• Minggu, 27 April 2025

KLHK: 20 Ribu Hektar Perkebunan Tebu di Lampung Dipanen Secara Dibakar

Selasa, 21 Mei 2024 - 07.57 WIB
284

Direktur Jenderal Penegakan Hukum pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani memberikan keterangan terkait adanya praktek pembakaran perkebunan tebu oleh perusahaan di Provinsi Lampung saat konferensi pers di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin (20/5/2024). Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengidentifikasi setidaknya ada 20 ribu hektar lahan perkebunan tebu di Provinsi Lampung yang ditengarai dipanen dengan cara dibakar. Dua perusahaan terindikasi terlibat pembakaran lahan tebu yaitu PT Sweet Indo Lampung (SIL) dan PT Indo Lampung Perkasa (ILP).

Pembakaran lahan tebu oleh perusahaan ini dilakukan secara berulang sejak tahun 2021 itu dinilai telah menimbulkan dampak lingkungan yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan meningkatkan emisi karbon di udara.

"Pada periode 2021 kami menemukan lahan perkebunan tebu seluas 5.400 hektar dibakar. Lalu di tahun 2023 kami menemukan sekitar 14 ribu hektar lahan tebu yang dibakar. Lokasinya pemantauan ini hanya kami cek di dua perusahaan, belum seluruhnya," kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, dalam konferensi pers di Gedung Manggala Wanabakti Kantor KLHK, Jakarta, Senin (20/5/2024).

Rasio mengungkapkan, timnya telah ke lapangan untuk menyelidiki kasus dugaan pencemaran lingkungan ini. Namun ternyata, lanjut Rasio, pembakaran lahan dalam pemanenan tebu diizinkan oleh pemerintah setempat melalui penerbitan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tebu.

Menurut Rasio, Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 sebenarnya telah direvisi lewat penerbitan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023. Tapi isi dari kebijakan baru tersebut dinilai lebih parah sebab memperbolehkan perusahaan membakar lahan perkebunan tebu secara sembarangan dan bersamaan tanpa alat cek kualitas udara.

Rasio memaparkan, website KLHK telah menerima sedikitnya lima aduan masyarakat ihwal permasalahan ini. Hasil pantauan siber di media sosial juga menemukan banyak unggahan berisi keluhan masyarakat atas pembakaran lahan tebu di wilayah Lampung.

"Kami tidak tinggal diam, seluruh laporan dan data di lapangan kami tampung," tegas Rasio.

Atas dasar tersebut, KLHK pada Januari lalu mengajukan uji materiil atau judicial review ke Mahkamah Agung (MA) atas Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 yang telah diubah dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023.

MA mengabulkan permohonan tersebut pada 19 Maret 2024 lalu. Putusan MA Nomor 1 P/HUM/2024 itu memerintahkan pencabutan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 yang diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023.

"Kami mengapresiasi kebijaksanaan hakim karena mau mengabulkan uji materiil terhadap kebijakan ini," kata Rasio. 

Saat ini, menurut Rasio, KLHK tengah membicarakan langkah lanjutan atas putusan tersebut. KLHK, kata dia, akan berupaya menuntaskan segala kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas panen tebu dengan cara dibakar di Lampung. "Instrumen penegakannya sedang dibicarakan, unsur pidana bisa saja diterapkan," ujarnya.

Ia menerangkan, dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 menginstruksikan bahwa pembakaran dibatasi 10 hektar dengan lama waktu pembakaran maksimal 20 menit. Ketika musim kemarau pembakaran hanya dapat dilakukan pagi hari, sedangkan saat musim hujan dapat dilakukan pagi dan malam hari.

Kemudian, regulasi itu juga mengharuskan adanya persiapan pembakaran terkendali dengan memposisikan alat baku ukur mutu udara.

Adapun Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 menambah kalimat setelah klausul pembatasan 10 hektar, maka pembakaran dapat dilakukan secara bersamaan.

Lalu, aturan pembakaran yang mempertimbangkan cuaca dihapus. Regulasi teranyar justru menambah klausul panen bakar tidak mempertimbangkan cuaca lagi karena cuaca tidak menentu akibat pemanasan global.

Bahkan, alat baku ukur mutu udara yang semula ada dalam regulasi tahun 2020 juga dihapus dalam aturan tahun 2023 tersebut.

"Peraturan itu telah menguntungkan perusahaan karena mereka memanen dengan biaya murah melalui praktik pembakaran," ujar Rasio.

Ia melanjutkan, Menteri LHK pernah menyurati Gubernur Lampung untuk mencabut aturan daerah tersebut, namun imbauan itu tidak pernah digubris.

Direktur Penanganan Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi KLHK, Ardyanto Nugroho menambahkan, pemantauan titik api yang dilakukan di Lampung memperlihatkan beberapa perkebunan tebu terindikasi kebakaran, diantaranya PT Sweet Indo Lampung (SIL) dan PT Indo Lampung Perkasa (ILP).

 Ia menjelaskan, pada tahun 2021, perhitungan awal luas lahan yang dibakar di perusahaan SIL dan ILP mencapai 5.469 hektar. Sedangkan, luas lahan yang terbakar pada tahun 2023 mencapai 14.492 hektar. 

"Putusan Mahkamah Agung atas uji materiil menunjukkan bahwa panen dengan cara bakar adalah ilegal," ujarnya. 

Hingga berita diterbitkan, pihak Pemprov Lampung maupun PT SIL dan PT ILP belum bisa dihubungi. (*)

Berita ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Selasa 21 Mei 2024 dengan judul “KLHK: 20 Ribu Hektar Perkebunan Tebu di Lampung Dipanen Secara Dibakar"

Editor :