Walhi: Terdeteksi Ada 230 Titik Api di Lahan Tanaman Tebu SGC

Potret lahan tebu di Lampung yang dibakar. Foto: Dok KLHK
Kupastuntas.co, Bandar Lampung -
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Lampung menyebut ditemukan sebanyak
230 titik api atau hot spot di lahan tanaman tebu milik PT Sugar Group
Companies (SGC) sejak tahun 2021 sampai dengan 2023.
Walhi Provinsi Lampung mendesak
Gubernur Lampung Arinal Djunaidi segera mencabut Peraturan Gubernur Lampung
Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023.
Walhi menyebut terbitnya aturan
tersebut justru mengizinkan atau melegalisasi korporasi perkebunan tebu untuk
memanen tebu dengan cara dibakar.
Direktur Walhi Lampung, Irfan
Tri Musri mengatakan, lahirnya peraturan gubernur yang telah berjalan lebih
kurang empat tahun tersebut telah menguntungkan penguasa korporasi perkebunan
tebu yang ada di Provinsi Lampung, serta telah mengabaikan hak-hak masyarakat
atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan sebagai bagian dari hak
asasi manusia.
“Terbitnya peraturan gubernur
tersebut merupakan karpet merah bagi korporasi untuk melakukan pengabaian
terhadap hak atas lingkungan hidup dan hak masyarakat yang dapat dilakukan oleh
korporasi perkebunan tebu secara legal. Pemanenan dengan cara membakar ini juga
tentunya akan menambah polusi dan sebaran emisi di Indonesia khususnya Provinsi
Lampung,” kata Irfan saat menyampaikan keterangan, Selasa (21/5/2024).
Ia menilai, sejak awal peraturan
ini terbit sangat jelas arah kepentingannya. Pihaknya mengapresiasi kinerja
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang telah melakukan jucial
review atas Pergub Lampung itu di Mahkamah Agung (MA) hingga melahirkan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1P/HUM/2024 yang menyatakan Peraturan Gubernur Lampung
Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu
sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Irfan mengungkapkan, berdasarkan
hasil monitoring dan Riset Meja (Desk Research) yang dilakukan Walhi Lampung
pada salah satu group perusahaan perkebunan tebu yaitu PT Sugar Group Companies
(PT Sweet Indo Lampung, PT Indo Lampung Perkasa dan PT Gula Putih mataram),
bahwa pada tahun 2024 ini memang belum ditemukan fakta aktivitas pemanenan
dengan cara membakar.
Namun, lanjut dia, berdasarkan
analisis menggunakan data sebaran titik api atau hotspot dari NASA, terdapat
jumlah titik api di konsesi SGC pada tahun 2021 sebanyak 57 titik api, tahun
2022 sebanyak 38 titik api dan tahun 2023 sebanyak 135 titik api (total 230
titik api) dengan tingkat kepercayaan yang beragam.
“Tren waktu sebaran titik api
tersebut juga beragam. Pada tahun 2021 sebaran titik api mulai dari April
hingga Desember. Kemudian tahun 2022 sebaran titik api terdapat di April hingga
September, tahun 2023 terjadi pada Maret hingga November,” paparnya.
“Walhi Lampung berharap DPRD
Provinsi Lampung juga dapat meminta kepada Gubernur Lampung segera melakukan
pencabutan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola
Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023,” tegas Irfan.
Selain itu, Walhi Lampung juga
meminta kepada KLHK untuk dapat melakukan monitoring terhadap semua perusahaan
perkebunan tebu di Provinsi Lampung, dan apabila masih terdapat aktivitas
pemanenan dengan cara membakar maka KLHK harus berani untuk memberikan sanksi
yang tegas baik pidana dan/atau perdata sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
“Serta mencabut semua
sertifikasi atau penghargaan berbasis lingkungan seperti program penilaian
peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup atau Public
Disclosure Program for Environmental Compliance,” ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah
Provinsi (Sekdaprov) Lampung, Fahrizal Darminto saat dihubungi mengatakan,
Pemprov Lampung akan melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) mencabut
Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 tahun 2023 tentang Tata Kelola Panen dan
Peningkatan Produktivitas Tanam Tebu.
"Dalam hal ini putusan
Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu untuk menghormati
putusan Mahkamah Agung maka Gubernur Lampung mencabut Peraturan Gubernur Nomor
33 Tahun 2020 yang telah diubah menjadi Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun
2023,” kata Fahrizal, Selasa (21/5/2024).
Selanjutnya, Pemprov Lampung
terlebih dahulu akan memantau perkembangan di lapangan. "Kita lihat
keadaan ya, yang penting kita cabut dulu. Kita harus hormati keputusan
MA," jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, KLHK
mengidentifikasi setidaknya ada 20 ribu hektar lahan perkebunan tebu di
Provinsi Lampung yang ditengarai dipanen dengan cara dibakar. Dua
perusahaan terindikasi terlibat pembakaran lahan tebu yaitu PT Sweet Indo Lampung (SIL) dan PT Indo Lampung
Perkasa (ILP).
Pembakaran lahan tebu oleh
perusahaan ini dilakukan secara berulang sejak tahun 2021 sehingga menimbulkan
dampak lingkungan yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan meningkatkan
emisi karbon di udara.
