Kotaagung. Bangunannya lebih mirip kandang kambing daripada sekolah. Akibatnya, banyak anak-anak di sini yang putus sekolah, karena untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi sangat sulit,” ungkap Sohari. 

“Setiap hari saya melihat anak-anak kami berjuang untuk mendapatkan pendidikan, tapi mereka terhambat oleh jarak dan keterbatasan,” katanya.

Di tengah semua kesulitan ini, warga dusun tidak pernah kehilangan semangat. “Kami selalu bergotong royong memperbaiki jembatan dan jalan, walaupun dengan alat seadanya,” kata Sakin. “Tapi, sampai kapan kami harus terus begini? Kami butuh bantuan nyata dari pemerintah, bukan sekadar janji.”

Dusun Way Kandis dan Sindang Sari adalah cermin dari kehidupan yang bertahan di tengah keterbatasan. Mereka bukan hanya menunggu perhatian, tapi juga merindukan sebuah keajaiban—keajaiban untuk benar-benar merasakan kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa ini. 

Di balik setiap sorak-sorai dan kembang api yang menghiasi langit malam perayaan, ada ratusan jiwa yang masih berharap agar kemerdekaan itu bisa dirasakan dalam keseharian mereka—dalam jalan yang mulus, jembatan yang kokoh, dan kehidupan yang lebih baik. 

“Impian terbesar kami adalah melihat jalan ini diaspal, mulus seperti di tempat lain,” tutup Sohari dengan nada penuh harap. “Itulah kemerdekaan yang sebenarnya bagi kami, kemerdekaan yang akan membawa perubahan nyata dalam hidup kami.”

Karena di balik setiap sorak-sorai dan tepuk tangan, semangatnya  lagu "Indonesia Raya" menghiasi langit Bumi Begawi Jejama, ada ratusan jiwa yang masih berharap agar kemerdekaan itu bisa dirasakan dalam keseharian mereka—dalam jalan yang mulus, jembatan yang kokoh, dan kehidupan yang lebih baik. (*)