• Minggu, 01 Juni 2025

Walhi: Terdeteksi Ada 230 Titik Api di Lahan Tanaman Tebu SGC

Rabu, 22 Mei 2024 - 08.14 WIB
179

Potret lahan tebu di Lampung yang dibakar. Foto: Dok KLHK

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Lampung menyebut ditemukan sebanyak 230 titik api atau hot spot di lahan tanaman tebu milik PT Sugar Group Companies (SGC) sejak tahun 2021 sampai dengan 2023.

Walhi Provinsi Lampung mendesak Gubernur Lampung Arinal Djunaidi segera mencabut Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023.

Walhi menyebut terbitnya aturan tersebut justru mengizinkan atau melegalisasi korporasi perkebunan tebu untuk memanen tebu dengan cara dibakar.

Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan, lahirnya peraturan gubernur yang telah berjalan lebih kurang empat tahun tersebut telah menguntungkan penguasa korporasi perkebunan tebu yang ada di Provinsi Lampung, serta telah mengabaikan hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan sebagai bagian dari hak asasi manusia.

“Terbitnya peraturan gubernur tersebut merupakan karpet merah bagi korporasi untuk melakukan pengabaian terhadap hak atas lingkungan hidup dan hak masyarakat yang dapat dilakukan oleh korporasi perkebunan tebu secara legal. Pemanenan dengan cara membakar ini juga tentunya akan menambah polusi dan sebaran emisi di Indonesia khususnya Provinsi Lampung,” kata Irfan saat menyampaikan keterangan, Selasa (21/5/2024).

Ia menilai, sejak awal peraturan ini terbit sangat jelas arah kepentingannya. Pihaknya mengapresiasi kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang telah melakukan jucial review atas Pergub Lampung itu di Mahkamah Agung (MA) hingga melahirkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1P/HUM/2024 yang menyatakan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Irfan mengungkapkan, berdasarkan hasil monitoring dan Riset Meja (Desk Research) yang dilakukan Walhi Lampung pada salah satu group perusahaan perkebunan tebu yaitu PT Sugar Group Companies (PT Sweet Indo Lampung, PT Indo Lampung Perkasa dan PT Gula Putih mataram), bahwa pada tahun 2024 ini memang belum ditemukan fakta aktivitas pemanenan dengan cara membakar.

Namun, lanjut dia, berdasarkan analisis menggunakan data sebaran titik api atau hotspot dari NASA, terdapat jumlah titik api di konsesi SGC pada tahun 2021 sebanyak 57 titik api, tahun 2022 sebanyak 38 titik api dan tahun 2023 sebanyak 135 titik api (total 230 titik api) dengan tingkat kepercayaan yang beragam.

“Tren waktu sebaran titik api tersebut juga beragam. Pada tahun 2021 sebaran titik api mulai dari April hingga Desember. Kemudian tahun 2022 sebaran titik api terdapat di April hingga September, tahun 2023 terjadi pada Maret hingga November,” paparnya.

“Walhi Lampung berharap DPRD Provinsi Lampung juga dapat meminta kepada Gubernur Lampung segera melakukan pencabutan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023,” tegas Irfan.

Selain itu, Walhi Lampung juga meminta kepada KLHK untuk dapat melakukan monitoring terhadap semua perusahaan perkebunan tebu di Provinsi Lampung, dan apabila masih terdapat aktivitas pemanenan dengan cara membakar maka KLHK harus berani untuk memberikan sanksi yang tegas baik pidana dan/atau perdata sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

“Serta mencabut semua sertifikasi atau penghargaan berbasis lingkungan seperti program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup atau Public Disclosure Program for Environmental Compliance,” ungkapnya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Lampung, Fahrizal Darminto saat dihubungi mengatakan, Pemprov Lampung akan melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) mencabut Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 tahun 2023 tentang Tata Kelola Panen dan Peningkatan Produktivitas Tanam Tebu.

"Dalam hal ini putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu untuk menghormati putusan Mahkamah Agung maka Gubernur Lampung mencabut Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020  yang telah diubah menjadi Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2023,” kata Fahrizal, Selasa (21/5/2024).

Selanjutnya, Pemprov Lampung terlebih dahulu akan memantau perkembangan di lapangan. "Kita lihat keadaan ya, yang penting kita cabut dulu. Kita harus hormati keputusan MA," jelasnya.

Sebelumnya diberitakan, KLHK mengidentifikasi setidaknya ada 20 ribu hektar lahan perkebunan tebu di Provinsi Lampung yang ditengarai dipanen dengan cara dibakar. Dua perusahaan terindikasi terlibat pembakaran lahan tebu yaitu PT Sweet Indo Lampung (SIL) dan PT Indo Lampung Perkasa (ILP).