"Pada periode 2021 kami
menemukan lahan perkebunan tebu seluas 5.400 hektar dibakar. Lalu di tahun 2023
kami menemukan sekitar 14 ribu hektar lahan tebu yang dibakar. Lokasinya
pemantauan ini hanya kami cek di dua perusahaan, belum seluruhnya," kata
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, dalam konferensi pers
di Gedung Manggala Wanabakti Kantor KLHK, Jakarta, Senin (20/5/2024).
Rasio
mengungkapkan, timnya telah ke lapangan untuk menyelidiki kasus
dugaan pencemaran lingkungan ini. Namun ternyata, lanjut Rasio, pembakaran
lahan dalam pemanenan tebu diizinkan oleh pemerintah setempat melalui
penerbitan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola
Panen dan Produktivitas Tebu.
Menurut Rasio, Peraturan
Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 sebenarnya telah direvisi lewat penerbitan
Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023. Tapi isi dari kebijakan baru
tersebut dinilai lebih parah sebab memperbolehkan perusahaan membakar lahan perkebunan
tebu secara sembarangan dan bersamaan tanpa alat cek kualitas udara.
Rasio memaparkan, website KLHK
telah menerima sedikitnya lima aduan masyarakat ihwal permasalahan ini. Hasil
pantauan siber di media sosial juga menemukan banyak unggahan berisi keluhan
masyarakat atas pembakaran lahan tebu di wilayah Lampung.
"Kami tidak tinggal diam,
seluruh laporan dan data di lapangan kami tampung," tegas Rasio.
Atas dasar tersebut, KLHK pada
Januari lalu mengajukan uji materiil atau judicial review ke Mahkamah Agung
(MA) atas Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 yang telah diubah
dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023.
MA mengabulkan permohonan
tersebut pada 19 Maret 2024 lalu. Putusan MA Nomor 1 P/HUM/2024
itu memerintahkan pencabutan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun
2020 yang diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023.
"Kami mengapresiasi
kebijaksanaan hakim karena mau mengabulkan uji materiil terhadap kebijakan
ini," kata Rasio.
Saat ini, menurut Rasio, KLHK
tengah membicarakan langkah lanjutan atas putusan tersebut. KLHK, kata dia,
akan berupaya menuntaskan segala kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh
aktivitas panen tebu dengan cara dibakar di Lampung. "Instrumen penegakannya
sedang dibicarakan, unsur pidana bisa saja diterapkan," ujarnya.
Ia menerangkan, dalam Peraturan
Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 menginstruksikan bahwa pembakaran dibatasi
10 hektar dengan lama waktu pembakaran maksimal 20 menit. Ketika musim kemarau
pembakaran hanya dapat dilakukan pagi hari, sedangkan saat musim hujan dapat
dilakukan pagi dan malam hari.
Kemudian, regulasi itu juga
mengharuskan adanya persiapan pembakaran terkendali dengan memposisikan alat
baku ukur mutu udara.
Adapun Peraturan Gubernur
Lampung Nomor 19 Tahun 2023 menambah kalimat setelah klausul pembatasan 10
hektar, maka pembakaran dapat dilakukan secara bersamaan.
Lalu, aturan pembakaran yang
mempertimbangkan cuaca dihapus. Regulasi teranyar justru menambah klausul panen
bakar tidak mempertimbangkan cuaca lagi karena cuaca tidak menentu akibat
pemanasan global.
Bahkan, alat baku ukur mutu
udara yang semula ada dalam regulasi tahun 2020 juga dihapus dalam aturan tahun
2023 tersebut.
"Peraturan itu telah
menguntungkan perusahaan karena mereka memanen dengan biaya murah melalui
praktik pembakaran," ujar Rasio.
Ia melanjutkan, Menteri LHK
pernah menyurati Gubernur Lampung untuk mencabut aturan daerah tersebut, namun
imbauan itu tidak pernah digubris.
Direktur Penanganan Pengaduan,
Pengawasan, dan Sanksi Administrasi KLHK, Ardyanto Nugroho menambahkan,
pemantauan titik api yang dilakukan di Lampung memperlihatkan beberapa
perkebunan tebu terindikasi kebakaran, diantaranya PT Sweet Indo Lampung (SIL)
dan PT Indo Lampung Perkasa (ILP).
Ia menjelaskan, pada tahun
2021, perhitungan awal luas lahan yang dibakar di perusahaan SIL dan ILP
mencapai 5.469 hektar. Sedangkan, luas lahan yang terbakar pada tahun 2023
mencapai 14.492 hektar. "Putusan Mahkamah Agung atas uji materiil
menunjukkan bahwa panen dengan cara bakar adalah ilegal," ujarnya. (*)
Berita ini telah terbit di SKH
Kupas Tuntas edisi Rabu 22 Mei 2024 dengan judul “Walhi: Terdeteksi Ada 230
Titik Api di Lahan Tanaman Tebu SGC”
Berita Lainnya
-
Wajib Belajar Tanpa Biaya, Disdik Bandar Lampung Tunggu Aturan Lanjutan
Minggu, 01 Juni 2025 -
Pemprov Lampung Siap Luncurkan Program Kelas Migran Vokasi di Tahun Ajaran 2025-2026
Minggu, 01 Juni 2025 -
K3S SD Bandar Lampung Dukung Kebijakan Sekolah Gratis untuk Jenjang Pendidikan Dasar
Minggu, 01 Juni 2025 -
MK Putuskan SD-SMP Gratis, DPRD Bandar Lampung Soroti Ketimpangan Pendidikan
Minggu, 01 Juni 2025