Pembakaran lahan tebu oleh perusahaan ini dilakukan secara berulang sejak tahun 2021 sehingga menimbulkan dampak lingkungan yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan meningkatkan emisi karbon di udara.

"Pada periode 2021 kami menemukan lahan perkebunan tebu seluas 5.400 hektar dibakar. Lalu di tahun 2023 kami menemukan sekitar 14 ribu hektar lahan tebu yang dibakar. Lokasinya pemantauan ini hanya kami cek di dua perusahaan, belum seluruhnya," kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, dalam konferensi pers di Gedung Manggala Wanabakti Kantor KLHK, Jakarta, Senin (20/5/2024).

Rasio mengungkapkan, timnya telah ke lapangan untuk menyelidiki kasus dugaan pencemaran lingkungan ini. Namun ternyata, lanjut Rasio, pembakaran lahan dalam pemanenan tebu diizinkan oleh pemerintah setempat melalui penerbitan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tebu.

Menurut Rasio, Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 sebenarnya telah direvisi lewat penerbitan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023. Tapi isi dari kebijakan baru tersebut dinilai lebih parah sebab memperbolehkan perusahaan membakar lahan perkebunan tebu secara sembarangan dan bersamaan tanpa alat cek kualitas udara.

Rasio memaparkan, website KLHK telah menerima sedikitnya lima aduan masyarakat ihwal permasalahan ini. Hasil pantauan siber di media sosial juga menemukan banyak unggahan berisi keluhan masyarakat atas pembakaran lahan tebu di wilayah Lampung.

"Kami tidak tinggal diam, seluruh laporan dan data di lapangan kami tampung," tegas Rasio.

Atas dasar tersebut, KLHK pada Januari lalu mengajukan uji materiil atau judicial review ke Mahkamah Agung (MA) atas Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 yang telah diubah dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023.

MA mengabulkan permohonan tersebut pada 19 Maret 2024 lalu. Putusan MA Nomor 1 P/HUM/2024 itu memerintahkan pencabutan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 yang diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023.

"Kami mengapresiasi kebijaksanaan hakim karena mau mengabulkan uji materiil terhadap kebijakan ini," kata Rasio. 

Saat ini, menurut Rasio, KLHK tengah membicarakan langkah lanjutan atas putusan tersebut. KLHK, kata dia, akan berupaya menuntaskan segala kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas panen tebu dengan cara dibakar di Lampung. "Instrumen penegakannya sedang dibicarakan, unsur pidana bisa saja diterapkan," ujarnya.

Ia menerangkan, dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 menginstruksikan bahwa pembakaran dibatasi 10 hektar dengan lama waktu pembakaran maksimal 20 menit. Ketika musim kemarau pembakaran hanya dapat dilakukan pagi hari, sedangkan saat musim hujan dapat dilakukan pagi dan malam hari.

Kemudian, regulasi itu juga mengharuskan adanya persiapan pembakaran terkendali dengan memposisikan alat baku ukur mutu udara.

Adapun Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 menambah kalimat setelah klausul pembatasan 10 hektar, maka pembakaran dapat dilakukan secara bersamaan.

Lalu, aturan pembakaran yang mempertimbangkan cuaca dihapus. Regulasi teranyar justru menambah klausul panen bakar tidak mempertimbangkan cuaca lagi karena cuaca tidak menentu akibat pemanasan global.

Bahkan, alat baku ukur mutu udara yang semula ada dalam regulasi tahun 2020 juga dihapus dalam aturan tahun 2023 tersebut.

"Peraturan itu telah menguntungkan perusahaan karena mereka memanen dengan biaya murah melalui praktik pembakaran," ujar Rasio.

Ia melanjutkan, Menteri LHK pernah menyurati Gubernur Lampung untuk mencabut aturan daerah tersebut, namun imbauan itu tidak pernah digubris.

Direktur Penanganan Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi KLHK, Ardyanto Nugroho menambahkan, pemantauan titik api yang dilakukan di Lampung memperlihatkan beberapa perkebunan tebu terindikasi kebakaran, diantaranya PT Sweet Indo Lampung (SIL) dan PT Indo Lampung Perkasa (ILP).

 Ia menjelaskan, pada tahun 2021, perhitungan awal luas lahan yang dibakar di perusahaan SIL dan ILP mencapai 5.469 hektar. Sedangkan, luas lahan yang terbakar pada tahun 2023 mencapai 14.492 hektar. "Putusan Mahkamah Agung atas uji materiil menunjukkan bahwa panen dengan cara bakar adalah ilegal," ujarnya. (*)

Berita ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Rabu 22 Mei 2024 dengan judul “Walhi: Terdeteksi Ada 230 Titik Api di Lahan Tanaman Tebu SGC